Mengunci Trauma ke Dalam Lukisan
Karya terbaru Ferdy Thaeras dalam pameran ini menunjukkan kesungguhan Ferdy mengubah arah hidupnya menjadi seniman.
Telapak tangan dilumuri cat akrilik kental dan ditempelkan ke kanvas lekat-lekat, kemudian diangkat perlahan-lahan. Begitu seterusnya. Perupa Ferdy Thaeras (41) melakukan itu untuk membuat lukisan abstraknya demi menyalurkan energi toksik dari beragam trauma. Pada lukisan-lukisan abstrak seperti itulah ia mengunci trauma-traumanya.
Ketika telapak tangan dia angkat, ada bagian cat yang melekat di kanvas ikut terangkat. Setelah mengering, terciptalah tekstur kanvas dengan permukaan timbul tenggelam. Di bagian akhir Ferdy menggunakan pisau palet untuk menorehkan cat putih bergerak seperti mengambang di permukaan kanvas. Hanya tekstur di kanvas paling atas yang terkena sapuan cat putih.
”Warna putih untuk menandakan lembaran hidup yang baru. Di bawahnya tidak bisa semua warna akan tertutupi cat putih. Ini bermakna, tidak semua trauma bisa kita simpan, tidak bisa kita tutupi rapat-rapat. Itulah yang ingin saya sampaikan melalui pameran ini,” ujar Ferdy dalam perbincangan pada Jumat (12/4/2024) di Artspace, Hotel Artotel Suites Mangkuluhur, Jakarta.
Di Artspace hotel itulah Ferdy menggelar pameran tunggal yang bertajuk Cosmic Echoes. Ini bermakna tentang pengaruh kosmik terhadap navigasi kehidupan manusia. Pameran ini digelar sejak 26 Januari 2024 dan akan berakhir pada 28 April 2024.
Baca juga: Lukisan Abstrak Anak Muda Spesial
Ferdy lahir di Jakarta, menuntaskan studi seni rupa di Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2005. Selama hampir dua dekade berikutnya ia lebih banyak berkecimpung di dunia media dan relasi publik perhotelan. Rentang tiga tahun terakhir Ferdy memutuskan kembali menjalani profesi sebagai perupa.
Di antara Januari dan Desember 2021 Ferdy berpindah pekerjaan dari Jakarta ke Bali. Di Bali ia bekerja di bidang relasi publik untuk sebuah hotel berbintang. Ia menemui lingkungan di sekitar yang begitu pekat dengan seni. Ini mengingatkan kembali latar belakang studinya tentang seni rupa. Ferdy memikirkan hal itu dan tergerak mencoba banting setir kembali ke dunia seni.
Di Bali ia sempat mendatangi seorang peramal nasib lewat kartu tarot. Ia memperoleh ramalan hendaknya pergi ke arah barat untuk menemukan sesuatu untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.
Benar saja. Ferdy akhirnya keluar dari pekerjaannya di Bali. Dengan uang tabungannya ia hijrah ke New York, Amerika Serikat. Ia mencari pekerjaan di sana, selain kembali mengembangkan aktivitas seni rupa. Hingga suatu ketika ia berkenalan dengan seorang perempuan asal New York dan akhirnya menjadi pacarnya.
Dari sinilah muncul trauma-trauma Ferdy yang ingin diceritakan dan dikunci di kanvas lukisan-lukisan abstraknya. Setelah di New York, beberapa waktu ia kembali ke Tanah Air. Hubungan dengan pacarnya tetap berjalan.
”Ketika saya di Jakarta, hampir setiap hari berkomunikasi dengannya lewat telepon video. Semuanya berjalan dengan baik, hingga saya memutuskan kembali ke New York untuk menjumpainya kembali,” ujar Ferdy.
Perjalanan ke barat
Ferdy bertemu kembali dengan pacarnya di New York. Ia masih penasaran dengan ramalan kartu tarotnya di Bali agar pergi ke arah barat untuk menemukan sesuatu di dalam hidupnya. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berlibur selama sebulan ke arah pantai barat Amerika Serikat. New York ada di pantai timur Amerika Serikat.
”Dalam perjalanan bersama itulah, karakter asli kami masing-masing keluar. Selama sebulan perjalanan kami di pantai barat Amerika Serikat benar-benar memberi trauma bagi hidup saya,” ujar Ferdy.
Ferdy mengunci trauma di dalam salah satu lukisannya yang diberi judul ”West Coast” (2023) dengan media campuran di atas kanvas berukuran 139 x 99 sentimeter. Ada latar warna gradasi biru muda sampai biru tua. Muncul berbaur pula dengan gradasi hijau muda ke hijau tua. Bercak cat putih secara acak ada di atas warna-warna itu.
Dia ibu yang ikut merawat saya sejak bayi. Saya begitu dekat dengannya, tetapi selama ini saya merasa tidak pernah berusaha mengenalnya lebih dekat.
Sewaktu liburan di pantai barat Amerika Serikat, Ferdy ingin bercerita tentang perbincangan dengan pacarnya yang bekerja di periklanan di New York itu. Mula-mula perbincangan menyinggung tentang profesi sebagai seniman yang mulai digeluti Ferdy. Ia menyinggung pendapatan dari profesi seniman tidak dapat dipastikan dan berbeda dengan orang yang bekerja kantoran.
Dari situlah timbul pertentangan. Pacarnya menghendaki supaya Ferdy tidak usah menjadi seniman. Bahkan meruncing ketika ada ucapan pacarnya yang dinilai merendahkan Ferdy.
”Saya diminta bekerja sebagai pemegang tali anjing dan mengajak anjing itu berjalan-jalan di taman New York untuk mencari pendapatan tetap,” ujar Ferdy.
Trauma yang lebih mengguncangkan diperoleh Ferdy. Ia menuangkan ke dalam karya yang diberi judul ”Palm Springs” (2023) dengan media campuran di atas kanvas berukuran 145 x 145 sentimeter.
Ketika itu tibalah mereka di kawasan Palm Springs. Ferdy terpesona dengan banyak rumah megah milik warga. Pacarnya bercerita tentang kawasan itu sebagai hunian para pensiunan kaya raya.
Tidak disangka, pacarnya mengatakan, Ferdy bisa hidup di sana dan menjadi ”piaraan” pensiunan yang kaya-kaya di Palm Springs. Bahkan, pacarnya mengatakan, bisa meninggalkan Ferdy di situ. Batin Ferdy pun remuk-redam atas perkataan pacarnya itu.
Lewat lukisan abstrak Palm Springs, Ferdy berusaha mengunci trauma itu. Ia berusaha menutup dengan lembaran putih, lembaran hidup yang baru, meski tidak mudah untuk melupakan traumanya itu.
Kisah cintanya terhadap perempuan New York dituangkan menjadi karya yang diberi judul ”Love Story”. Ia menggunakan media campuran di atas kanvas berukuran 139 x 99 sentimeter dengan latar warna gradasi hijau muda yang dipenuhi gradasi warna merah muda hingga merah menyala. Seperti ada api yang berusaha membakar kehijauan di sekitarnya.
Perempuan New York itu seolah api yang ingin membakar tunas-tunas kehidupan di dalam diri Ferdy yang mulai tumbuh bersemi. Ferdy akhirnya memutuskan untuk meninggalkan perempuan itu.
Masih tersisa trauma ketika Ferdy bersama perempuan itu kembali di New York. Ia hanya berdiam diri dan ditanya pacarnya, mereka harus mengikuti American Way, cara hidup orang Amerika yang harus berkomunikasi dan terbuka.
Ferdy menjawab, selama ini ia tidak suka dengan omongan-omongan pacarnya itu. Lantas tiba-tiba saja perempuan itu seperti menyalak. Ia berteriak-teriak tak karuan. Sampai-sampai Ferdy berpikir, mengapa pacarnya itu seperti orang gila?
Ferdy memutuskan untuk tidak meneruskan hubungannya dengan perempuan New York tadi. Di sepanjang tahun 2023, Ferdy membuat seri lukisan abstrak untuk mengunci trauma dari kisah percintaannya dengan perempuan New York tadi.
Hingga di akhir tahun 2023, ada berita menyedihkan datang dari seorang bibi, adik dari ayahnya, yang sejak Ferdy bayi ikut merawatnya. Di tengah melukis, Ferdy mendengar kabar bibinya jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Karena sedang asyik melukis, Ferdy tidak menyempatkan diri menjenguk bibinya, yang sudah dianggap sebagai ibu kedua baginya, setelah ibu kandungnya.
Karya-karya terbaru Ferdy menjadi lompatan penting untuk menunjukkan dia sedang menatap ke depan. Setiap seniman selalu menunjukkan perkembangan seperti ini.
Ketika bibinya mendekati hari kesepuluh dirawat di rumah sakit, keluarga besar diminta datang menjenguk. Ferdy pun menjenguk bibinya yang ternyata dalam kondisi sangat kritis. Bibinya pun meninggal.
”Dia ibu yang ikut merawat saya sejak bayi. Saya begitu dekat dengannya, tetapi selama ini saya merasa tidak pernah berusaha mengenalnya lebih dekat,” kata Ferdy.
Baca juga: Seni Instalasi Dunia Ramalan
Sepeninggal bibinya itu menjadi trauma tersendiri. Ferdy menuangkan ke dalam lukisan abstraknya yang diberi judul ”Before My Mother Died” (2023) dengan media campuran di atas kanvas 139 x 99 sentimeter.
Ada gradasi warna ungu muda sampai ungu muda, berbaur dengan merah muda hingga merah tua. Kemudian muncul gradasi warna gelap. Di saat peristiwa bibinya meninggal, lukisan itu sudah setengah jadi. Ferdy sudah menorehkan gradasi warna ungu dan merah.
Kemudian Ferdy tidak menyangka muncul keinginan menorehkan warna gelap di bagian atas, tengah, dan bawah. Itulah gambaran trauma kedukaan yang menyelinap di antara trauma percintaan yang sedang dikuncinya di kanvas lukisan.
Berdamai
Selain karya terbaru dari trauma percintaan dengan perempuan New York, Ferdy juga menampilkan karya-karya sebelumnya. Karya itu, antara lain, seri ”Les Bones” (2022), yang terinspirasi naskah cerita dua perempuan kakak beradik, Solange dan Claire, yang bekerja sebagai pelayan dari majikan kaya raya di Paris, Perancis, tahun 1930-an.
Kedua pelayan memiliki ilusi ingin seperti majikannya. Akhirnya, ilusi berubah menjadi delusi yang seolah-olah kedua pelayan tadi sudah menjadi majikan. Mereka ingin merebut harta majikan sesungguhnya dengan meracuni minumnya. Mereka mempersiapkan minuman beracun dan di situlah delusi menjalarinya. Mereka merasa menjadi majikan dan meminum sendiri minuman beracun itu. Keduanya akhirnya mati.
Masih ada lagi seri lukisan abstrak Ferdy yang terinspirasi film kartun Sailor Moon. Ia melukiskan setiap jurus yang ada di film tersebut. Jurus-jurusnya menggunakan istilah kesemestaan.
Windi Salomo, pengelola Artspace di Hotel Artotel Suites Mangkuluhur, mengatakan, karya-karya terbaru Ferdy menunjukkan dirinya berdamai dengan diri sendiri. Ia melihat itu sebagai kesungguhan Ferdy dalam mengubah arah hidupnya menjadi seniman.
”Karya-karya terbaru Ferdy menjadi lompatan penting untuk menunjukkan dia sedang menatap ke depan. Setiap seniman selalu menunjukkan perkembangan seperti ini,” pungkas Windi Salomo.