Reinterpretasi Keluarga dari ”Dua Hati Biru”
Seusai ”Dua Garis Biru”, babak baru Bima dan Dara dimulai. ”Dua Hati Biru” kembali menguji keduanya.
Cinta saja tak cukup untuk membangun keluarga. Ada komunikasi, kompromi, dan kebesaran hati yang menjadi amunisi kokohnya ikatan keluarga.
”Melahirkan itu pekerjaan sekali, tapi jadi orangtua itu pekerjaan seumur hidup,” ujar Dara kepada Bima di film Dua Garis Biru (2019).
Lima tahun berselang, ucapan tersebut mewujud nyata bagi Dara dan Bima melalui sekuel film Dua Hati Biru yang akan tayang 17 April nanti. Sebab, jadi orangtua bukan hanya untuk seorang anak, melainkan juga untuk menjaga keutuhan keluarga.
Di film pertama, keduanya dihadapkan pada kehamilan di luar nikah saat usia remaja dengan beragam konsekuensi dan tanggung jawab yang tak terbayangkan bagi mereka.
Kali ini, Dara (Aisha Nurra Datau) dan Bima (Angga Yunanda) berjibaku lagi dengan tanggung jawab dan keputusan untuk berjuang atau menyerah menjadi satu keluarga. Apalagi saat ini Adam (Farrel Rafisqy) telah berusia 4 tahun. Masa seorang anak tengah berkembang serta belajar merangkum tentang emosi dari sekitarnya.
Dara yang akhirnya pulang dari menuntut ilmu sambil bekerja di Korea Selatan memahami hal ini dan memiliki ekspektasi pengasuhan sendiri. Bima pun demikian. Mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Adam sebagai orangtua. Sementara itu, Adam masih beradaptasi dengan kehadiran Dara sebagai Mama secara langsung dan kondisi sekelilingnya yang tak lagi sama.
Sebagai suami istri dan orangtua bagi Adam, Dara dan Bima yang sempat menjalani pernikahan jarak jauh gagap ketika menyadari hidup bersama dalam serumah butuh komunikasi dan kompromi. Tak bisa jalan sendiri-sendiri. Sebab, dalam sebuah keluarga kerap ada aneka isi kepala dengan tujuan yang sama, tetapi beda jalannya. Komunikasi dan kompromi pun menjadi kunci.
Baca juga: Kejutan Lebaran dari Dua Perempuan Sutradara
Dari pengasuhan, psikologis pasangan dan anak, finansial, hingga berbagai keputusan yang berpengaruh pada keluarga, semua butuh bicara dan bersepakat dengan kepala dingin. Bukan sibuk tuding siapa yang salah atau asyik klaim siapa yang paling benar.
Karena tanpa disadari, debat dan pertengkaran dengan intensitas tinggi berpengaruh pada psikologis anak. Adam bahkan digambarkan sempat berteriak ”stop” sambil melempar mainannya dan menangis saat melihat orangtuanya bertengkar.
Belum beres sebagai orangtua bagi Adam. Dara dan Bima mengalami juga problem mertua-menantu. Dara masih dianggap tak becus oleh ibunda Bima, Yuni (Cut Mini) dalam mengurus Adam, si cucu kesayangan. Bima dinilai tidak bertumbuh dan kurang berusaha menghidupi keluarga oleh ibunda Dara, Rika (Lulu Tobing). Problem mertua-menantu ditambah kondisi finansial yang morat-marit membuat komunikasi dan kompromi terasa jauh di angan-angan.
Keduanya, dalam perjalanannya, kembali diajak berproses dan bertumbuh. Tidak hanya mereka, para orangtua, yaitu ibunda Bima, ibunda Dara, dan ayah Bima, Rudy (Arswendy Bening Swara), juga menemukan titik tumbuh lagi lewat penerimaan dan kebesaran hati untuk meminta maaf.
Begitu pula dengan Dara dan Bima yang tak segan minta maaf kepada Adam. Tindakan ini bisa membantu proses tumbuh kembang anak juga, dan membangun empati.
”Sebagai orangtua, di sini saya sebagai Ibu itu juga tumbuh untuk anak-anak kita dan cucu kita. Proses bertumbuh ini seumur hidup. Saat jadi orangtua, tumbuh itu mengajak kita menyadari orangtua juga bisa salah. Jadi, mari ego dihilangkan, kasih sayang ditumbuhkan,” ungkap Cut Mini saat jumpa pers seusai pemutaran perdana di Epicentrum XXI, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Proses bertumbuh ini seumur hidup. Saat jadi orangtua, tumbuh itu mengajak kita menyadari orangtua juga bisa salah.
Bertumbuh
Mini menambahkan, keluarga juga terus bertumbuh. Hal ini bukan hanya berlaku di pernikahan yang baru, melainkan keluarga itu akan bertumbuh terus-menerus. Konsep bertumbuh ini pula yang melandasi Gina S Noer kembali menulis skenario Dua Hati Biru sebagai lanjutan dari Dua Garis Biru.
Untuk itu, ia tak mengungkit lagi peristiwa di Dua Garis Biru. Baginya, Dara dan Bima di sini sudah bertumbuh dan belajar dari kesalahan lampau. ”Apa pun awalnya, perjalanan panjang itu yang paling berharga. Mereka tahu enggak sempurna, enggak seperti teman-temannya yang lain misalnya, tapi mereka berjuang untuk mengeratkan diri,” jelas Gina.
Selain menulis skenario, Gina juga menjadi sutradara. Namun, kali ini, ia bersama Dinna Jasanti yang turut menjadi sutradara. Sebagai seorang perempuan dan ibu, keduanya banyak berbincang dan merumuskan racikan yang sesuai untuk disuguhkan kepada penonton.
Hasilnya, lagi-lagi perspektif tajam mengenai pernikahan, keluarga, dan relasinya. Bahkan, sejak awal, Gina sudah hadir dengan premis ”tak ada keluarga yang sempurna”. Memang benar, tiap keluarga memiliki celanya masing-masing.
Alih-alih menerima dan mencari solusi, keluarga lebih piawai dalam menutupi karena masyarakat kadung punya standar tersendiri untuk keluarga ideal.
”Siapa yang ngerasa keluarganya sempurna? Atau siapa yang ngerasa keluarganya tidak sempurna? Keluarga kita itu enggak pernah akan ideal, tapi justru mengakui itu kita jadi tahu kapan harus mencari jalan dan bertumbuh. Kalau bukan kita yang menjaga keluarga kita, siapa lagi,” ujar Gina.
Keluarga dan feminisme
Film berdurasi 106 menit ini kental mengusung misi kesetaraan yang cair dibaurkan ke dalamnya. Apabila selama ini konstruksi sosial menciptakan batasan tentang tugas laki-laki dan perempuan dalam institusi keluarga, Dua Hati Biru mendobraknya lagi.
Dari adegan awal ketika Adam dan Bima shalat di masjid lalu pulang ke rumah berkejar-kejaran sambil tertawa, kehadiran seorang ayah bagi anak terekam jelas. Lalu, sambil bekerja menjaga playground, Bima tetap mengurus anaknya, sedangkan istrinya masih menyelesaikan studi di luar negeri.
Bahkan, setelah Dara pulang ke Tanah Air, Bima tak mempermasalahkan Dara yang ingin bekerja meski ini dipicu alasan finansial. Bima malah menunjukkan dukungannya. Ia tak segan melakukan pekerjaan domestik dan tetap mengurus Adam sebelum atau setelah pulang kerja. Sesekali, ia juga membuatkan bekal untuk Dara.
Bima juga digambarkan terbuka pada masukan. Ia tak keberatan pergi ke psikolog membahas pengasuhan anak. Bahkan, bersedia ikut kegiatan komunitas pengasuhan yang semula sempat dinilainya hanya untuk perempuan.
Situasi setara dan kerja sama pasangan ini mungkin sudah dialami oleh sebagian keluarga. Namun, tidak sedikit juga yang kehilangan diri dan haknya sebagai perempuan pascamenikah dan memiliki anak. Belum lagi, terjadi ketidaksetaraan dengan pembagian tugas yang didasarkan pada jenis kelamin.
Salah satunya, beban pekerjaan domestik dan mengasuh anak ditimpakan seutuhnya kepada perempuan. Seolah-olah sebagai seorang laki-laki, gugur sudah tugas lainnya di dalam keluarga dengan mencari nafkah.
Dalam film, Pak Rizal (Tenno Ali), bos Bima, mewakili hal ini. Ia berbicara kepada Bima semestinya istri di rumah mengurus anak, bukan sebaliknya. Gara-gara ini, Bima sempat goyah dan menjadi tak percaya diri, khawatir harga dirinya diinjak karena berpenghasilan lebih kecil dari istrinya.
Baca juga: Angga Yunanda, Deg-degan Jadi Bapak
Profesor Filsafat dari Stanford University, Debra Satz, lewat tulisan berjudul ”Feminist Perspectives on Reproduction and The Family”menjelaskan lahirnya ketidaksetaraan di dalam keluarga. Menurut dia, hal ini tidak bisa dilepaskan dari norma dan sudut pandang masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan.
”Sejak anak-anak, mereka menerima pesan budaya yang kuat dari orangtua, guru, teman sebaya, bahkan media tentang sifat dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin. Misal, anak perempuan itu harus lemah lembut, tidak agresif, peduli, penuh kasih. Ciri-ciri ini secara tradisional berkontribusi pada ketidaksetaraan perempuan,” ujar Satz.
Padahal, sifat dan perilaku itu semestinya juga dimiliki oleh laki-laki. Baik dalam Dua Garis Biru maupun Dua Hati Biru, Gina dan Dinna memberikan contoh yang apik. Salah satunya lewat kehadiran Rudy.
Rudy mampu menjangkau sang anak dengan cara egaliter dan penuh kasih. Ia memastikan diri ada untuk keluarganya. Meski pada satu momen, ia berani meminta maaf kepada Bima jika ada salah dalam memberi contoh sebagai seorang ayah dan laki-laki dalam menjalani kehidupan.
Di sisi lain, Iqy (Keanu Agl), sahabat Bima, membantu menghilangkan kekhawatiran itu. Ketimbang mengompori dengan pemahaman khas patriarkis, Iqy mengajak Bima mencari penghasilan tanpa kehilangan waktu mengasuh Adam. Iqy hadir sebagai sistem pendukung yang mumpuni bagi keluarga kecil Bima. ”Keluarga juga butuh support system,” ujar Gina.
Di sini, Gina dan Dinna konkret menggambarkan sisi feminis dengan harmonis. Deretan para perempuan kuat dari Dara, Yuni, dan Rika sebagai istri yang tangguh bersama para laki-laki hebat seperti Bima dan Rudy yang pengertian. Jadi, tak perlu ada yang merasa terinjak atau harus insecure.
Lagipula keluarga sejatinya bukan ajang menjadi ”si paling”, melainkan arena untuk mau ”saling”.
Baca juga: Aisha Nurra Datau, Riset dari Mama