Lukisan Abstrak Anak Muda Spesial
Lukisan menjadi bahasa bagi Omar dan Diego. Imajinasi yang dituangkan ke dalam lukisan mereka termasuk cukup kuat.
Ada lukisan abstrak yang bercerita tentang karakter Loki, tokoh antagonis dari komik dan film Marvel. Ada juga kisah perjamuan terakhir Yesus, ”The Last Supper”. Keduanya dalam goresan abstrak unik yang dilukis Tengku Omar Athallah (21) dan Diego Luister Berel (23), anak-anak muda spesial penyintas autis dan down syndrome.
Deretan lukisan abstrak mereka yang lain dipamerkan di Galeri Artsphere di Darmawangsa Square, Jakarta, 28 Maret-8 April 2024. Pameran ini bertajuk ”Beyond Boundaries” (Melampaui Batas).
Selintas, lukisan abstrak mereka tidak ada bedanya dengan karya-karya abstrak perupa lain. Omar memiliki kekhasan goresan kuas lebar dan tarikan yang cepat, sementara Diego dengan kelembutan kuas kecil. Keduanya menawarkan narasi masing-masing yang sering tidak terduga.
Safrie Effendi (42), guru bagi Omar dan Diego di lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus Matalesoge HospiABLElity Academy, Jakarta, menjadi kurator pameran ini. Matalesoge merupakan lembaga pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah selesai menempuh jalur pendidikan luar biasa di jenjang SMA.
”Mereka mengerti tentang apa yang kita bicarakan dan yang terjadi di sekelilingnya, tetapi kesulitan mengungkapkan perasaan mereka dengan bahasa verbal. Bagi mereka, ada narasi yang bisa dipahami dan inilah yang memantik imajinasi visual mereka,” ujar Safrie dalam perbincangan dengan Kompas, Rabu (3/4/2024), di Jakarta.
Lukisan menjadi bahasa bagi Omar dan Diego. Imajinasi yang dituangkan ke dalam lukisan mereka termasuk cukup kuat. Ia bersyukur, Galeri Artsphere bersedia menampilkan karya-karya Omar dan Diego. Pameran ini selain untuk mengisi bulan Ramadhan sekaligus merayakan Hari Down Syndrome Sedunia yang jatuh pada 21 Maret dan Hari Autisme Sedunia pada 2 April.
Safrie bercerita tentang karya lukisan abstrak Omar yang diberi judul ”Loki” (2024). Sewaktu memulai kelasnya, Safrie menanyakan kepada Omar tentang apa yang dilakukan. Omar bercerita tentang pengalamannya melihat film Loki.
Baca juga: Tradisi Patung Luar Dihidupkan
Dari situ perbincangan mengalir. Omar sebisa mungkin menyampaikan apa yang dirasakan tentang karakter Loki. Omar menceritakan tentang karakter Loki yang sebelumnya jahat bisa berubah menjadi orang yang baik.
”Kemudian, saya meminta Omar untuk melukiskan warna-warni yang bisa merepresentasikan karakter Loki,” ujar Safrie.
Omar melukis Loki menggunakan media cat akrilik di atas dua kanvas panel yang digabungkan dan memiliki ukuran 54 cm x 84 cm. Ini cukup menarik. Omar menorehkan goresan dengan kuas besar dua warna berimpitan yang cukup simbolis untuk merangkai dua hal yang kontras, yaitu warna hitam dan putih.
Secara umum, warna putih menjadi simbol kebaikan, sedangkan warna hitam simbol kejahatan. Omar membuat goresan warna hitam dan putih itu di bagian tengah bidang kanvas. Goresan itu menempati bagian lapisan atas. Tampak goresan kuas besar yang berada di lapisan paling atas, yaitu dengan warna merah.
Lukisan abstrak ini memberi kesan perjalanan hidup Loki dari lapis warna demi lapis warna berikutnya. Pada lapis paling dalam terdapat goresan warna gelap dengan tarikan kuas pelan dan cepat. Goresan warna hijau muncul pada lapisan berikutnya. Kemudian hadir goresan warna hitam dan putih tadi.
Baca juga: Seni Instalasi Dunia Ramalan
Itulah lukisan abstrak Omar dengan narasi tentang karakter Loki, yang bisa berubah dari orang yang jahat menjadi orang yang baik. Untuk membahasakan ini, Omar cukup cerdas. Ia menuangkan secara sederhana lewat tarikan kuas besar untuk warna putih berimpitan warna hitam. Warna putih di bagian atas dan warna hitam di bagian bawah.
Lukisan abstrak karya Omar lainnya cenderung liris atau mengikuti emosi dan perasaan. Di antaranya, lukisan yang diberi judul ”Not Alone in The Dark” (2024) atau ”Together in The Light” (2024).
Khusyuk beribadah
Mengenai Diego, yang melukis karya abstrak ”The Last Supper” atau ”Perjamuan Terakhir Yesus” bersama 12 muridnya, ternyata ia selalu khusyuk beribadah. Sejak kecil Diego tak seperti anak-anak lain yang lebih senang berjalan-jalan ketika beribadah di gereja.
”Dia selalu duduk dengan tenang. Justru karena itulah yang membuat kami belajar darinya ketika beribadah,” ucap Sandra Berel, ibu kandung Diego.
Lukisan abstrak ”The Last Supper” menunjukkan lapisan bidang warna yang horizontal. Komposisi bidang warna horizontal itu disusun seperti pada komposisi lukisan ”The Last Supper” yang asli karya Leonardo da Vinci. Diego tidak melukis figur secara nyata, tetapi bisa dirasakan komposisi warna dan konstruksinya mirip lukisan ”The Last Supper” asli.
Diego merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Sejak kecil Diego selalu sulit untuk menyatakan sesuatu atau berkomunikasi dengan yang lain. Namun, dalam diam Diego selalu berusaha mencerna dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
Menginjak remaja, kira-kira usia sekolah anak SMP, kegemaran Diego melukis mulai dikenali gurunya. Ketika itu Diego menempuh studi di sekolah anak berkebutuhan khusus Daya Pelita Kasih, Jakarta. Sejak itulah Diego melukis. Gaya lukisannya abstrak.
Karya Diego tidak hanya di bidang kanvas, tetapi juga di tas dan bantal hias yang sudah dipasarkan di beberapa hotel berbintang di Bali dan Lombok. Ada yang dilukis langsung, ada pula dengan cetakan lukisan Diego.
”Masa pandemi Covid-19 ada hikmah tersendiri. Kami tidak bisa ke mana-mana dan saya mencari beragam kompetisi lukisan yang bisa menjadi peluang bagi Diego untuk mengikutinya,” ujar Sandra.
Ajang kompetisi itu di antaranya bertema ”Artfusion”, diselenggarakan The Holy Art Gallery, London, Inggris, pada 2022. Lukisan Diego berjudul ”Balinese Penjor” (2022) berhasil menang sebagai juara pertama.
Lukisan itu menggunakan cat akrilik di atas kanvas berukuran 60 cm x 60 cm. Tampak dominan goresan pendek secara horizontal bersusun-susun dari atas ke bawah dengan kuas kecil. Dari warna yang berbeda-beda, goresan itu seperti membentuk penjor yang berkibar-kibar.
Setelah diumumkan menang, Diego diberi kesempatan untuk memamerkan empat karyanya di The Holy Art Gallery. Setelah pameran, dua lukisan Diego dibawa pulang dan dua lukisan lainnya ditinggal untuk kantor Kedutaan Besar Indonesia di London.