Capung dan Naga yang Tersembunyi
Capung membawa pesan penting tentang alam lestari perlu dijaga, perlu diperjuangkan ketika sekarang makin tercemar.
Seekor naga keluar dari tubuh capung yang juga dikenal sebagai dragonfly. Suitbertus Sarwoko (54) melukiskan peristiwa itu, peristiwa dragonfly yang ia terjemahkan secara bebas sebagai naga yang terbang, sekaligus naga yang tersembunyi di tubuh serangga karnivora capung (Anisoptera), dan membawa pesan penting tentang alam lestari perlu dijaga, perlu diperjuangkan ketika sekarang makin tercemar.
Sarwoko melukiskan dengan jelas sepasang mata majemuk capung. Tubuh capung tidak dilukis dengan jelas, melainkan seperti sapuan kuas yang ditarik begitu cepat dan cenderung menjadi goresan abstrak. Tubuh dan kepala capung itu seperti sudah kosong. Warnanya hijau kusam.
Di dekat mata capung ada kepala seekor naga berkulit biru dan bermata merah. Tubuh naga seperti berkelit cepat. Dalam imajinasi Sarwoko, sebelumnya naga itu ada di dalam tubuh capung. Mungkin saja, capung menjalani metamorfosisnya yang terakhir dan berubah menjadi naga. Ini seperti dongeng saja.
Baca juga: Begitu Banyak Seniman Kita
Perupa asal Borobudur, Jawa Tengah, yang menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta periode 1989-1995, itu menuangkan narasi tersebut ke dalam lukisan yang diberi judul, ”The Hidden Dragon” (Naga Tersembunyi, 2024). Medianya cat minyak di atas kanvas berukuran 145 x 180 sentimeter dan ditampilkan di dalam pameran bersama bertajuk ”Roaring into Prosperity (Raungan Menuju Kesejahteraan)”, yang dibuka pada Sabtu (16/3/2024) di Galeri Artchange, Pacific Place, Jakarta.
Pameran bersama ini untuk merespons tahun 2024 sebagai Tahun Naga Kayu yang melambangkang kesejahteraan, kekuatan, keberuntungan, dan kehormatan. Shio Naga Kayu memberi peluang refleksi diri untuk mengantisipasi datangnya periode yang memberi kesuksesan besar. Unsur kayunya melambangkan pertumbuhan, kelenturan, dan kepedulian terhadap alam sekitar.
Unsur kayu juga melambangkan gagasan menjadi lebih besar dan menyesuaikan diri dengan situasi baru. Ketika ditemui menjelang pembukaan pameran, Sarwoko mengisahkan, situasi baru itu di tengah situasi lingkungan sekarang yang makin tercemar.
”Ada filosofi untuk pegangan hidup dari capung atau dragonfly ini. Capung sebagai predator serangga kecil itu mampu menjadi antihama alami, sekaligus menjadi indikator air dan udara yang bersih,” ujar Sarwoko.
Proses metamorfosis untuk menjadi capung tergolong lama. Ketika telur menetas menjadi nimfa yang hanya bertahan hidup biasanya di dalam air sungai atau danau yang tenang dan tidak tercemar. Fase nimfa di dalam air bisa bertahan cukup lama, bisa dalam hitungan tahunan. Ada insang internal di ujung perutnya.
Di masa tertentu ketika akan menjadi capung, nimfa biasanya merambat ke sebuah batang tanaman air dan naik ke permukaan air. Nimfa lalu berubah wujud menjadi capung yang bersayap dengan siklus hidup paling lama sekitar empat bulan. Sarwoko terkesan dengan proses tumbuh seekor capung seperti itu. Capung dari hewan yang hidup dan tumbuh di air, bisa berubah habitatnya beterbangan di udara.
”Syaratnya, air dan udaranya tidak tercemar. Ini filosofi hidup yang bisa kita pegang dari capung. Kita butuh lingkungan yang bersih untuk sebuah metamorfosis menuju kesejahteraan,” ujar Sarwoko.
Daun jati kering
Di dalam lukisan tersebut, Sarwoko juga mengimbuhkan gambar daun-daun jati yang kering. Sejak lama Sarwoko memiliki kekhasan lukisan terinspirasi dengan bentuk daun jati kering, yang dipicu di masa kecilnya sering bermain di hutan jati di dekat rumahnya yang berada di kawasan Candi Borobudur.
”Daun jati kering juga seperti capung yang akan mengalami suatu perubahan. Saya teringat, ada filosofi Jawa yang menyebutkan, jangan pernah menjadi daun jati yang kering. Ia akan sangat rapuh,” kata Sarwoko.
Sarwoko menolak itu. Dari kerapuhan daun jati kering akhirnya terjadi perubahan menjadi pupuk dan memberi manfaat bagi kesuburan tanah. Ini mirip seperti proses metamorfosis yang memberi kebaruan manfaat. Sarwoko menyukai proses-proses alam seperti itu. ”Di dalam berkarya, saya menjadi lebih menghargai sebuah proses,” ujar Sarwoko.
Di dalam pameran tersebut, Sarwoko menampilkan dua lukisan berikutnya yang diberi judul ”The High Spirit #2” (2019), lukisan yang terinspirasi dari daun jati kering yang tidak pernah berbentuk sama. Kemudian lukisan berikutnya berjudul ”Fire of Honour & Spirituality” (2022) tentang sebuah naga dan klenteng yang ada di Muntilan, Jawa Tengah.
Kisah ini bagian dari mitos Lembuswana, seekor binatang berkepala naga yang memiliki gading dan belalai gajah serta memiliki sayap seperti burung garuda.
Pengelola Galeri Artchange, Benny Oentoro, mengundang sejumlah seniman untuk menampilkan karya di pameran ini. Mereka meliputi Andi Prayitno, Andy Miswandi, Burhanudin Reihan Afnan, Cadio Tarompo, Camelia Mitasari Hasibuan, Daphne Zepos, Dona Prawita Arrisuta, Hendra Purnama, I Putu Adi, Monika Majer, Sarwoko, dan Viktor Nazarov.
Lukisan yang ditampilkan di dalam pameran ini lebih didominasi karya bernarasi naga meski beberapa karya lain ada yang sama sekali berbeda kisah. Salah satunya, lukisan yang cukup unik tentang naga yang diberi judul ”Aji Putri Karang Melenu” (2024) karya Cadio Tarompo yang menetap di Balikapan, Kalimantan Timur.
Cadio melukisnya dengan teknik pewarnaan negatif seperti pada klise foto dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 x 80 sentimeter.
Sekilas, lukisan itu seperti sketsa yang masih banyak terdapat warna terang. Ada citra seorang perempuan yang menghadap ke seekor ular naga besar dan bermahkota. Berbeda dengan citra rembulan yang digambar dengan warna hitam dan sapuan awan dengan warna kehijauan.
Ternyata untuk menikmati lukisan karya Cadio ini harus menggunakan gawai dan menyetel aplikasi film negatif seperti pada klise. ”Dari negatif ke negatif, maka akan menjadi positif,” ujar Cadio.
Dengan aplikasi film negatif akan tampak lukisan naturalis seorang gadis sedang berdiri di antara riak-riak air sungai sepinggang kedalamannya. Bajunya berwarna cokelat muda seperti ditutup dengan selendang sutera yang tembus pandang. Ia diterpa cahaya rembulan yang bersinar dan berwarna putih.
Di hadapan gadis itu ada seekor ular naga berwarna kehijauan. Naga itu seperti mengambang di atas permukaan air, seolah mempercakapkan sesuatu dengan gadis tersebut.
”Ini lukisan yang saya reka dari narasi Aji Putri Karang Melenu, tentang narasi dari Kerajaan Kutai Kartanegara di sekitar abad ke-3 sampai 4 Masehi,” ujar Cadio.
Baca juga: Peleburan Diri Karya Seni
Kisah rakyat ini cukup unik. Hiduplah di hutan sepasang suami istri hingga menjadi kakek nenek yang tidak pernah dikarunia seorang anak. Pekerjaan keseharian mereka dengan mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Suatu ketika, ada seekor ulat aneh yang melingkar di sebuah batang kayu.
Kakek dan nenek tersebut merawat ulat tersebut. Sekian lamanya ulat itu tidak pernah berubah wujud menjadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu. Tenyata ulat ini menjadi bentuk awal seekor ular naga.
Tumbuhlah ulat itu menjadi seekor ular naga yang hidup di sungai. Di kemudian hari, ular naga itu menyelam ke dasar sungai dan mengangkat seorang gadis, yang kemudian menjadi anak dari kakek dan nenek tadi. Gadis itu berparas cantik, hingga kemudian dipinang seorang pangeran dari Kerajaan Kutai Kartanegara.
”Kisah ini bagian dari mitos Lembuswana, seekor binatang berkepala naga yang memiliki gading dan belalai gajah serta memiliki sayap seperti burung garuda,” kata Cadio.
Melalui karya lukisannya itu, Cadio ingin menunjukkan keberagaman kisah rakyat Nusantara tentang naga. Selama ini kisah naga dipercaya berasal dari China. Akan tetapi, cerita tentang naga di sejumlah wilayah Nusantara mengalami banyak pengembangan.
Perupa I Putu Adi merespons muasal kisah naga dari China di Bali lewat lukisannya yang berjudul ”Kang Ching Wie” (2024). Medianya dengan tinta china di atas kertas berukuran 44 x 66 sentimeter.
”Ini kisah Kang Ching Wie dari China yang menjadi permaisuri Raja Jaya Pangus di Bali. Keduanya berakhir dan dikenang oleh masyarakat Bali dengan banyak membuat ornamen bergaya China, seperti naga di pura Hindu di Bali,” ujar Putu Adi.
Di dalam pameran tersebut, Putu Adi menyertakan dua lukisan karya ayahnya, I Made Sutama, yang dikenal sebagai lukisan khas Desa keliki, Gianyar, Bali. Kekhasan lukisan Desa keliki terletak pada ukurannya yang kecil.
Salah satu lukisan I Made Sutama berjudul ”Srikandi” (2023). Lukisan ini dengan media tinta china dan pigmen alami di atas kertas berukuran 5 x 3,5 sentimeter. Lukisannya terlihat kecil sekali. Namun, ketika diperbesar di layar gawai, lukisan figur Srikandi dalam pewayangan Bali itu tetap terlihat presisi. Ini seperti lukisan realis yang dikecilkan. Tetap sempurna.
”Pameran ini sebagai bagian dari merayakan kesejahteraan di Tahun Naga Kayu 2024 ini,” ujar kurator pameran, Arif Bagus Prasetyo.