Musisi Ade Paloh berpulang pada Selasa (19/3/2024). Kepergiannya dibalut duka oleh para penikmat dan pegiat musik.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Kabar duka menyelimuti dunia musik Indonesia. Firza Achmar Paloh atau dikenal dengan Ade Paloh (47) yang merupakan vokalis dan gitaris kelompok musik Sore meninggal dunia pada Selasa (19/3/2024) pagi.
Berita kepergiannya mencuat lewat cuitan di media sosial X dari akun milik Co-founder Mbloc Space Wendi Putranto dan Adib Hidayat. Wendi lewat akunnya, @wenzrawk, menyampaikan, informasi meninggalnya Ade diperoleh dari Awan Garnida yang merupakan basis dari Sore. Ade pergi untuk selamanya karena sakit.
Ade yang meninggalkan dua anak ini disemayamkan di kediamannya di kawasan Bona Indah, Jakarta Selatan. Pemakaman dilakukan selepas shalat Ashar di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Ketika dihubungi, Wendi menuturkan kesannya tentang Ade yang selama ini dikenalnya. ”Ade Paloh adalah pribadi yang selalu hangat, baik, ramah, dan jenaka dalam setiap obrolan jika bertemu di mana saja. Nyaris tiada yang berubah darinya sejak pertama kali mengenalnya di medio 2004/2005,” ungkap Wendi.
Terakhir, keduanya bertemu di M Bloc Space, Jakarta, pada akhir tahun lalu ketika Ade bersama Sore tampil di acara Konser Kemanusiaan untuk Gaza. ”Belakangan ini saya juga sebenarnya sedang mempersiapkan tur mini Sore ke beberapa kota di Jawa yang rencananya akan dimulai sehabis Lebaran. Selamat jalan, De, sampai kita berjumpa lagi,” ujar Wendi.
Selain Wendi, para musisi yang pernah bekerja sama dan mengenal Ade pun menuangkan ungkapan dukacita beserta kesannya di media sosial. Salah satunya adalah gitaris Barasuara, Iga Massardi. Ia mengaku kaget dan sangat kehilangan seusai mendengar kabar duka mengenai Ade.
Ade Paloh adalah pribadi yang selalu hangat, baik, ramah, dan jenaka dalam setiap obrolan jika bertemu di mana saja. Nyaris tiada yang berubah darinya sejak pertama kali mengenalnya di medio 2004/2005.
Iga, yang jatuh cinta pada Sore sejak mendengar lagu ”Mata Berdebu” dari album Centralismo (2005) ini, beberapa kali bermusik bersama Sore. Di antaranya, ketika Sore menggelar konser tunggal di Bandung bertajuk ”Oye, Adelante!” pada 2019. Iga bersama Ade membawakan ”Somos Libres” di atas panggung.
Selanjutnya, Iga turut mewarnai album teranyar Sore, Quo Vadis, Sore? (2023), melalui lagu ”Alakah” bersama musisi lain, yaitu Sigit Pramudita dan Romantic Echoes. Semestinya Iga dan Ade bersama Sore, tentunya, berencana kembali berkolaborasi setelah Lebaran nanti.
Sementara itu, pemain drum Seringai, Edy Khemod, juga mengunggah ungkapan dukacitanya akan kepergian Ade. Menurut Edy, Indonesia kehilangan salah seorang penulis lagu terbaiknya sepeninggal Ade.
Aktif bermusik
Sejak berdirinya band Sore pada 2002, Ade merupakan sosok yang paling aktif menulis deretan lagu yang dibawakan Sore. Lebih dari dua dekade berkecimpung di industri musik Indonesia, Ade bersama Sore telah merilis lima album, yakni Centralismo (2005), Ports of Lima (2008), Sorealist (2013), Los Skut Leboys (2015), dan Quo Vadis, Sore? (2023).
Sebelumnya, Sore ikut dalam album kompilasi JKT:SKRG pada 2004 di bawah naungan Aksara Records. Lagu besutan Ade bersama Sore juga kerap mengisi soundtrack untuk sejumlah film, antara lain Janji Joni (2005) dengan ”Funk the Hole”; Berbagi Suami (2006) dengan ”Pergi Tanpa Pesan” dan ”No Fruits for Today”; Quickie Express (2007) dengan ”Ernestito”; dan Kala (2007) dengan ”Ada Musik di Dalam”. Ada lagi film Perempuan Punya Cerita (2007) dengan ”Senyum dari Selatan”, Pintu Terlarang (2009) dengan ”Nancy Bird”, Arisan 2 (2010) dengan ”Bebas”, Modus Anomali (2012) dengan ”Bogor Biru”, Gila Jiwa (2016) dengan ”Ssstt..”, dan 13 Bom di Jakarta (2023) dengan ”Merintih Perih”.
Pada 2014 Ade bersama dengan para anggota band lain seperti Polka Wars, Tigapagi, San Teletone, dan Duckdive merilis sebuah album bertajuk The Many Failings of Bugsy Moonblood. Selain pernah ditemukan lewat kegiatan bermusik, mereka disatukan karena rumah yang berdekatan. Ada juga yang sama-sama pernah berkuliah musik bersama Ade di Amerika Serikat, yaitu Binsar Tobing yang juga merupakan basis kelompok musik Float.
Bahkan, dengan Binsar, Ade dulu rutin kerap main di Konsulat Jenderal di Amerika Serikat semasa muda. Ade memang cukup lama tinggal di Amerika Serikat. Sepanjang 11 tahun sejak kelas 3 SMP, Ade dipindahkan oleh sang ayah ke sana untuk melanjutkan pendidikan. Baru setelah tuntas kuliah, ia kembali lagi ke Jakarta. Sebelumnya, Ade lahir dan besar di Medan sampai kelas 1 SD. Lalu, sekeluarga pindah ke Jakarta dan melanglang buana lagi ke negeri ”Paman Sam”.
Namun, di Amerika ini pula ia berjumpa dengan Ramondo Gascaro dan Awan Garnida yang kemudian membentuk Sore. Musik pun selalu dianggap Ade sebagai penyelamat hidupnya hingga kini. Budaya Melayu Arab yang melingkupinya juga membantunya dalam proses penulisan lirik dengan diksi yang menarik.
Belakangan Ade maju ke laga politik dan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Nasdem. Dalam video yang diunggah akun Instagram @firzapaloh, Ade mengatakan, dia terpanggil menjadi individu yang bermanfaat bagi orang lain. Posisi sebagai pembuat kebijakan dianggapnya strategis untuk membantu masyarakat.
Dalam wawancara dengan The Maple Media, Ade tak melihat keputusannya terjun ke dunia politik sebagai hal yang biasa. Menurut dia, semua hal di dunia saling terkait, begitu pula politik dan musik.
Kini, Ade telah beristirahat dan bernyanyi selamanya untuk para kampiun dalam damai. Sore melalui media sosial menuliskan, ”Engkau akan hidup seribu tahun lagi di hati kami, selamanya”.
Mengutip sepenggal lagu milik Sore berjudul ”Etalase” yang ditulis salah satu personelnya, Bemby Gusti: ”Dan kita coba/kenangi semua/walau telah tiada/Bagai etalase jendela.” Selamat jalan, Ade!