Album kompilasi Jameson Connects Indonesia menggambarkan wajah musikalitas band dalam negeri saat ini. Albumnya gratis.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Sebanyak enam band dari berbagai kota di Indonesia terpilih dalam album kompilasiJameson Connects Indonesia. Warna musiknya beragam; mulai dari punk rock tulen sampai hibrida industrial. Kiranya beginilah yang akan didengar jika mendatangi arena-arena kecil panggung musik hari ini.
Album kompilasi yang dirilis label rekaman Demajors ini hanya tersedia dalam format piringan hitam. Sebanyak 500 keping didistribusikan lewat situs internet pada 29 Februari 2024 lalu. Dalam sekejap, tak lebih dari 30 menit, semua keping ludes terpesan.
Album ini memang digratiskan. Pemesan hanya perlu membayar ongkos kirim sesuai domisili. Dalam paket disisipkan pula kaus hasil Garapan seniman Aldy Maulana dan Ahmad Fauzan. Ini bonus yang tidak terduga. Meski produk gratis, isinya enggak main-main.
Cakram piringannya berbobot sekitar 140 gram, cukup tebal untuk menampung data audio. Mendengarnya harus pada putaran 45 rotasi per menit (RPM). Dampaknya, semua bebunyian keluar lebih utuh. Ini seperti penghargaan bagi para musisinya bahwa karya mereka diduplikasi dengan paripurna.
Album ini diisi oleh enam band yang kebetulan berasal dari lima kota berbeda. Mereka adalah Misanthropy Club dari Padang Panjang, Creve Ouverte dari Balikpapan, Megatruh Soundsystem dari Yogyakarta, Nearcrush dari Bandung, serta dua wakil Jakarta, yakni Lips!! dan Black Horses.
Enam band ini terjaring dari seleksi tahap akhir yang dikuratori David Tarigan dari Demajors, Pandu Fuzztoni gitaris band Morfem, serta tiga penyiar program Maju Skena Mundur Skena di Synchronize Radio. Mereka memilih dan memilah 888 lagu yang dikirim setiap musisi sepanjang 2023 lalu.
Trek pembuka album diisi jadi milik band Creve Ouverte asal Balikpapan itu. Band dengan tiga personel ini membuka dengan ketukan elektronik riuh layaknya The Prodigy. Lagu mereka berjudul sama dengan nama bandnya. Musik bernuansa cyber punk ini bertolak belakang dengan liriknya yang cenderung suram dengan potongan lirik ”What if I die, would you come to my funeral”.
Band Misanthropy Club menyusul berikutnya dengan lagu ”Devastate” yang tak kalah suram. Nuansa industrial dengan ketukan elektronik makin menjadi-jadi. Jika band sebelumnya bernuansa punk, grup asal Padang Panjang ini lebih bercita rasa metal. Suara vokalnya menggeram dengan distorsi gitar yang lebih tebal. Rasanya menakjubkan bahwa Kota Padang Panjang yang adem itu menghasilkan band sepanas ini.
Sisi A piringan hitam dipungkasi dengan Megatruh Soundsystem dari Yogyakarta. Grup ini menurunkan tensi dua pendulunya dengan menyuguhkan musik ska. Gaya musik yang identik dengan keceriaan itu diputar balik oleh trio ini. Mereka menyuguhkan keseraman dalam lagu ”Petrus”.
Permainan gitar dan ketukan ritmis ditingkahi dengan bunyi organ yang memberi kesan seram, seperti latar bunyi film kartun Scooby Doo. Lirik pembukanya ”Ratusan mayat bertato bergelimpangan di pingiran jalan”. Kengerian ini dilatari peristiwa pembasmian preman yang dikenal dengan sebutan penembakan misterius alias petrus di awal dekade 1980-an. Megatruh Soundsystem seperti mengingatkan kembali sejarah kelam yang terjadi di kota asal mereka, Yogyakarta, kota yang kini cenderung diromantisasi.
Band Jakarta Black Horses segala menyalak ketika piringan dibalik ke sisi B. Lagu ”Ashes” yang bercorak rock n roll seperti menggambarkan keruwetan Jakarta. Durasi lagu ini, hampir enam menit, adalah yang paling panjang dibandingkan dengan lima lagu lainnya. Bagian interlude diisi oleh permainan melodi gitar yang melengking dan ritem yang menderu. Led Zeppelin, T-Rex, dan Audioslave, seperti bertemu dalam satu lagu.
Band Bandung Nearcrush bermain cenderung konstan pada lagu ”Ketika Tenggelam (Dan Kisah Kekalahan Lainnya)”. Band penutup, Lips!!, memicu hulu ledak lewat lagu ”Akhir Si Jahanam” yang berirama punk rock tulen. Vokalisnya, Dila Wardani, menghardik berkali-kali ”Waktumu sudah habis, enyahlah kau jahanam” pada kecemasan karena kota yang tak aman.
Pilihan lagu seperti sebuah palet dengan warna terbatas tapi efisien. Enam lagu mungkin kurang banyak, tetapi cukup memberi gambaran capaian musikalitas seniman dalam negeri. Karena sebagian besar bertempo cepat, album ini pantas diputar setelah bangun pagi untuk disadarkan bahwa kenyataan di luar kamar tak bagus-bagus amat—banyak tragedi. Durasi totalnya pendek—tak lebih dari setengah jam—cukup untuk menandaskan secangkir kopi sebelum dingin.
Album kompilasi berwujud fisik seperti ini seolah berseberangan dengan tren daftar lagu (playlist) di pelantar audio digital. Proses pengiriman demo lagu hingga kurasi ketat mengingatkan pada era akhir dekade 1990-an ketika label rekaman banyak mengeluarkan album kompilasi berisi karya band yang belum beken.
Sayangnya, album ini tidak dilengkapi informasi perihal band pengisi. Jangankan lirik lagu, nama personel dan kota asal band saja tidak tercantum. Informasi semacam itu mungkin telah tersebar di internet. Tapi, sebagai sebuah produk utuh, apalagi berformat piringan hitam, rasanya masih belum lengkap tanpa selembar informasi mendasar.
Pemesanan album gratis ini telah ditutup. Namun, David Karto dari Demajors mengatakan masih menyisakan beberapa keping untuk acara peluncuran di kota masing-masing band pada April nanti. Tak tertutup kemungkinan setelah itu versi digitalnya mengudara. (HEI)