Simbol Perlawanan ”Ali Topan”
Ali Topan anak muda cerdas berjiwa bebas. Jatuh cinta dan mempertahankan idealismenya walau hati terluka.
Kisah pemuda pemberontak dengan perjalanan asmara berliku akibat ditentang orangtua berpaham kolot tampaknya selalu relevan ditampilkan kembali di layar lebar. Sutradara Sidharta Tata mengulang cerita seperti itu lewat Ali Topan versi kekinian.
Ali Topan adalah karakter fiksi legendaris era 1970-an. Dia digambarkan sebagai anak muda pemberontak berotak encer dari keluarga mampu, tetapi berantakan alias produk broken home. Satu ketika, Ali jatuh cinta kepada Anna Karenina, gadis cantik dari keluarga kaya dan terpandang. Namun, orangtuanya kolot dan sangat mengontrol anak-anaknya.
Kisah cinta muda-mudi metropolitan itu merupakan buah karya Teguh Esha. Kisah ini pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Stop pada 1972. Lima tahun berselang, sang penulis merangkumnya dalam sebuah novel berjudul Ali Topan Anak Jalanan: Kesandung Cinta (1977).
Pada tahun yang sama, novel populer itu diangkat ke layar lebar oleh sutradara Ishaq Iskandar dengan judul Ali Topan Anak Jalanan (1977). Sosok Ali dibintangi Junaedi Salat dan Anna diperankan Yatie Octavia.
Baca juga: Film ”Agak Laen” Diharapkan Bisa Redakan Stres akibat Politik
Kini, hampir setengah abad berlalu, kisah ini diangkat kembali ke layar lebar dengan judul lebih singkat, Ali Topan. Film tersebut ditayangkan pada 14 Februari 2024 bertepatan dengan Hari Kasih Sayang sekaligus ”Hari Kasih Suara” alias Pemilu 2024. Sosok Ali Topan diperankan oleh Jefri Nichol, sedangkan Anna Karenina dimainkan oleh Lutesha.
Sutradara berusaha memberikan sentuhan baru pada kisah lama yang belum tentu anak muda saat ini paham. Walakin, beberapa properti dan adegan ikonik tetap dipertahankan. Contohnya, sepeda motor ”laki” yang ditunggangi Ali Topan.
Sebagai sosok individu yang merdeka, Ali pun tetap digambarkan dan ditampilkan berada di dalam lingkar pergaulan anak-anak muda penggemar kegiatan seni. Mereka di film sekarang diceritakan berkumpul di sebuah sanggar asuhan Opung Brotpang yang diperankan Ari Sihasale. Ari sebelumnya pernah memerankan sosok Ali Topan versi sinetron di salah satu stasiun televisi swasta pada era 1990-an.
Sanggar tempat Ali dan teman-temannya nongkrong digambarkan berlokasi di area Blok M bernama Warung Seni. Blok M adalah sebuah kawasan ikonik di Jakarta yang sejak era 1980-an menjadi pusat berkumpulnya anak muda Ibu Kota, baik untuk sekadar nongkrong, bermusik, berteater, maupun berolahraga.
Baca juga: Industri Film Indonesia Akan Makin Atraktif pada 2024
Sanggar asuhan Opung tak hanya jadi tempat berkumpul, tetapi juga dipakai untuk mementaskan pertunjukan puisi ataupun musik, terutama yang beraliran indie dari kelompok anak-anak skena. Istilah skena dikenal sebagai sekumpulan orang yang punya minat dan pemikiran yang sama, biasanya terkait aliran musik.
Hanya sesekali Ali Topan pulang ke rumah, yang tidak mampu memberi kedamaian kepadanya. Pasalnya, kedua orangtua Ali bermasalah. Sang ayah, Amir (Rukman Rosadi), digambarkan sebagai pria yang tidak setia kepada istrinya. Sementara sang ibu (Unique Priscilla) senang mabuk lantaran frustrasi rumah tangganya hancur berantakan.
Kalaupun pulang ke rumah, Ali hanya ingin bertemu dengan pengasuhnya sejak kecil, yakni Mbok Yem (Dewi Pakis). Ali menganggap Mbok Yem sebagai ibu pengganti.
Di tengah kehidupan seperti itu, Ali bertemu Anna di warung seni saat menonton pergelaran musik indie komunitas anak-anak skena. Di situlah Ali dan Anna secara spontan dan tanpa basa-basi ”sepakat” menjalin kisah percintaan.
Waktu berlalu, ternyata hubungan mereka tidak disukai oleh kedua orangtua Anna yang sejak lama ingin mengontrol anak-anaknya agar suatu ketika bisa menjadi penerus bisnis. Sikap itulah yang membuat kakak perempuan Anna kabur dan kawin lari.
Keadaan semakin tak keruan lantaran Ali dituduh menculik Anna, yang sebenarnya hanya ingin pergi mencari dan menemui kakak perempuannya, Ika (Widika Darsih Sidmore). Ika menikah dengan pujaan hatinya dan tinggal di pinggiran kota di Jawa Tengah.
Selain dikejar-kejar polisi, Ali juga diincar kelompok organisasi massa, Taring Muda, pimpinan Ojan (Bizael Tanasale). Ojan adalah anak buah Boy (Axel Matthew Thomas), anak seorang menteri, yang jatuh cinta kepada Anna. Latar belakang Boy itu disukai ayah Anna, Surya (Willem Bevers), pengusaha properti raksasa dan kaya raya.
Dalam adegan pelarian, kedua sejoli bersembunyi di sejumlah komunitas anak skena di beberapa daerah yang disinggahi sepanjang perjalanan. Di sini, adegan berkelahi, aksi pengejaran, dan percintaan dijalin begitu rupa.
Simbol pemberontakan
Sang sutradara juga mengungkap jiwa pemberontak Ali dan lingkungannya. Simbol-simbol pemberontakan dan perlawanan, antara lain, dihadirkan lewat aneka poster bergaya punk art lengkap dengan jargon-jargonnya. Dalam beberapa poster yang ditampilkan, muncul wajah-wajah simbol korban kekerasan dan penindasan rezim otoriter, seperti Widji Tukul dan mendiang wartawan Udin.
Pada adegan lain, dihadirkan visual poster-poster antipenggusuran serta sejumlah alat berat yang tengah beroperasi di atas lahan sengketa. Bahkan, di awal film, sutradara membukanya dengan adegan penggusuran dan penyitaan barang milik pedagang kaki lima oleh aparat pemerintah. Ali yang menentang keras penggusuran pedagang kaki lima ikut membantu melawan aparat yang dibantu ormas.
Dalam konferensi pers, Sidharta Tata bercerita, dirinya mencoba mengambil langkah tak biasa. Salah satunya, menjadikan dan menghadirkan lagu band musik indie Morfem berjudul ”Kuning” sebagai original soundtrack di filmnya tersebut. Selain itu, ada lagu keras, tetapi kental bernuansa keharuan dan emosional, ”Serana”, dari band For Revenge.
Baca juga: Film Indonesia Semakin Mencuri Perhatian Dunia
”Sejak awal, pilihan original soundtrack sudah jadi semacam pertaruhan buat kami. (Hal itu) karena biasanya lagu yang dipakai (dalam film) harus sudah dikenal oleh orang kebanyakan. Sementara musik yang kami pilih terbilang niche atau hanya dipahami oleh segelintir orang. Dengan begitu, musik dan ruang tadi bisa melebur dalam satu kesatuan universe (karakter)-nya Ali Topan,” tutur Tata.
Dengan semua penggambaran, simbolisasi, serta pilihan lagu tadi, Tata menekankan bahwa dirinya tetap tak akan setia sekaligus tak pernah berkhianat pada jalan cerita Ali Topan. Yang dia lakukan hanyalah berupaya untuk bisa menghadirkan segala bentuk keseruan serta kesenangan dalam sebuah pengalaman sinematis.
Itu sebabnya, dia merasa beruntung bisa diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam film produksi Visinema Pictures ini.