Ilusi Nyata Tulus Warsito
Tidak jarang janji-janji politik selama kampanye pemilihan adalah janji yang penuh kepalsuan.
Seperti impian dan harapan, sebuah ilusi itu nyata. Ilusi bukan seperti bayangan yang akan sekejap sirna, ketika sumber cahaya yang meneranginya padam.
Inilah kredo bagi perupa sekaligus profesor emeritus ilmu politik internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tulus Warsito (71). Tulus menuangkan gagasan tersebut lewat sejumlah karya lukisan dan patung yang dipamerkan di Galeri Linda, Indonesia Design District (IDD), Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Kabupaten Tangerang, Banten.
Retorika para calon pemimpin bangsa itu seperti impian, seperti harapan, atau juga ilusi yang semestinya nyata dan bisa dijadikan nyata terwujud, jika yang bersangkutan berhasil terpilih dan diberi mandat oleh rakyat.
Pameran Tulus bertajuk Real Illusion (Ilusi Nyata) berlangsung 27 Januari hingga 27 Februari 2024. Galeri Linda di PIK 2 itu baru dibuka sejak Desember 2023. Pemilik sekaligus pengelola Galeri Linda, Ali Kusno Fusin, sebelumnya sudah membuka galeri di Beijing, Singapura, dan beberapa lokasi di Jakarta. Membuka galeri baru di PIK 2 sebagai upaya rintisan mendekatkan karya seni rupa kepada khalayak di wilayah Jakarta bagian barat dan utara. PIK 2, yang sebagian menggunakan area reklamasi Teluk Jakarta, saat ini menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai kawasan hunian dan komersial, sekaligus pariwisata.
”Saya melihat ilusi sama seperti pernyataan. Kalau di Malaysia, pernyataan terlihat jelas sebagai sesuai hal yang nyata,” ujar Tulus, Selasa (30/1/2024) di Yogyakarta.
Ungkapan ”pernyataan” di Malaysia sebagai penegasan sesuatu hal yang harus nyata itu didapatkan Tulus selama ia menjadi profesor tamu yang mengajar ilmu politik internasional di Universitas Utara Malaysia (UUM) periode 2010-2012. Di Indonesia, kata pernyataan lebih dilihat sebagai suatu pengungkapan atau perkataan. Soal nyata atau tidak, kadang itu samar dan tidak begitu ditonjolkan.
Baca juga: Loncatan Audrey ke Dunia Peri
Lantas, Tulus segera menyasar persoalan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Di situlah masyarakat dihujani dengan berbagai pernyataan. Sebagian sebagai janji manis. Ada makan gratis, sekolah gratis, dan sebagainya.
”Janji-janji kampanye itu sebagai pernyataan, yang semestinya sebagai sesuatu yang nyata untuk ditawarkan dan dilaksanakan, jika yang bersangkutan terpilih nantinya,” ujar Tulus, kelahiran Sragen, Jawa Tengah, dan menetap di Yogyakarta.
Sesuatu yang dinyatakan semestinya juga bisa teruji rencana dan mekanisme pencapaiannya. Misalnya, dapat dijelaskan dari mana sumber dananya, skala tujuan yang ingin dicapai, ataupun cara-cara mencegah penyimpangan dan sebagainya.
Dari sini terlihat pameran Real Illusion karya-karya Tulus Warsito menjadi semantik atas retorika yang ditumpahkan para calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih rakyat pada 14 Februari 2024 nanti. Tulus mengingatkan, retorika para calon pemimpin bangsa itu seperti impian, seperti harapan, atau juga ilusi yang semestinya nyata dan bisa dijadikan nyata terwujud, jika yang bersangkutan berhasil terpilih dan diberi mandat oleh rakyat.
Kepalsuan
Tidak jarang janji-janji politik selama kampanye pemilihan adalah janji yang penuh kepalsuan. Tulus menyinggung soal kepalsuan lewat karya lukisan yang berjudul, ”Fake Cation” (2023), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 140 cm x 140 cm.
Jika dilafalkan, judul itu selintas seperti kata vacation, yang berarti liburan. ”Fake Cation” dimaksudkan sebagai pencetakan foto dari film negatif secara apa adanya. Yang tampak hanya bayangan hitam. Inilah karya cetak film negatif menjadi positif, tetapi positif yang palsu atau yang terlihat apa adanya sebagai hitam putih di atas film negatif. Maka, Tulus menyematkan judul, ”Fake Cation” atau Positif yang Palsu.
Baca juga: Menjaga Asa Ratu Adil
Tulus menggunakan dua teknik dalam membuat karya lukisan ini. Pertama kali, ia menggunakan tekologi cetak digital untuk citra seorang perempuan yang sedang menjemur bra dan celana dalam di seutas tali jemuran. Citra gambar tampak gelap merata.
Kemudian Tulus menambahkan goresan seperti turus yang miring ke kiri dengan cat akriliks yang tebal dan bertekstur perpaduan warna dasar oranye dan kuning. Di bawah turus-turus itu dilukiskan bayangannya yang berwarna gelap. Turus-turus itu pun membayang seperti melayang.
Teknik menciptakan bayangan dengan benda yang tampak seolah melayang ini dihadirkan Tulus pada sebagian besar karyanya. Latar belakang lukisan berupa goresan abstrak yang memiliki corak bermacam-macam. Ada abstrak yang berupa garis berulang, motif batik, goresan liar seperti goresan anak-anak, dan sebagainya.
Seperti di samping ”Fake Cation”, lukisan Tulus berjudul ”Ligthing” (Halilintar), dengan latar belakang abstrak berupa goresan seperti tarikan-tarikan garis yang dilakukan anak kecil. Tulus menyiratkan, goresan anak kecil laksana halilintar.
Tulus juga menampilkan beberapa lukisan realis. Di antaranya, lukisan yang diberi judul ”Learning from Nature” (2015), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 135 kali 285 sentimeter. Tulus melukiskan seorang bayi yang menyelam di kolam dan menyaksikan seekor ikan hias berenang di depannya.
”Bayi itu akan belajar dari alam. Ia akan bisa berenang,” ujar Tulus.
Di samping lukisan itu, masih lukisan tentang bayi yang diberi judul ”The Next Generation” (2013), media cat akriliks di atas kanvas 145 cm x 185 cm. Tulus melukiskan seorang bayi tertidur pulas di gantungan kain. Lukisan bayi yang berbayang itu seperti melayang.
Seni patung
Di dalam pameran ini, Tulus menampilkan banyak lukisan berbayang sehingga membentuk benda atau obyek lukisan itu seperti melayang. Ternyata Tulus terinspirasi seni patung atau seni tiga dimensi yang dingin diwujudkan ke dalam media dua dimensi.
Ketertarikan Tulus terhadap seni patung pernah diwujudkan dengan menempuh studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Tulus lahir di Sragen, Jawa Tengah. Ia mendaftar dan diterima STSRI Yogyakarta pada 1976. Sebelum itu, Tulus gemar membatik.
Selama tinggal di Yogyakarta, ia mengajar membatik, terutama bagi para turis asal mancanegara. Suatu saat Tulus mengikuti kompetisi membatik yang diselenggarakan sebuah institusi dari Oregon, Amerika Serikat, dan menang.
Sejumlah hadiah didapatkan Tulus, di antaranya diberi waktu selama dua tahun untuk berkeliling mengunjungi galeri-galeri seni rupa di Amerika Serikat. Universitas Yale di Connecticut pun meminta Tulus untuk mengajar membatik di sana. Selama dua tahun antara 1976-1977, Tulus berada di negara itu.
Baca juga: Imajinasi dari Masa Kecil
Sekembali di Yogyakarta, Tulus tidak melanjutkan studinya di STSRI. Akan tetapi, ia masih sering singgah ke kampus itu dan bergaul dengan teman-temannya yang meneruskan kuliah. Pada 1977 Tulus kemudian mendaftar kuliah dan diterima di Jurusan Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia lantas menjadi dosen di UMY dan merampungkan studinya hingga strata S-3 di UGM.
Salah satu karya patungnya diberi judul ”Countdown” (Menghitung Mundur, 2023). Bentuk karya ini seperti dua dimensi berukuran 69 cm x 80 cm dengan media besi dan cat akriliks. Ada bagian yang terpotong dan membentuk figur manusia yang tertunduk lesu.
”Ini patung manusia yang dipenjara dan menghitung mundur untuk masa pembebasannya,” ujar Tulus.
Tulus tidak menjelaskan arah atau maksud dari karya seni patungnya itu. Ia lebih suka publik menafsirkan sesuai dengan referensi yang dimiliki masing-masing.
Setidaknya, karya patung ”Countdown” sebagai manusia terpenjara menyiratkan hukuman bagi siapa saja yang dinilai bersalah di mata hukum. Sebagai perupa sekaligus ahli ilmu politik, Tulus lewat karya seni rupanya mengingatkan semua pilihan ada risikonya. Ini tentunya termasuk pula jika tidak memenuhi janji-janji politiknya selama masa kampanye.