Penjelajahan media terus dilakukan Kartono hingga akhir hayatnya dan kini karya-karyanya itu menjadi harta karun bagi seni rupa Indonesia.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·6 menit baca
Usaha penting pelukis muda Kartono Yudhokusumo (1924-1957) di masa yang tergolong sulit ialah melakukan penjelajahan media untuk obyek realis yang dilukisnya. Salah satu penanda jejak awalnya dengan media pastel di usia sekitar 10 tahun pada 1934 ketika mendapat pengaruh Chiyoji Yazaki (1872-1947), pelukis asal Jepang yang pernah memimpin kegiatan Masyarakat Pelukis Pastel di Batavia kala itu.
Pada umumnya, pelukis berhenti menjelajah media tatkala sudah menemukan kenyamanan atau karyanya sudah diterima pasar. Penjelajahan media terus dilakukan Kartono hingga akhir hayatnya dan kini karya-karyanya itu menjadi harta karun bagi seni rupa Indonesia. Komunitas Salihara di Jakarta memamerkan sekitar 100 gambar serta lukisan tua karya Kartono dengan media pastel, pensil, arang atau charcoal, tinta china, cat air, dan cat minyak. Publik dapat menikmati pameran ini yang berlangsung 10 Desember 2023 hingga 21 Januari 2024.
Kurator pameran Asikin Hasan, Selasa (12/12/2023) siang itu, mengajak Kompas menyimak lukisan Kartono yang diberi judul ”Pemandangan”. Inilah lukisan Kartono yang paling lama, yang dipajang di pameran itu. Ada informasi lain yang menunjukkan Kartono sebenarnya sudah melukis di usia tujuh tahun.
Di dalam lukisan itu, Kartono menyuguhkan karakter komposisi lanskap yang unik. Dengan pulasan pastelnya, Kartono tidak hendak menciptakan karya yang menarik perhatian. Karya itu lebih menunjukkan hasrat Kartono yang hendak memenuhi tantangan pribadinya. Ia tidak peduli dengan karakteristik lanskap yang megah dan fitur yang jelas seperti pegunungan atau ngarai yang berkelok-kelok.
Saat ini lukisan tersebut dikoleksi Museum Universitas Pelita Harapan. Karya dengan media pastel di atas kertas berukuran 16,8 sentimeter kali 21,7 sentimeter itu menunjukkan latar perdesaan di kaki gunung dengan sekumpulan rumah beratap terakota yang dikelilingi pepohonan hijau yang lebat.
Kartono membuat citra awan tebal yang cerah dan tinggi menjulang. Ada sapuan warna kuning yang mengesankan pantulan sinar matahari di sore hari.
Di latar terdepan dilukiskan kambing dan domba sedang merumput. Hewan ternak itu terlihat kecil. Kartono berusaha mengesankannya dengan sapuan pastel putih dengan begitu lembut, tetapi tetap kentara.
”Di sinilah keunikan Kartono di usianya yang baru menginjak 10 tahun. Ia begitu paham dengan media pastel yang tergolong sulit untuk melukis sebuah pemandangan,” kata Asikin.
Tidak ada informasi yang menunjukkan lokasi yang dilukis Kartono. Besar kemungkinan ada di sekitar Jakarta, seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Kartono melukis itu sebagai bagian dari kegiatan Masyarakat Pelukis Pastel pada Agustus 1934 dengan motor penggerak Chiyoji Yazaki.
Perspektif ruang
Bagi Asikin, karya-karya Kartono di usia belia sudah sangat mengagumkan ketika berhasil menghadirkan perspektif ruang. Lukisan yang diberi judul ”Pemandangan” itu mengandung perspektif ruang yang begitu kuat.
Ketika kita menatap lukisan itu, terasa kedalaman dan volumenya. Ada obyek yang terasa begitu jauh, ada pula yang begitu dekat. Cakrawala pun dilukis dengan mempertemukan awan dan rindang pepohonan yang terasa di kejauhan. Sekali lagi, Kartono membuat perspektif ruang yang begitu kuat pada lukisan pastel di usia yang masih belia, masih 10 tahun.
Masih tentang kekuatan perspektif ruang yang dimiliki Kartono sejak belia, Asikin kemudian menunjukkan lukisan yang diberi judul ”Menerima Tamu”. Ada kematangan tentang perspektif ruang Kartono. Lukisan itu dibuat dengan media krayon di atas kertas pada 1944, yang berarti Kartono sudah menginjak usia 20 tahun.
Sudut pandang Kartono sedikit dari atas atau menggunakan teknik mata burung. Kursi-kursi dan mejanya tertata saling hadap di antara para tetamu di ruang persegi yang dibatasi dengan tembok. Sudut tembok yang dibuat Kartono pun makin menguatkan kesan tiga dimensi.
Karya-karya Kartono pada akhirnya memberi kesan begitu asyik bermain dengan perspektif ruang. Ada karya yang dibuat satu tahun berikutnya, 1945, diberi judul ”Mendaftarkan”. Kartono menggunakan media cat air di atas kertas berukuran 28 sentimeter kali 20 sentimeter.
Lukisan ”Mendaftarkan” menunjukkan karakter dua laki-laki saling berhadapan. Di latar depan, satu pemuda bercelana di atas lutut berdiri tampak dari belakang. Di hadapannya ada satu orang sedang duduk di kursi dan menulis di meja. Kartono melukis karakter orang ini menghadap ke depan, berdekatan dengan orang yang tampak belakang tadi. Mereka tampak saling berhadap-hadapan. Ini menunjukkan kesan perspektif ruang yang sangat dimensional.
Banyak sketsa atau gambar hitam putih dengan media tinta china di atas kertas yang dibuat pada 1956, setahun menjelang hari terakhir Kartono, juga menunjukkan permainan perspektif yang menakjubkan. Beberapa gambar yang diberi judul ”Gunung Kapur”, ”Gunung Kapur 2”, dan ”Padalarang” menunjukkan kekuatan tiga dimensional.
Sebelum itu, di era pendudukan Jepang antara 1942 dan 1945 Kartono dengan kemampuan seni rupanya meraih berbagai penghargaan sebagai bagian dari propaganda Jepang. Harian Soeara Asia yang terbit pada 16 Oktober 1943 memberitakan pula pameran 43 karya Kartono yang dibuat dalam rentang delapan tahun.
Kartono di masa itu juga menggunakan kesempatan untuk mengasah kemampuan dengan studi bentuk. Ia banyak menggambar perkakas dapur, sepatu, anatomi tubuh, serta anjing kesayangannya, si Palet. Mungkin karena keterbatasan media, Kartono banyak menggunakan medium arang atau charcoal.
Di masa revolusi kemerdekaan antara 1946 dan 1949 Kartono mengikuti perpindahan pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Di Yogyakarta Kartono banyak mengabadikan postur prajurit dan peristiwa bersejarah, seperti ke dalam lukisan yang diberi judul ”Penyerangan pada Pengok”. Kemudian ada lagi lukisan lain yang diberi judul ”Wonosari”. Lukisan-lukisan itu mengisahkan para pejuang RI dalam mempertahankan kemerdekaan yang akan diambil alih Belanda pada masa itu.
”Pada saat itu karya-karya Kartono terlihat sebagai usaha menangkap kesan ekspresif para prajurit yang sedang berlatih. Ia melukisnya dengan cat air,” kata Asikin.
Dekoratif
Kritik seni bagi karya-karya Kartono pernah dilontarkan kritikus seni Kusnadi sebagai lukisan dekoratif atau mengikuti dekorativisme yang cenderung menghias, bercerita, dan datar. Kurator tamu Amir Sidharta bersama Asikin menuangkan pandangan Kusnadi itu di dalam catatan kuratorial pameran ini dan berusaha membantahnya.
Pada kenyataannya, gambar dan lukisan Kartono tidak datar sebagaimana karya-karya dekoratif lainnya. Kartono selalu berusaha menghadirkan ilusi ruang trimatra.
”Bukankah dengan menyebut dekorativisme pada karya-karya Kartono itu justru mengecilkan makna pada karyanya yang lebih terbuka dan sangat beragam?” ujar Amir Sidharta.
Kartono Yudhokusumo terlahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, 18 Desember 1924. Deretan nama pelukis besar di masanya, seperti Chiyoji Yazaki, S Sudjojono, BJA Rutgers, dan WFM Bosschaert, pernah menjadi guru melukis bagi Kartono.
Harian Jawa Nippo yang terbit pada 13 Agustus 1934 memberitakan Chiyoji Yazaki mengakui bakat anak Jawa berusia sekitar 10 tahun. Itulah Kartono Yudhokusumo. Di masa belia itu Kartono sudah berada di Batavia dan mendapat saluran untuk menggambar dan melukis. Selain itu, ia juga dididik ayahnya yang guru menggambar dan melukis.
Pada 1950-an setelah ibu kota negara di Yogyakarta kembali ke Jakarta, Kartono memilih menetap di Bandung. Selama di Bandung itu pula Kartono kerap menjelajah wilayah di sekitar ”Kota Kembang” tersebut dengan sepeda motor besar yang dikendarainya. Kartono banyak mengabadikan pemandangan indah di ”Bumi Parahyangan” tersebut.
“Suatu ketika, di Bandung pada 1957 ia mengalami kerusakan kecil pada sepeda motornya. Kartono berhenti untuk membenahinya dan ditabrak sebuah mobil hingga meninggal,” ujar Asikin.