Ganesa di Antara Dogma dan Ekspresi Seni
Temuan patung atau wayang kulit Ganesa di Jawa dan Bali memiliki wujud begitu beragam. Ganesa tetap dihormati.
Seperti bocah tambun berkepala gajah yang lucu, itulah Ganesa sebagai panteon utama dalam ritual agama Hindu. Temuan patung atau wayang kulit Ganesa di Jawa dan Bali yang diperkirakan dibuat dalam rentang waktu berabad-abad silam itu memiliki wujud yang begitu beragam. Hal itu menunjukkan Ganesa tetap dihormati di pusaran dogma religi sekaligus memberikan peluang ekspresi seni yang membebaskan.
Ganesa pada akhirnya memberikan pumpunan nilai kehidupan yang tidak membelenggu, walau memberi dogma yang mungkin saja beku dan doktrinal. Akan tetapi, ekspresi seni memecah kebekuan itu dan membebaskan.
Belum lama ini Ganesa menjadi salah satu topik penting yang diperbincangkan di dalam Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-12 di Malang, Jawa Timur. Ini pertama kali agenda BWCF dibawa keluar dari kawasan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.
Di pelataran Gedung Kuliah Bersama Universitas Negeri Malang, tempat berlangsungnya agenda utama BWCF, 23–27 November 2023, Yudit Perdananto (46) menggelar koleksi wayang kulit kuno khusus dengan karakter Ganesa. Di tempat itu, selain Yudit, masih banyak pula yang memamerkan produk lain, terutama buku arkeologi, sastra, dan sejarah.
Baca : Monumen Kegagalan Manusia
Yudit sebagai aparatur sipil negara di Dinas Perpajakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai salah satu kolektor wayang kulit berciri khas jawa timuran, termasuk wayang kulit khas Malang. Sejak 1997, ia membeli wayang kulit dari sejumlah wilayah di Jawa Timur, terutama wayang kuno yang sudah jarang dipakai lagi.
Seperangkat wayang kulit biasanya berisi ratusan karakter yang ditempatkan ke dalam satu kotak kayu. Dari satu set wayang kulit itu biasanya terdapat satu karakter Ganesa atau wayang bertubuh manusia berkepala gajah.
Di pelataran itu, Yudit memajang 10 wayang kulit Ganesa yang terbilang kuno dengan usia ratusan tahun. Bentuknya tidak seragam. ”Wujud Ganesa yang berbeda-beda ini dimungkinkan terjadi ketika pembuatan wayang makin meluas. Ada wayang yang mungkin pertama kali dibuat untuk lingkungan keraton, kemudian berkembang di luar keraton sampai ke tingkat dusun, hingga terjadilah perubahan-perubahan bentuk wayang seperti pada karakter Ganesa ini,” ujar Yudit, Minggu (26/11/2023).
Narasi wayang kulit Ganesa ternyata jauh berbeda dengan narasi panteon percandian Hindu yang berakar dari India. Yudit menjelaskan dengan memetik kakawin Smaradhana karangan Mpu Darmadja. Di kakawin tersebut dikisahkan Ganesa lahir lebih awal dari seorang ibu bernama Dewi Parwati ketika hamil tua dan mengalami kontraksi saat melihat gajah tunggangan Batara Indra. Dewi Parwati memiliki suami Batara Guru, yang dikenal sebagai Dewa Siwa dalam ranah Hindu asal India.
Bayi yang dilahirkan Dewi Parwati itu akhirnya menjadi bocah tambun berkepala gajah. Ia tidak disebut sebagai Ganesa, tetapi Batara Ganapati.
Jauh sebelum itu, terjadilah kehancuran Kerajaan Surati yang dipimpin Prabu Ajisaka. Kerajaan itu diluluhlantakkan oleh serangan Prabu Nilarudraka. Sanghyang Padawenang meramalkan keturunan Dewi Parwati bakal mengalahkan Prabu Nilarudraka. Dialah anak Dewi Parwati sebagai sosok manusia berkepala gajah yang kemudian dikenal sebagai Batara Ganapati.
”Di sinilah dunia wayang Jawa mengisahkan Ganesa sebagai Batara Ganapati yang menjadi simbol kebijaksanaan dan menjadi penyelesai suatu masalah,” ujar Yudit.
Ganesa dalam wujud Batara Ganapati memiliki kisahnya tersendiri. Di sinilah tradisi wayang kulit Jawa sebagai ekspresi seni berhasil memecah kebekuan narasi dogmatis Ganesa.
Banyak nama
Di kompleks percandian Hindu, Ganesa menjadi salah satu panteon utama selain Durga (Dewi Parwati) dan Agastya. Selain itu, Ganesa juga bisa menjadi patung tunggal yang terpisah dari suatu percandian sehingga dalam wujud Ganesa banyak ditemukan ragam bentuk dan nama.
Dalam simposium BCWF dibahas tentang keberadaan Ganesa yang tersebar di banyak tempat dan memiliki banyak nama. Ganesa, di antaranya, dikenal sebagai Ganapati yang memimpin para Ghana.
Kemudian, dikenal juga sebagai Vighnesvara sebagai pengendali halangan, Vinayaka sebagai pemimpin utama, Gajanana sebagai tokoh yang berwajah gajah, Gajadhipati sebagai dewa para gajah, Lambkarna sebagai tokoh yang bertelinga lebar seperti gajah, Lambodara sebagai orang yang berperut besar, atau Ekadanta sebagai manusia berkepala gajah dengan gading tunggal.
Ganesa dipahami sebagai dewa pengetahuan sekaligus dewa perwira yang menyelesaikan masalah dan bisa mengatasi setiap halangan serta rintangan. Tak mustahil setiap orang mendambakan Ganesa dalam berbagai kemampuannya itu sehingga sangat mungkin keberadaan patung Ganesa pada masanya bertebaran di banyak tempat, terutama di Jawa bagian tengah dan timur serta Bali.
Arkeolog Belanda, NJ Krom, pernah mencatat perbandingan jumlah penemuan patung Ganesa, Durga, dan Agastya sebesar 22:5:2. Artinya, setiap penemuan 22 patung Ganesa disertai penemuan lima patung Durga dan dua patung Agastya. Penemuan patung Ganesa jauh lebih banyak ketimbang patung lain yang sama-sama menjadi panteon utama percandian Hindu.
Rohaniwan Katolik, Mudji Sutrisno, selaku penasihat BWCF mengutarakan nilai penting Ganesa sebagai wujud keberagaman dalam suatu harmoni, sekaligus menunjukkan kegeniusan lokal yang diekspresikan dengan bebas. Tidak jauh dari topik keberagaman, Ganesa ini juga dibahas persoalan Siwa-Buddha. Bagi Mudji, mengetahui jati diri Indonesia bisa dilakukan melalui cara memahami Ganesa dan Siwa-Buddha.
”BWCF kali ini sengaja di Malang sebagai upaya mendekati pemahaman tentang Ganesa dan Siwa-Buddha, sekaligus penghormatan setahun meninggalnya sosok pemikir Ganesa yang berasal dari Malang, Edi Sedyawati (1938-2022),” kata Mudji.
Edi Sedyawati dikenal sebagai mantan Direktur Jenderal Kebudayaan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1998). Edi memiliki disertasi yang diberi judul ”Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”.
Ia meneliti 169 patung Ganesa dan mendeskripsikan detail-detail patung itu. Salah satu kesimpulannya adalah patung Ganesa periode Singasari memiliki ciri-ciri solid dengan empat tangan. Tangan kanan belakang Ganesa memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, tangan kiri depan memegang mangkuk tengkorak, dan tangan kanan memegang patahan gadingnya.
Baca juga : Menajamkan Mata Jiwa
Kemudian kaki tambun Ganesa menginjak tengkorak. Telinganya yang lebar mengenakan anting-anting tengkorak pula. Aksesori tengkorak ini menonjol sebagai kekhasan Ganesa periode Singasari. Jumlah Ganesa asal Kediri jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Ganesa asal Singasari.
Patung Ganesa tidak melulu mengacu pada periode Singasari. Pendiri serta kurator BWCF, Seno Joko Suyono, menyampaikan, pada 2019, warga Dusun Genengan, Desa Bangsri, Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, menemukan patung Ganesa dari batu yang cukup besar dan memiliki ikonografi tidak lazim. Ganesa memiliki rambut gimbal. Di bagian belakangnya terdapat ukiran naga.
”Ganesa menjadi topik perbincangan yang masih hidup dan terus berkembang. Termasuk masalah pemulangannya dari Eropa atau Amerika beserta artefak bernilai sejarah lainnya saat ini menjadi penting sekali,” kata Seno Joko.
Ganesa Karangkates
Seno Joko menempatkan citra patung Ganesa yang tidak lazim menjadi ikon BWCF kali ini. Patung Ganesa itu diambil dari patung yang kini masih berada di wilayah Desa Karangkates, Sumberpucung, Kabupaten Malang. Patung ini ditemukan pada saat memulai pembangunan Bendungan Sutami di Karangkates. Lokasinya berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Malang.
Di sela mengikuti BWCF, Kompas menyempatkan menengok patung Ganesa di Karangkates ini, Sabtu (25/11/2023). Perjalanan ke Karangkates dari Kota Malang mengambil arah Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang. Setiba di wilayah Karangkates, tidak sulit untuk menemukan lokasi patung Ganesa.
Keberadaan patung Ganesa tersebut cukup dikenal warga. Dengan mudahnya mereka menunjukkan lokasi keberadaan patung tersebut. Sejumlah warga mengungkap mitos tentang patung dari batu andesit setinggi 202 sentimeter dengan lebar 154 sentimeter dan ketebalan 80 sentimeter tersebut.
Konon, pernah ada upaya membawa patung Ganesa tersebut ke kawasan percandian Singasari, Malang. Patung tersebut diangkut kereta dengan 44 sapi dan tiba di Singasari pada siang hari. Warga mengungkap adanya mitos pada malam harinya patung itu bisa ”pulang” kembali ke Karangkates.
Menjenguk patung Ganesa di Karangkates terasa istimewa. Selama ini kebanyakan patung Ganesa dalam posisi duduk.
Patung Ganesa di Karangkates berdiri tegak sempurna. Aksesori tengkorak banyak menghiasi patung Ganesa dengan tubuh bocah tambun berkepala gajah yang tidak lagi lucu, tetapi terlihat begitu takzim, itu.
Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, menyampaikan, ada kemungkinan Ganesa itu dibuat pada periode Singasari. Ditempatkan di Karangkates sebagai Dewa Perwira yang sedang bertugas menghalangi marabahaya banjir dan tanah longsor di lembah Karangkates pada masanya.