Teknologi memungkinkan para perupa menggubah ”data membosankan” menjadi karya yang menarik, interaktif, dan relevan dengan zaman.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi memungkinkan arsip dan sejarah diolah kembali menjadi karya yang menarik, interaktif, bahkan relevan dengan zaman. Dengan demikian, sejarah diharapkan tidak hilang, tetapi mampu diinterpretasikan terus-menerus dan dipelajari generasi masa kini.
Hal ini mengemuka dalam rangkaian diskusi pada gelaran Festival Film Dokumenter (FFD) 2023, Selasa (5/12/2023). FFD 2023 digelar di Yogyakarta pada 3-9 Desember 2023. Festival film dokumenter pertama di Asia Tenggara ini diikuti pegiat film, antara lain, dari Indonesia, Belgia, Kuba, Meksiko, Perancis, Jerman, India, Singapura, dan Argentina. Ada 84 film dari 42 negara yang ditayangkan.
Selain penayangan film, FFD 2023 juga menggelar pameran interaktif empat karya yang dibuat dengan pendekatan teknologi atau gaya tutur dalam film. Salah satu karya di pameran itu berjudul ”Faith in Speculations” karya perupa Rangga Purbaya dan Sirin Farid Stevy.
Karya itu berupa data yang dipresentasikan dalam bentuk peta interaktif. Peta tersebut memuat informasi para penyintas tragedi 1965. Pada tahun itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap antagonis bagi negara. PKI pun dihabisi, begitu pula simpatisannya. Tahun 1965 menjadi salah satu sejarah hitam Indonesia.
”Saya lahir di masa Orde Baru sehingga pengetahuan saya tentang tahun 1965 seperti apa yang dipropagandakan. Setelah Soeharto jatuh di 1998, saya baru tahu bahwa keluarga saya adalah penyintas (kejadian 1965),” ucap Rangga.
Sirin pun juga rupanya keluarga penyintas. Bermula dari itu, keduanya menggali informasi dari keluarga, lantas berlanjut dengan mewawancarai penyintas lain yang masih hidup atau keluarga para penyintas. Adapun riset ini berlangsung mulai dari 2014. Pada 2020, barulah Rangga dan Sirin menggubah data ini menjadi peta interaktif lewat platform bernama Open Source.
Peta ini disertai dengan tombol di beberapa lokasi yang kebanyakan ada di Indonesia. Jika tombol diketuk, maka akan tampil informasi tentang kejadian yang terjadi di titik itu, waktu kejadian, dan siapa yang terlibat.
Semua data ini dikumpulkan dengan mewawancarai para penyintas. Setidaknya kini ada 15-20 narasumber. Selain wawancara, mereka juga mengumpulkan data dari catatan harian para penyintas.
Rangga mengatakan, karya mereka bukan untuk membuktikan sesuatu. Sebab, data yang mereka kumpulkan tak bisa disebut sebagai bukti valid dari kejadian 1965. Namun, kisah para penyintas diharapkan membuka perspektif baru atas sejarah.
”Tahun 2012 ibu saya dipersekusi saat arisan dengan ibu-ibu penyintas lain. Saya jadi mikir, kok, masih ada seperti ini, ya? Padahal yang hadir itu ibu-ibu, mbah-mbah yang sudah renta. Kok, masih dipersekusi dengan ancaman kekerasan? Itu menyadarkan saya bahwa peristiwa ini (kejadian 1965) belum selesai,” tuturnya.
Sejarah yang digali kembali dan dipresentasikan dengan cara baru dinilai sebagai upaya berinteraksi kembali dengan sejarah. Ini juga mendorong reinterpretasi sejarah agar relevan dengan konteks hidup zaman sekarang.
Menurut pemrogram film dan Outreach Executive Asian Film Archive Singapore, Nathalie Khoo, ”memudakan” arsip, sejarah, dan data penting agar bisa dikonsumsi generasi masa kini. Dengan demikian, publik bisa mempelajari dan terkoneksi dengan akar dirinya.
”Yang penting adalah interaksi kembali dan reinterpretasi akan apa yang sudah ada,” ucapnya.
Ia mencontohkan bahwa dalam rangkaian esai video dan teks bertajuk ”Monographs”, para penulis hingga pembuat film yang terlibat menggarap isu atau karya lama yang dimaknai ulang. Salah satu video yang berjudul ”mmm”bahkan terinspirasi dari materi film karya fisikawan dan ahli awan Jepang, Masanao Abe (1891-1966).
Adapun ”Monographs” merupakan bagian dari FFD 2023. ”Monographs” diinisiasi Asian Film Archive (AFA) dan tahun ini terdiri atas 13 karya berupa 7 video esai dan 6 tulisan esai. Khoo mengatakan, ”Monographs” pernah dipamerkan, antara lain, dalam bentuk zine. Di Indonesia, karya ini dipamerkan dalam format pameran dan pemutaran film. Teknologi memungkinkan karya-karya ini dipresentasikan dalam beragam bentuk.
Sementara itu, sutradara Wisnu Candra menggunakan grafik gerak (motion graphic) untuk membuat film dokumenter tentang grup kasidah asal Semarang, Nasida Ria: Sun Stage. Film ini dibuat dengan menampilkan kolase warna-warni bernarasi jenaka serta informatif.
Format film ini tergolong unik karena kebanyakan film dokumenter dikemas dalam bentuk potongan video wawancara, narasi sejarah, dan penjelasan arsip. Adapun film ini tak menampilkan wawancara dengan narasumber sama sekali. Filmnya didominasi narasi yang dibacakan narator dengan visual bergerak.
Film ini disambut baik oleh penonton FFD 2023. Penonton tak segan berseru saat ada adegan yang menggelitik, lalu tertawa terpingkal-pingkal saat ada momen lucu. Misalnya, saat ada reka adegan orang Jerman menelepon manajer Nasida Ria, M Zain, dengan bahasa Jerman. Perkataan orang itu dibalas Zain dengan bahasa Indonesia yang kental dengan logat Jawa. Di akhir film, penonton bertepuk tangan.
Wisnu mengatakan, ia gemar menonton anime Jepang. Ia jadi terpengaruh untuk berkarya seperti anime yang gayanya dinamis dan seru. Film Wisnu bisa dibilang menjadi angin segar dalam lanskap film dokumenter.