”Jatuh Cinta Seperti di Film-film” membawa angin segar bagi dunia perfilman Indonesia. Di tengah kesederhanaan cara mengantarkan ceritanya, film ini justru mengalirkan rasa yang kaya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Film sejatinya merupakan medium yang bukan hanya hiburan, melainkan juga wahana pengantar rasa. Beragam cara bisa dipilih sesuai dengan emosi yang ingin diutarakan. Salah satunya bermain warna dan kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang universal dan berterima bagi siapa saja, yaitu cinta.
”Ini bukan film art kan ya?” kata produser rumah produksi, Pak Yoram (Alex Abbad), ketika penulis cerita, Bagus Rahman (Ringgo Agus Rahman) menawarkan gagasan film hitam putih. Bagus pun lekas menjawab film ini komersial meski hitam putih. Pak Yoram lega dan meminta Bagus lanjut menjelaskan idenya.
Itu dia secuplik adegan film Jatuh Cinta Seperti di Film-film yang tayang perdana di Jogja-Netpac Asian Film Festival pada Minggu (26/11/2023). Latarnya berawal di dalam ruangan kantor, Bagus dan Pak Yoram duduk berseberangan bertanya jawab dengan nuansa hitam putih membahas konsep cerita. Kemudian, tempat berpindah-pindah sesuai penjelasan Bagus.
Tak bermegah-megah dalam hal latar dan visualisasi, tetapi semua orang di dalam bioskop seakan terseret arus obrolan keduanya yang berkali-kali disambut ledakan tawa, bahkan tangis.
Sekitar 85 persen film ini sengaja dipilih hitam putih. Meski Pak Yoram yakin hitam putih kalau bukan horor sukar diterima penonton. ”Nanti dikira itu proyektornya rusak, Gus,” imbuh Pak Yoram yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Sepertinya, keyakinan Pak Yoram meleset kali ini.
Sebab, pada kenyataannya, film hitam putih besutan sutradara Yandy Laurens ini begitu mudah dicerna dan mencuri hati penontonnya.
Adegan yang didominasi obrolan demi obrolan antara Bagus dan Hanna (Nirina Zubir) atau Bagus dengan dua sahabatnya, Chelin (Sheila Dara) dan Dion (Dion Wiyoko), justru sangat nikmat untuk disimak.
Kehadiran Julie (Julie Estelle) yang juga terlibat sedikit obrolan tak kalah penting. Sebab, tiap dialognya bercerita. Teori ”show, don’t tell” runtuh seketika.
Sekejap seperti bernostalgia dengan pasangan Ethan Hawke dan Julie Delpy dalam Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), dan Before Midnight (2013) yang berbincang hanya berdua sepanjang film. Namun, nuansa hitam putihnya serasa penggabungan Frances Ha (2012) yang ringan dan Nebraska (2013) yang mengaduk-aduk perasaan.
Pembauran ini pun terasa manis. Seperti pemilihan karakter Hanna sebagai penjual bunga yang kontras dengan konsep hitam putih. Bukan tanpa alasan juga Yandy mempertahankan hitam putih untuk filmnya yang akhirnya diterima oleh rumah produksi Imajinari. Pengalamannya melihat duka ibunya ketika kehilangan suami dan anak mengilhaminya.
Semula film ini ingin menjadi tanda cinta untuk ibunya. ”Selama lima tahun, gue bareng Ringgo dan Nirina ngembangin ini dan guebaca-baca lagi yang udah guetulis. Gue jadi nangis sendiri. Gue jadi sadar, ya untuk mengungkapkan cinta pada mama ya cukup gue datang jadi seorang anak. Enggak perlu gue jadi filmmaker,” ungkapnya.
Sejalan dengan tokoh Bagus yang awalnya ingin mengungkapkan cintanya pada Hanna, teman SMA-nya yang baru saja berduka karena suaminya berpulang. Ungkapan cintanya dalam bentuk film yang merangkum semua percakapan dan pertemuan mereka. Dengan harapan, Hanna sudah move on ketika film itu ditonton nanti.
Hitam putih pula yang digunakannya untuk menggambarkan duka Hanna sepeninggal kematian suami tercintanya.
Mencari bentuk
Meski disebut genre komedi romantis, Yandy masuk sangat dalam membiarkan penonton menerjemahkan rasa secara personal di tiap adegan berbalut hitam putih. Di sisi lain, tokoh Bagus seperti tenggelam dalam imajinya, serupa dengan Hanna. Hiper realisme.
Mengutip Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulations, ia menyebut manusia identik dengan pikiran imajiner dalam melihat realitas. Konteks ini membuat kenyataan dan fiksi serasa tak berbatas. Realitasnya terasa semu, bayangan di kepala kita jauh terasa nyata.
Rasanya ada yang ngelarang kita bahagia. Enggak boleh bahagia banget.
Itu pula yang diwakilkan Bagus. Sebagai penulis, ia terus mencari bentuk yang sesuai dengan harapan dan bayangannya yang lama-lama dirasanya nyata. ”Semua romansa ini cuma ada di kepala luaja, Gus,” ujar Hanna yang merasa Bagus terasa terus memaksakan kehendaknya dan mengecilkan rasa duka yang dimilikinya.
Hanna juga terjebak dalam pseudorealitas. Duka dari kematian sang suami perlu berproses. Bayang-bayang, kenangan, dan kebiasaan yang kadung terbangun dirasanya akan terus mengikutinya sehingga kesendirian dinilainya paling ideal. ”Rasanya ada yang ngelarang kita bahagia. Enggak boleh bahagia banget,” kata Hanna.
Persoalan Bagus dan Hanna ini juga secara tidak langsung memotret kondisi sosial masyarakat selama ini. Duka harus lekas diusir. Move on katanya. Orang-orang yang mengaku peduli lah justru yang gencar memburu-buru untuk mengusir lara kehilangan yang dialami seseorang.
Otokritik
Di sisi lain, film ini menjadi sarana otokritik untuk industri perfilman. Kehadiran Pak Yoram yang membandingkan film art dan komersial, penggunaan kisah seseorang sebagai cerita tanpa izin, hingga perilaku para pelaku film yang ”ajaib” tetapi nyata.
Pemilihan karakter Chelin dan Dion yang membuat penonton terbahak agaknya menyindir salah satu jejaring bioskop di Indonesia. Sebab, jejaring bioskop itu selalu memutar lagu Celine Dion berulang kali selama bertahun-tahun di dalam studio sembari menanti film akan diputar.
Belum lagi sistem kerja kejar tayang dalam pembuatan naskah yang berpotensi berpengaruh terhadap film sendiri juga diulik. Bagus sampai sakit tifus. Ketika di rumah sakit, Pak Yoram tak hanya membawakan pakaian Bagus tapi juga laptop Bagus. Biar tidak bosan katanya.
Suka tidak suka, kapitalisme memang masih berbicara. Sineas dan rumah produksi kadang harus beradu demi mempertahankan idealisme. Bahkan, untuk konsep komedi romantis, jika dicermati umumnya pasti menggunakan aktor dan aktris muda. ”Mana ada yang mau nonton film cinta-cintaan kalau yang main seumuran kita,” ujar Hanna.
Benturan idealisme dan kapitalisme itu juga dialami Yandy. ”Ditolak sana-sini karena hitam putih,” ujar Ringgo.
Ernest Prakasa dari Imajinari juga mengaku kesulitan mencari pendanaan untuk film ini. Namun, dari awal, pembuatan Imajinari sebagai wadah untuk menampung ide liar dan idealisme para pelaku industri perfilman. Karena itu, dukungan penuh dilakukannya sampai bertemu dengan Jagartha dan Trinity Entertainment.
Dari sini, belajar membela idealisme tak ada salahnya juga. Bukankah film adalah medium yang bebas? Tak perlu lagi pengotakan film art atau film komersial. Film ya film yang punya tujuan untuk menyalurkan aneka rasa, baik untuk tua maupun muda, apa pun warnanya. Selamat jatuh cinta!