Petuah dari ”Malam Para Jahanam”
Produser Starvision, Chand Parwez, hendak menyuguhkan masa Indonesia paling kelam yang justru lebih mengerikan dari pertunjukan horor lewat ”Malam Para Jahanam”.
Masa-masa gelap nyaris enam dekade lalu diangkat kembali lewat Malam Para Jahanam yang bergenre horor. Makna kerukunan bisa dipetik dari film yang dibingkai konteks sejarah itu. Penonton sekaligus diingatkan untuk mawas diri dengan menguatnya tensi politik.
Petaka berasal muasal ketika Desa Winongo, Jawa Tengah, yang semula damai mulai memanas, tahun 1965. Syahdan, Malik (Teddy Syach), dan Bahtiar (Derry Oktami) bersahabat sejak kecil hingga mereka menamatkan pendidikan dan membawa ideologinya.
Dibakar kebencian Malik, Bahtiar, dan pengikut-pengikutnya, Winongo berangsur jadi ladang pembantaian. Mayat kerap ditemukan dengan luka bacok yang bikin bergidik. Rumah diteror dengan bom molotov lalu pelakunya dibekuk untuk digebuki tanpa ampun.
Fitnah merajalela. Puncaknya, mereka ramai-ramai saling tebas, tak terkecuali Malik dan Bahtiar yang berduel satu lawan satu di antara pertarungan masif. Entah siapa membunuh siapa. Desa tersebut pun dilanda kutukan. Bersamaan dengan tanggal tragedi itu setiap tahun, arwah-arwah bergentayangan.
Selama tiga hari, mereka juga memburu warga yang lalai gara-gara keluar rumah, tak mengaji, atau mengejek dengan menganggap gerombolan hantu sekadar takhayul. Korban tewas berjatuhan, termasuk setiap pendatang yang tak luput dari sergapan roh-roh jahat dengan dendam tak berkesudahan.
Set beralih ke masa kini. Rendi (Harris Vriza) memenuhi amanat kakeknya yang baru berpulang untuk dikebumikan di Winongo. Ia berangkat dari Jakarta dengan sahabat-sahabatnya, Siska (Amel Carla) dan Martin (Zoul Pandjoul), didampingi Tarja (Mang Saswi) yang menyetir mobil jenazah.
Rombongan tiba tepat saat malam laknat tersebut dimulai. Kontan, Rendi dan sobat-sobatnya lintang pukang. Mereka bertemu anak Malik, Marni (Djenar Maesa Ayu). Titik terang baru tersingkap sewaktu ia bersama kerabatnya, Dira (Aghniny Haque), menyingkap misteri di desa yang amat terpencil itu.
Rendi yang hendak lepas dari maut bertekad mengakhiri tulah tersebut bersama kawan-kawan barunya. Mereka mesti mengelak dari kejaran zombi-zombi berwajah hancur dan tubuh membusuk yang masih saja baku tikam dengan pisau, golok, hingga celurit.
Serupa tetapi tak sama, Marni sudah jemu dengan laga tak berujung yang dipicu dogma atau pandangan picik. Sesama anak bangsa yang selayaknya saudara malah menyabung nyawa. ”Anak cucu kalian ingin tenang dan bahagia. Pertikaian kalian bukan masalah kami,” jerit Dira.
Korban G30S
Film itu dengan terang benderang memvisualisasikan amuk massa seusai G30S. Kantong-kantong PKI menjadi arena perburuan manusia malang hingga mencuatkan keangkerannya sendiri dengan desas-desus yang kerap hanya beredar di antara masyarakat setempat.
Kekejian tak terperikan dengan pembantaian besar-besaran hingga sulit menghitung insan-insan yang menemui ajalnya. Merujuk buku G30S, Fakta atau Rekayasa yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kata Hasta Pustaka, tahun 2013, jumlah korban tewas belum bisa dipastikan.
Fact Finding Comission, misalnya, mengutarakan, korban tewas sejak awal September hingga pertengahan Desember 1965 ditaksir sekitar 80.000 jiwa. Sementara, Menteri Penerangan Achmadi menyampaikan jumlah korban tewas di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara saja sekitar 800.000 jiwa.
Indonesia beberapa kali menorehkan lembaran hitam. Duka massal selanjutnya yang tak kalah menyesakkan, tahun 1998, dipantik penculikan aktivis, penembakan beberapa mahasiswa, hingga kerusuhan di sejumlah kota yang berujung pertumpahan darah sesama saudara sebangsa.
Buku Menatap Wajah Korban yang ditulis Usman Hamid, Hotma Timbul Hutapea, A Patra M Zen, dan Stanley Yosep Adi Prasetyo menukil jumlah korban meninggal akibat dibakar hingga 1.190 jiwa, selain 31 orang hilang, sesuai catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Karya yang diterbitkan lima lembaga swadaya masyarakat, komisi, dan asosiasi, tahun 2005, tersebut juga mencantumkan data bangunan rusak versi Kodam Jaya atau 3.862 unit. Hasil penyelidikan, terutama Trisakti hingga Semanggi I dan II, pun hanya tertera pada kertas-kertas.
Ditarik benang merahnya, Malam Para Jahanam bukan horor belaka. Tontonan berdurasi sekitar 1,5 jam itu menyelipkan petuah berlatar belakang sejarah. ”Semoga peristiwanya tak terjadi lagi,” kata produser Starvision, Chand Parwez.
Ia ogah merilis tayangan yang konvensional. Parwez ingin menyuguhkan masa Indonesia paling kelam yang sebenarnya lebih mengerikan dari pertunjukan horor. ”Konfliknya begitu brutal, padahal mereka menghadapi teman atau warga sekampung,” ujarnya.
Akhir yang tak terduga atau plot twist turut disajikan, tetapi ia mengedepankan harapan kepada audiensnya untuk waspada. ”Tahun politik, semua harus lebih berhati-hati. Saya juga mau menyuguhkan hiburan berbeda yang terinspirasi sejarah,” ujarnya.
Indra Gunawan menyutradarai tayangan tersebut karena menyukai sejarah, terutama seputar G30S, seraya mengemukakan memorinya. ”Kalau seumuran, saya pasti ingat setiap 30 September menyeramkan. Saya pilih horor biar beda saja, pakai konten sejarah,” tuturnya.
Ia juga menyadarkan soal semakin intensnya politik seiring pemilu yang kian di ambang pintu, berikut potensi konflik antarpendukung kontestan. ”Berkacalah pada sejarah dengan situasi yang sangat tidak jelas. Kalau ribut, ya dimanfaatkan pihak ketiga,” katanya.
Penulis skenario dan ide cerita Malam Para Jahanam, Sugeng Wahyudi, mengaku menanggung beban lantaran film yang diputar setiap menjelang 1 Oktober semasa kecilnya. ”Maka, saya dan Indra seide bikin cerita yang bisa meredam warisan dendam,” ujarnya.
Muncul hoaks
Djenar ikut berbagi kemuraman serupa dengan tak semata-mata membintangi Malam Para Jahanam, tetapi juga menganggapnya biografi psikologis. ”Walau tak mengalami peristiwanya, waktu menyimak berita jadi punya empati dan merasakan terornya yang terus diulang setiap tahun,” ujarnya.
Djenar justru bisa melampiaskan kerisauan hingga ketakutan berwadahkan filmnya yang tentu tak mengusung muatan politis. ”Buat saya yang berumur 50 tahun sangat merasakan intimidasinya semakin dekat September. Segala bentuk kekerasan pasti tak baik,” tuturnya.
Co-Director Data and Democracy Research Hub Ika Idris mengamati ujaran kebencian dan hoaks pemilu yang muncul meski masih sporadis. ”Sebentar-sebentar saja. Belum ada narasi utama perpecahan. Januari nanti, semakin rawan konflik, apalagi kalau ternyata dua putaran (pilpres),” katanya.
Ia memantau tujuh kelompok dan mendapati ujaran kebencian mulai dilancarkan terhadap etnis tertentu. Perbedaan pilpres saat ini dinilai agak jauh dibandingkan sebelumnya. ”Kalau selisih perolehan suaranya tipis, bisa saja orang terus dipanas-panasi supaya terpolarisasi,” ujarnya.