Napoleon, Disanjung atau Digugat?
Film ”Napoleon” menyisakan pertanyaan: apakah Sang Jenderal pantas disanjung atau justru digugat. Film berlatar perang selayaknya mengemban nilai antiperang. Di manakah posisi sutradara Ridley Scott?
Cerita tokoh seagung Napoleon Bonaparte telah banyak kali dituliskan, dipentaskan, juga difilmkan. Sejak era film bisu di abad silam, film tentang Napoleon sudah ada. Sutradara Hollywood kawakan Ridley Scott mengambil risiko membuat versi lain kisah ini.
Hari-hari ini di Indonesia, politisi sedang mejeng di mana-mana dengan berbagai tingkah-polah; ada yang sok imut memegang boneka, berjoget kocak di Tiktok, sampai berdandan layaknya generasi Z. Dunia politik sedang disederhanakan sedemikian rupa menjadi ”p” sekecil mungkin.
Di masa inilah, film Napoleon yang menceritakan petualangan Sang Jenderal kelahiran Korsika diluncurkan Colombia Pictures dan Apple Original Films. Di Indonesia, film berdurasi 158 menit ini mulai tayang di bioskop pada 29 November, sehari setelah dimulainya jadwal kampanye Pemilu 2024.
Di film tergambarkan, Napoleon adalah tentara Perancis yang gemilang memimpin pasukan di pertempuran Toulon pada 1793. Perancis memukul aliansi Inggris-Spanyol dari kota pelabuhan itu. Dengan serangan kilat pada sebuah malam di bulan Desember ketika pasukan Inggris sedang rehat minum bir di benteng, pasukan Napoleon membombardir dengan meriam. Kapal-kapal perang yang tengah bersandar dihancurkan dengan meriam dari atas benteng.
Keberhasilan itu membuatnya dianugerahi pangkat brigadir jenderal. ”Aku menjanjikanmu kemenangan besar. Sudah kupenuhi,” ujar Napoleon yang diperankan Joaquin Phoenix. Pamornya menanjak dan disambut bak pahlawan perang di Paris. Gerbang menuju kekuasaan absolut terbentang.
Kemenangan itu berbarengan dengan gonjang-ganjing politik di Perancis. Politisi Maximilien Robespiere dituding sebagai biang kerok kekacauan di Revolusi Perancis karena menebar teror dengan pisau guillotine. Leher Ratu Perancis Marie Antoinette merasakan dinginnya pisau itu. Kepalanya yang terpenggal jadi tontonan dan cemoohan di alun-alun.
Lawan politik Robespiere, Paul Barras (Tahar Rahim), mengajak Napoleon bersekutu, berharap mendapat pengaruh lebih besar. Strategi licin itu berhasil. Robespiere mengakhiri nyawanya. Periode Teror berakhir. Teks di layar bawah tertera, ”41.500 tahanan dibebaskan”, sebagai imbas dari tumbangnya rezim Teror.
Salah satu tawanan yag dibebaskan itu adalah Josephine de Bauharnais (Vanessa Kirby). Dia berjalan sendiri mengenakan tudung di jalanan lengang penuh sisa-sisa kehancuran. Karakter yang menarik perhatian. Suami pertama Josephine adalah korban kekejaman rezim Teror yang dipenggal. Kelak, kepada Napoleon, Josephine bercerita, ”Satu-satunya cara bertahan di penjara adalah hamil.”
Tatapan mata Napoleon-Josephine pertama kali terjadi di acara pesta Malam Penyintas. Sepertinya, sutradara Ridley Scott menggambarkan karakter Napoleon, Sang Penakluk, gugup di hadapan perempuan. Karakter Josephine terlihat lebih kuat dan berpotensi mendominasi.
”Mengapa kau menatapku?” tanya Josephine yang menangkap arah mata Napoleon dengan seragam militernya. ”Memangnya begitu?” balas Napoleon sebelum mengakui ”tertangkap basah”. Ia gugup, kikuk, sekaligus berusaha mempertahankan wibawa.
Baca juga : Saat Menikah Butuh Lebih dari Doa Restu
Sejak adegan ini, jalan cerita yang ditulis David Scarpa ini seolah bercabang dua. Film menuturkan romansa pelik antara Napoleon dan Josephine. Keduanya menikah. Di sisi lain, film juga menceritakan invasi yang dipimpin Napoleon ke banyak tempat, seperti Mesir, Austerlitz, Rusia, hingga Waterloo.
Ridley Scott menggambarkan intensitas adegan peperangan Napoleon sama serunya dengan konflik rumah tangganya. Dua ”jalur cerita” itu terhubung dengan narasi yang dibacakan Phoenix seolah-olah sedang mengirim surat untuk Josephine. Di mana pun Napoleon bertempur, Josephine selalu disebut.
Adegan detail
Scott adalah sutradara yang berpengalaman membesut film kolosal seperti Kingdom of Heaven (2005) dan Gladiator (2000). Film Napoleon pun begitu. Ratusan, bahkan mungkin seribuan, aktor ekstra dilibatkan, terutama di adegan peperangan. Bisa dibilang, adegan perang gaya abad ke-18 dan ke-19 membuat mata tetap terjaga di film berdurasi panjang ini.
Betapa tidak, Scott membuat adegan perang dengan detail. Pada pertempuran musim dingin di Austerlitz, misalnya, strategi serangan bergelombang terpampang. Pasukan infanteri maju terlebih dulu, mengandalkan senapan laras panjang berbayonet. Ini ditambah derapan kavaleri berkuda yang menghabisi musuh dengan sabetan pedang. Pertempuran dipungkasi dengan tembakan meriam ke sudut rendah yang rupanya berfungsi menghancurkan lapisan es yang membuat pasukan Austria dan Rusia mati tenggelam.
Koreografi epik peperangan juga tersaji di pertempuran Waterloo, perang terakhir Napoleon. Formasi pertahanan empat persegi pasukan Inggris demikian solid. Mereka menghunuskan bayonet, menghadang serbuan pasukan berkuda Perancis. Visual ini menambah wawasan penonton tentang bagaimana peperangan terjadi di era sebelum tank dan nuklir.
Detailnya adegan perang ibarat pedang bermata dua. Sosok Napoleon terlihat sangat patriotik dengan kadar nasionalisme meluap-luap. Dengan perang pula Perancis jadi salah satu negara besar di dunia. Namun, perang tetaplah perang, pertunjukan kekejaman. Tengok saja bagaimana Napoleon menghalau demonstran bersenjata parang dan garu. Sebanyak 20.000 ”pembangkang” rezim dituntaskan dengan tembakan 40 meriam bersudut rendah. Peluru gotri yang lebih besar dari bola tenis mengoyak tubuh tak berperisai.
Phoenix, Sang Napoleon, berekspresi dingin pada kekejian itu. Ada agresivitas di balik bibirnya yang terlihat lebih sering terkatup rapat. Kepada Josephine sekalipun cinta sejatinya, ucapannya cenderung pasif-agresif. Ajakan bersekutu, misalnya, kepada Tsar Alexander dari Rusia atau Pangeran Francis I dari Austria selalu berlindung di balik alasan perdamaian dunia, tetapi dengan cara invasi.
Sejumlah ahli sejarah mempertanyakan akurasi film Napoleon ini. Dikutip dari The Guardian, penulis biografi Napoleon, Andrew Roberts, menyangkal adegan pertemuan Napoleon dan Wellington di Plymouth. Sejarawan militer Dan Snow menambahkan, adegan tembakan meriam ke piramid tak pernah terjadi, begitu juga dengan kehadiran Napoleon saat Marie Antoinette dipenggal guillotine.
”Saya penggemar epos sejarah. Saya juga suka karya-karya Ridley Scott. Namun, jika Anda menonton film ini, sadarilah bahwa film ini bukan dokumenter,” kata Snow.
Baca juga : Dunia yang Aman bagi Transpuan
Ya, bagaimanapun, ini adalah film cerita yang berlatar sejarah. Perspektif penulis naskah, sutradara, pemeran bisa memengaruhi jalinan emosional cerita. Film berlatar sejarah bisa jadi gerbang untuk mendalami kisah sebenarnya.
Sikap Scott bisa terbaca pada kalimat yang muncul sebelum kredit di ujung film. Di situ tertulis jumlah korban dari setiap peperangan yang dipimpin Napoleon. Selama karier kepemimpinannya di militer, tak kurang dari 3 juta orang meninggal. Membaca itu, penonton jadi bertanya-tanya: apakah Napoleon mengikuti jejak Alexander Agung seperti ucapannya atau malah mengilhami Adolf Hitler.