Penampil Festival Joyland dari berbagai kawasan dunia membuatnya lebih berwarna. Band bagus bisa berasal dari mana saja.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI, SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Perhelatan festival musik Joyland di Stadion Baseball Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat sampai Minggu (24-26/11/2023), memanggungkan tak kurang dari 48 penampil musik. Banyak di antaranya berasal dari negara-negara sisi selatan dunia, seperti Jepang, Thailand, Korea Selatan, Australia, selain tentu saja Indonesia. Hujan dan lumpur menambah pengalaman menikmati festival dengan musik dari sejumlah negara.
Seperti yang dibilang band Guns ’N Roses, bulan November identik dengan hujan. Itulah yang terjadi di perhelatan ketujuh festival Joyland sejak Jumat sampai Sabtu petang. Sebagian penonton menyingkir berteduh, terutama pada hari Jumat. Sisanya, yang sudah lebih siap, menikmati musik di bawah lindungan jas hujan.
Pada penyelenggaraan tahun lalu, Joyland hari pertama juga dihantam hujan badai. Grup Project Pop batal tampil. Tahun ini, tak ada yang batal tampil, tetapi acara sempat dihentikan ketika musisi Kamaal Williams sudah main satu lagu di panggung bernama Plainsong Live Stage. Kilat menjilati langit dan petir menyambar bergantian.
Penonton bubar mencari tempat berteduh walau sudah kepalang basah. Ada yang menepi ke bar membeli minuman. Ada yang ke toko resmi festival, berteduh sambil belanja. Dagangan berupa kaus dan sandal laris dibeli mereka yang kulit tangan dan kakinya keriput kebasahan.
Di hari kedua, penonton sepertinya sudah lebih siap menghadapi hujan. Langit Jakarta dan sekitarnya menggelap sejak pagi. Sorenya, ketika festival dimulai, hujan turun menyambut penonton yang berdatangan. Mereka melindungi diri dengan jas hujan, sepatu bot, dan plastik sarung sepatu. Dari kejauhan kerumunan itu terlihat seperti penguin warna-warni, apalagi ditambah goyang-goyang kecil mengikuti irama.
Bayangan dan band pengiringnya dari Malaysia kebagian tampil di panggung kecil ketika hujan sekitar pukul 17.00 itu. Bayangan adalah nama panggung penyanyi/penulis lagu Fikri Fadzil. Dari panggung, Fikri berulang kali memastikan kondisi para penonton. ”Aman!” jawab mereka. Musik jalan terus.
Penyelenggara, Plainsong Live, juga berbenah menyikapi hujan. Akses jalan menuju arena utama yang sehari sebelumnya menjadi genangan lumpur ”ditambal” dengan memasang kayu. Kekhawatiran terpeleset agak berkurang. Bisa dibilang itu adalah upaya kecil penyelenggara menyikapi hujan.
Ferry Dermawan, Program Director Joyland Festival, sebelumnya berujar bahwa mereka tak banyak melakukan ”mitigasi” jika hujan dan badai terjadi. Konstruksi tenda dan kios diperbaiki sehingga tak ambruk seperti di tahun sebelumnya. Area berteduh penonton juga lebih banyak memanfaatkan fasilitas arena stadion.
”Logikanya, kemungkinan hujan dan panas bisa saja terjadi selama festival berlangsung. Jadi, orang datang ke acara musik harus siap juga menghadapi itu. Menonton musik pakai jas hujan enak juga, kok,” kata Ferry.
Ucapan Ferry ada benarnya. Banyak penonton yang menikmati benar hujan-hujanan di depan panggung. Ketika David Bayu tampil pada Jumat, misalnya, ada seratusan orang bertahan di bawah guyuran hujan deras. Itu bikin David terharu. Dia ikutan turun panggung, membaur bareng penontonnya membawakan lagu ”Posesif” dari katalog band Naif. Larik ”Mengapa aku begini/jangan kau mempertanyakan/…” dilantangkan keras-keras layaknya jawaban atas mengapa rela berhujan-hujanan demi musik. Lagu ”Deritaku” juga terasa semakin menyayat jika kepala tersiram air hujan.
Saya lagi pelan-pelan belajar bahasa Indonesia, mulai dari (aplikasi) Duolingo sampai tanya-tanya ke ibu.
Tamu dari selatan
Selain hujan, kurasi penampil patut digarisbawahi. Tahun ini, tiga panggung musik yang disediakan makin banyak diisi musisi/band dari kawasan Asia, Australia, sampai Selandia Baru. Fazerdaze adalah salah satu penampil dari sisi paling tenggara bumi, yakni Selandia Baru. Ia adalah nama panggung dari Amelia Rahayu Murray. Benar, Fazerdaze yang pernah masuk nominasi Piala Grammy itu keturunan Indonesia dari garis ibu.
Penonton menyambut musik besutannya yang bercorak alternatif-indie. Sosok Amelia yang bergincu merah dengan gitar elektrik tersampir ibarat girl crush, atau cewek demenan para muda-mudi. Citra anak band yang keren melebur dengan sosoknya yang tertawa kikuk saat jeda, lalu berubah keren lagi waktu melantunkan ”Come Apart” dan ”Shoulders”.
Amelia memberi kejutan dengan mengubah setengah lirik ”Shoulders” menjadi berbahasa Indonesia. Perlu waktu beberapa sekon mencerna terjemahan yang dibawakan dengan ”logat bule” itu. Saat sadar liriknya berbahasa Indonesia, penonton bersorak layaknya menyambut kakak perempuan pulang kampung.
”Saya lagi pelan-pelan belajar bahasa Indonesia, mulai dari Duolingo sampai tanya-tanya ke ibu,” katanya. Fazerdaze menutup aksinya dengan nomor ”Lucky Girl” dan ”Thick of the Honey” yang menyalak pelan.
Pada Sabtu tampil Glass Beams asal Melbourne, Australia, yang misterius. Terlalu gegabah menyematkan ”jazz” pada corak musik mereka meskipun terasa demikian. Musik racikan Glass Beams diperkaya bunyi instrumen tak umum seperti sitar dan harpa. Pengaruh Ravi Shankar kuat terpancar.
Lagu-lagu instrumental yang mereka bawakan berasal dari debut mini album Mirage keluaran 2021. Aura glamor disko dekade 1970-an berbaur dengan ritme jazz dan funk. Di sisi lain, ada nuansa psikadelia di sana-sini. Ini seperti mendengar Alice Coltrane tapi tampil diiringi disjoki di diskotek zaman dulu.
Fazerdaze, Glass Beams, Bayangan, dan Mildlife adalah empat dari 13 penampil luar negeri dari kawasan Asia dan Australia. Selain Bayangan, ada Curb dan Sobs dari Singapura, serta Yonlapa dari Thailand. Dari Jepang ada Wednesday Campanella, Luby Sparks, dan yang paling dinanti: ”Otoboke Beaver”. Solois eaJ yang keturunan Korsel tampil di hari pertama.
Jurnalis musik, Ricky Siahaan, berpendapat, festival Joyland merupakan ajang tepat mempertemukan talenta dari negara-negara di kawasan Selatan dengan penontonnya sekaligus menjadi warga global di dunia musik. ”Saat ini, musik berkualitas berhasil meleburkan perbatasan antarnegara, terlebih di regional Asia Tenggara. Para penggemar musik, terutama penonton Joyland, pantas mendapat pilihan terbaik dari wilayah ini,” kata Ricky.
Kehadiran para tamu dari kawasan Selatan bersama tuan rumah seakan melengkapi deretan penampil yang lebih mapan dari kawasan Eropa dan Amerika Utara. Band Bloc Party asal Inggris, misalnya, menjadi panutan musisi di belahan dunia lain.
Jejak musik disko-rock besutan Kele Okereke dan kawan-kawan ini terasa di lagu-lagu Mildlife. Tak salah juga mengatakan ada pengaruh Fleet Foxes asal Kanada pada musik bikinan Bayangan. Sementara bunyi gitar berlapis-lapis besutan Mew dari Denmark mewarnai musikalitas Fazerdaze. Adapunn indie-rock yang cenderung gelap ala Interpol menggurat di band metal Avhath dari Jakarta.
Wadah bernama Joyland mempertemukan itu. Musisi yang tampil seakan terjalin dengan frekuensinya masing-masing. Penonton berduyun-duyun menerabas hujan dan kemacetan demi pertemuan yang tak perlu dipertanyakan lagi alasannya. Hari Minggu ini kesempatan terakhir menikmatinya.