Para desainer di Bintaro, Banten, unjuk gagasan dan karya ramah alam yang dipamerkan di Bintaro Design District 2023.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Setiap tahun sejak 2018, desainer dari beragam disiplin ilmu di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, mengadakan hajatan desain bertajuk ”Bintaro Design District”. Desainer saling unjuk karya dan gagasan sambil silaturahmi. Kali ini, di tengah cuaca yang kian panas, mereka sepakat bahwa desain mesti bisa berkontribusi positif pada alam.
Dengan itu pula Bintaro Design District (BDD) 2023 bertema ”Envisioning Nature”. Para desainer—arsitek, desainer grafis, hingga desainer furnitur—menerjemahkannya menjadi karya ramah lingkungan, atau karya yang menggugah audiens untuk menyadari alam.
Ada lebih dari 30 instalasi yang bisa diakses publik di beberapa titik di Bintaro, seperti Jalan Manyar, Hutan Sampireun, Creative Box, Aviary Park, Garasi Mawi, dan T Space. Gelaran ini berlangsung pada 8-18 November 2023.
Di BDD 2023 juga ada gelar wicara, 12 acara open house, dan 11 open architecture. Open house dan open architecture berarti publik bisa mengunjungi bangunan dan rumah rancangan arsitek selama BDD. Biasanya, bangunan dan rumah itu tak terbuka buat umum.
Tahun ini ada T Space rancangan arsitek Raul Renanda yang bisa dikunjungi publik. T Space sejatinya bangunan milik dokter sekaligus musisi Tompi yang digunakan antara lain untuk klinik kecantikan dan restoran.
Arsitek Andra Matin juga membuka kafe miliknya, Kopi Manyar, sebagai ruang pameran. Rumah pribadinya di Jalan Manyar juga jadi obyek open house untuk 120 orang. Ada pula enam orang beruntung yang boleh menginap di sana. Syaratnya, mereka mesti menulis esai tentang rumah itu.
Open house dan open architecture menawarkan pengalaman ruang. Pengunjung diizinkan berinteraksi dengan tinggi-rendahnya langit-langit, perbedaan tekstur dinding kayu dan batu, sejuknya udara yang berembus dari lorong angin, hingga kontrasnya warna shocking orange di tengah ruangan beraksen beton dan batu bata.
Pengalaman ruang diharapkan membuat pengunjung sadar desain. Semakin banyak tabungan pengalaman, semakin kaya pula referensi mereka akan desain. Kesadaran akan ruang yang ngarsitek dan well designed juga diharapkan tumbuh.
”Orang itu harus mengalami. Desain itu juga harus mengalami. Misalnya, kursi itu kita harus pegang, kita harus coba duduk. Arsitektur juga. Kita harus masuk ke dalam rumahnya, merasakan sempit, terang, tinggi, rendah, takut, senang,” ujar Andra Matin.
Siapa tahu dengan ini kita tak lagi asal merancang di ruang publik. Soalnya ada saja rancangan yang tak sudah tak sedap dipandang mata, tak fungsional pula! Sudah pasti perancangnya tak lulus tiga prinsip Vitruvius.
Dari pengalaman ruang pula, para desainer berharap kesadaran audiens akan alam tumbuh. Bumi semakin panas dan kalau dibiarkan, makhluk hidup di bumi bakal menghadapi kepunahan massal. Para desainer pun mencari cara agar rancangannya sebisa mungkin ramah lingkungan. Rancangan mereka juga dibuat agar mampu merespons kondisi alam.
Instalasi
Arsitek Primaldy Perdana dari Pravva Studio, misalnya, bermain dengan angin untuk menyiasati cuaca panas. Lewat instalasi bertajuk ”Terasa”, ia membuat beberapa paviliun temporer yang diberi jarak sekitar 1 meter. Jarak antarpaviliun itu menciptakan lorong yang membelokkan angin. Walau terik matahari tak bisa dihalau, sirkulasi udara membantu mendinginkan badan yang kepanasan.
Lorong angin itu juga berfungsi sebagai taman. Tanaman bisa tumbuh subur karena mendapat sinar matahari yang cukup. Adapun posisi lorong sejajar dengan lintasan matahari dari timur ke barat.
Hijau dedaunan bisa dinikmati audiens dari dalam paviliun lewat dinding kaca. Sembari menikmati hijau-hijau, audiens bisa juga melihat gugusan wind rose yang disusun seperti peta Indonesia. Wind rose itu mencatat kecepatan dan arah angin dari beberapa kota.
”Ini simbol bahwa kita bisa bermain dengan angin ketika mendesain,” ujar Primaldy yang berkolaborasi dengan YKK AP untuk membuat karya ini.
Jika taman berada di sisi kanan paviliun, Primaldy membuat ”taman tandingan” di sisi kiri. Taman tandingan tak ubahnya taman imitasi yang diberi wewangian dari reed diffuser. Katanya, ini agar audiens bisa merasakan kontras antara taman alami dan buatan. Adapun Terasa ada di BDD Center, tak jauh dari Bintaro Plaza.
Bergeser ke T Place, desainer Dennis Plümmer dari Pring Studio memamerkan kursi yang diberi nama ”The Kidul”. Bahan dasar kursi ini dari bambu di kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut dia, bambu banyak tersedia di sana dan mesti segera dimanfaatkan.
”Bambu membusuk setelah 6-7 tahun. Setelah itu, karbon yang diserap bambu bisa lepas kembali ke alam,” katanya.
Ia menambahkan, bambu dewasa mesti segera dipanen untuk memberi ruang bagi bambu-bambu muda untuk tumbuh dan menyerap karbon. Adapun bambu butuh waktu lima tahun untuk ”matang” relatif cepat dibandingkan pohon berkayu keras. Bambu yang berlimpah dan mudah beregenerasi menjadikannya ideal untuk bahan bangunan dan furnitur.
Desain yang selaras dengan alam juga digarap Devan Fagan Artganta (11), siswa sekolah rumahan di Tangerang Selatan. Peserta termuda BDD 2023 ini membuat ”Puzzle House”, rumah berbentuk silinder yang bisa berpindah-pindah. Gagasannya diwujudkan dalam bentuk maket yang dipajang di Garasi Mawi.
Puzzle House bisa berpindah dengan digelindingkan. Fagan terinspirasi dari dung beetle atau kumbang kotoran (Scarabaeus viettei) serta bianglala. Ketika rumah digelindingkan, orang dan benda di dalamnya tak akan ikut menggelinding. Ini karena perancangnya memadukan gaya sentripetal, distribusi berat secara merata, dan gravitasi. Puzzle House ini diharapkan bisa membantu orang yang ingin punya rumah, tetapi terbatas oleh lahan.
Semoga lahan tak benar-benar habis di masa depan. Gagasan anak 11 tahun dan para desainer profesional di Bintaro setidaknya mengaminkan doa itu.