Mendengar Ananda dan Monita Bercerita
Ananda piawai mengaduk emosi dan kesedihan. Monita menabur kebahagiaan dan optimisme. Konser Pada Waktu melebur dua kutub itu.
Ananda Badudu dan Monita Tahalea punya jalan kariernya masing-masing dalam bermusik. Namun, keduanya sama-sama senang bercerita; lewat lirik lagu, pun obrolan. Maka, ketika keduanya membuat konser bareng bertajuk Pada Waktu, kata-kata mengalir panjang seperti hendak menjelaskan kenapa mereka ada di situ dan layak ditonton.
Konser yang dihelat secara swadaya dengan sokongan segelintir sponsor itu rasanya seperti ilusi; terlalu bagus untuk terjadi. Bagaimana tidak, pertunjukan dimulai pada Senin (13/11/2023) pukul 19.30 di Gedung Kesenian Jakarta, di jantung Ibu Kota yang sedang sibuk tak menentu.
Sekitar 400 pemegang karcis berangsur-angsur menuju gedung pertunjukan, senja hari seusai jam kantor. Ada yang baru saja berdesakan di kereta. Ada yang pasrah berada di jok belakang ojek motor yang berebut ruang di perempatan. Ada yang turun dari jok belakang mobil Alphard tepat di depan tangga lobi gedung. Selain membeli karcis seharga Rp 300.000 sampai Rp 700.000, hambatan menuju tempat pertunjukan juga perlu diupayakan.
Baca juga : Monita Tahalea Menolak Terbelenggu Situasi Pandemi
Ketika pemegang karcis itu berdatangan, kemacetan di simpang Harmoni, sekitar satu kilometer dari gedung, belum terurai. Sejumlah pengisi dan pekerja acara memotong tumpeng di belakang panggung, mengharap kelancaran pertunjukan. Pintu ke auditorium sudah dibuka sekitar pukul 19.00. Mereka yang sudah mendapat gelang bernomor kursi bisa segera masuk. Bagi yang masih mengeringkan keringat akibat lembapnya hawa Jakarta Senin itu bisa mencari angin dulu.
Tepat pukul 19.30, seperti yang tertera di poster, acara dimulai. Adrenalin yang merusuh pada petang di awal pekan itu perlahan-lahan mengendur. Penyanyi Gaby Cristy melantunkan lagu-lagu sendu ketika penonton mulai menempati kursi empuk masing-masing. Empunya acara, Ananda dan Monita, baru tampil 15 menit kemudian.
Duet ini membuka set mereka dengan ”Pada Air, Pada Angin” yang begitu membuai. Imaji dibiarkan melayang-layang, seperti larik bikinan Ananda yang berbunyi, ”Aku berserah pada waktu, pasrah pada air/Terserah kau bawaku, ke mana pun mengalir//”. Ananda bernyanyi sambil memainkan gitar akustiknya. Monita dengan gaun berbunga merah di dada bernyanyi sepenuh jiwa.
Di panggung tak cuma mereka berdua. Mereka diiringi tak kurang dari 9 pemain instrumen lain; tiga di antaranya pemain biola, satu selo, satu peniup suling, satu pemain kontra bas, dua pemain kibor, satu gitaris elektrik, dan satu penggebuk drum. Suaranya tertata apik, saling mengisi, tak ada dominasi. Pukulan drum Jessie, misalnya, sabar mengikuti dinamika lagu, tetapi setiap pukulannya terdengar detail.
Inilah ilusi dari pertunjukan ini. Bagaimana mungkin musik setenang ini menghapus semua ketergesaan Senin di Ibu Kota yang dialami sebelum memasuki ruangan gedung. Corak vokal Ananda yang cenderung polos-apa-adanya itu jauh lebih merdu dibandingkan dengung klakson di jalan atau dering telepon dari klien. Pembawaan ceria Monita mengangkat moral para pekerja muda yang terseok-seok.
Baca juga : Ananda Badudu Mencari Nama untuk Band Barunya
Monita seperti mengenal betul para penontonnya. Dia mencari-cari penonton yang khusus datang dari Yogyakarta. Dia juga tahu ada penonton bernama Naren yang datang memakai baju kebaya jahitan ibunya. Monita memimpin lagu ulang tahun untuk yang sedang merayakan. Ini menghangatkan suasana setelah lagu sendu ”Jauh nan Teduh” ciptaan Monita dan Ananda dilantunkan.
Susunan lagu di konser ini menapak pada karya kolaborasi kedua penyanyi/penulis lagu ini. Keduanya mengeluarkan album mini Pada Waktu yang direkam pada 2021. Album itu berisi enam lagu, yaitu ciptaan Ananda ”Pada Air, Pada Angin”, serta ”Angkat dan Rayakan”; ciptaan Monita, ”Laila”; serta ciptaan bersama ”Apa Mimpimu?”, ”Jauh nan Teduh”, dan ”Kita Berangkat Saja Dulu”.
Saling ajak
Baik Ananda maupun Monita punya karier masing-masing sebelum karya kolaborasi ini. Monita telah mengeluarkan tiga album solo selepas menjadi peringkat keempat ajang Indonesian Idol tahun 2005. Adapun Ananda baru merilis album mini solo ”Angkat dan Rayakan” pada 2021 seusai duetnya bersama Rara Sekar bernama Banda Neira bubar jalan.
Keduanya dipertemukan di konser tunggal pianis Gardika Gigih di Jakarta pada akhir 2017. Ketika itu, Gigih mengajak Ananda menjadi penyanyi tamu membawakan ”Sampai Jadi Debu” yang ditulis Ananda berdasarkan karya instrumental Gigih. Ananda ”mencoba-coba” mengajak Monita yang kala itu dia bilang ”mengagumi dari jauh”.
”Pas nyanyi bareng, kurasa langsung ‘klik’. Jadi, kalau misalnya berlanjut akan sangat menyenangkan. Eh, enggak tahunya diajak lagi pas dia mau bikin album baru,” kenang Ananda. Lagu ”Jauh nan Teduh” dan ”Pada Air, Pada Angin” ciptaan Ananda di album Monita yang bertajuk Dari Balik Jendela (2020).
Sebaliknya, Ananda mengundang Monita dalam proyek solonya selepas Banda Neira. Monita menyumbang ide dan nyanyian pada lagu ”Kita Berangkat Saja Dulu” dan ”Apa Mimpimu?”. Lagu-lagu kolaboratif itu sering mereka bawakan di beberapa festival seperti Pestapora pada September silam.
Pertunjukan Pada Waktu ini merupakan acara khusus merayakan karya kolaborasi mereka. Formatnya dibikin intim. Mereka berbagi cerita yang mustahil dibeberkan di panggung festival. Mereka dikelilingi dan dibantu orang-orang terdekat. Penata musiknya adalah Yoseph Sitompul dan Indra Perkasa—kakak ipar Ananda yang juga musisi pengiring Monita. Gardika Gigih sebagai ”mak comblang” juga diundang.
Bersama Gigih mereka membawakan lagi lagu populer ”Sampai Jadi Debu”. Sebelum memulai, Ananda bercerita cukup panjang perihal lagu yang dia bilang terinspirasi dari kisah cinta oma dan opanya di usia senja. ”Aku cerita agak panjang, enggak apa, ya?” tanya dia meminta izin audiens. Tentu tak ada yang keberatan.
Ceritanya dibuka dengan pernyataan bahwa lagu itu tercipta ketika dia berkelana di Yogyakarta dan ”menumpang” selama setahun di ruang tamu rumah kontrakan Gigih. ”Awalnya lagu ini mau aku nyanyiin di acara kumpul keluarga setiap tahun baru untuk oma dan opa. Tapi sebelum acara itu terjadi, Oma kritis. Di ruang perawatan intensif rumah sakit, aku mengenalkan lagu itu di telinga oma,” kata Nanda dengan suara bergetar. Sang oma meninggal tak lama kemudian. Penonton terhenyak.
Nuansa sedih masih tertinggal, bahkan makin berat ketika lagu dilantunkan. Permainan piano Gigih yang emosional dipertebal dengan tiupan suling yang mengimbuhkan kesan sepi. Terlihat beberapa penonton menyeka pipinya dengan tisu, terutama pada refrain ”Selamanya/Sampai kita tua/Sampai jadi debu/Kau di liang yang satu/Ku di sebelahmu.” Melankolia tersuguh sepekat-pekatnya.
Dua kutub
Itu bukan lagu terakhir. Pertunjukan belum usai. Tensi pertunjukan perlu dinaikkan lagi. Monita punya lagu untuk itu. Berturut-turut dia membawakan lagu ”Memulai Kembali” dan ”Hai” dari albumnya Dandelion (2015). Dua lagu itu bernuansa riang dan positif. Lagu ”Hai”, misalnya, dibuka dengan sapaan hangat ”Apa harimu bermentari/Adakah malammu dihiasi mimpi.”
Seusai dua lagu itu, giliran Monita yang berbagi ceritanya. Ia pernah merasa berada di persimpangan hidup, mempertanyakan pilihannya sebagai penulis lagu dan penyanyi, serta kehilangan orang penting dalam kariernya. ”Aku sering terbangun sampai dini hari. Di momen itu, aku melihat ibuku berdoa, yang ku yakin mendoakan keluarganya,” ucap Monita.
Kenangan itu dia tuliskan di lagu ”Laila” yang dibuka dengan larik ”Hatiku gelisah/Betapa dahsyatnya malam penuh sakit dan air mata”. Lagu itu tak kalah sendu. Namun, Monita menulisnya dengan penuh kepasrahan pada Tuhan. Dia menutup lagu itu dengan “Hatiku berteduh/Dalam naungan Yang Maha Tinggi.”
Pertunjukan ditutup dengan nomor kolaborasi ”Kita Berangkat Saja Dulu”. Lagu ini bernuansa bimbang, tetapi berbumbu optimisme. Aransemen musiknya pun mewakili rasa itu. Permainan lampu jingga dan kuning menguatkannya. Jadinya, lagu ini aman sebagai penutup.
“Aku sering terbangun sampai dini hari. Di momen itu, aku melihat ibuku berdoa, yang kuyakin mendoakan keluarganya.
Selama hampir sepanjang tiga jam pertunjukan, kolaborasi Ananda dan Monita berjalan mulus. Aransemen musik, serta tata suara dan lampu menyokong atmosfer pertunjukan. Rasanya seperti drama; ada haru, ada bahagia, ada gamang, ada jalan keluar.
Karakter Monita dan Ananda tak sepenuhnya menghilang. Terlihat dan terasa bahwa mereka masing-masing sering kikuk. Lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditulis Ananda terasa lebih dalam mengaduk emosi, mengorek kesedihan sedemikian rupa. Di lain sisi, Monita membawa serum kebahagiaan, menguarkan optimisme. Rasanya ini yang membuat pertunjukan malam itu bagai ilusi; terlalu bagus untuk terjadi.