Semua Ada Musiknya
Perkembangan musik memperluas genre musik melalui pembaurannya. Tak sekadar menyita perhatian masyarakat, genre seperti koplo hingga ”scoring” film pun kini mendapat tempatnya untuk diapresiasi.
Musik terus berkembang dari masa ke masa. Pergerakannya memperluas genre yang ada. Tak ada yang benar baru memang karena perluasan genre ini sejatinya lahir dari pembauran aliran musik yang lebih dulu ada. Namun, kondisi ini nyatanya mampu memacu musisi untuk terus mengasah kreativitasnya hingga berbuah apresiasi yang sudah semestinya.
Masih ingat momen tumpah ruah para menteri hingga Presiden berjoged di Istana Negara ketika upacara hari kemerdekaan Indonesia? Ya, dua tahun berturut-turut yakni pada 2023 dan 2022, suasana di penghujung upacara mendadak pecah. Lagu ”Ojo Dibandingke” dan ”Rungkad” merupakan penyebabnya.
Ketukan kendang dan ketipung berpadu musik aransemen band modern yang dinamis memang mendorong tubuh untuk bergerak mengikuti hentakannya. Ditambah lagi, senggakan khas yang menjadi kunci interaksi seperti ”oaoe” atau ”hok’e hok’e” seperti dalam lagu ”Rungkad” makin memancing pendengar untuk lebur di dalamnya. Jadi, tak heran ya, menteri sampai Presiden pun mana tahan untuk tidak bergoyang.
Belakangan, aliran dangdut koplo memang tengah digilai pasar, mengulangi masa jayanya di awal dekade 2000-an. Festival musik skala besar seperti Synchronize Fest dan Pestapora seperti tak lengkap tanpa panggung koplo. Penampil seperti Feel Koplo dan Prontaxan bisa dipastikan memantik eforia. Grup Barakatak yang memopulerkan frasa ”dibilang asyik ya memang asyik” itu belakang jadi sering manggung lagi.
Media sosial ikut mengamplifikasi lagu-lagu ini menjadi lebih berterima untuk semua kalangan. Masyarakat pun seakan tak peduli bahasa dan artinya, yang penting joged asyik saja.
Anugerah Musik Indonesia yang merupakan ajang penghargaan apresiasi musik Indonesia pun menangkap hal ini. Di perhelatannya yang ke-26 pada tahun ini, AMI resmi membuka kategori baru, yakni Artis Solo/Grup/Kolaborasi Koplo Terbaik. Kategori ini sekaligus menggantikan kategori Artis Solo Pria/Wanita/Grup/Kolaborasi Dangdut Berbahasa Daerah Terbaik yang dimulai pada 2020.
Sebenarnya, apresiasi lagu berbahasa daerah ini sudah dilakukan AMI sejak 2003 lewat kategori Karya Produksi Lagu Berbahasa Daerah Terbaik. Namun, pada kategori ini, penilaiannya lebih umum karena tidak ada spesifikasi genre musik. Baru pada 2020, dibuka kategori berdasarkan genre musik yakni dangdut.
Persoalannya, dangdut memang memiliki cabang yang banyak. Salah satunya adalah koplo dengan kekhasannya yang lekat dengan musik lokal. Adibal Sahrul, juri kategorisasi AMI 2023, menyampaikan koplo merupakan musik yang kaya.
”Memang disebut sebagai turunan dari dangdut, tapi koplo ini juga kental dengan musik etnik Indonesia tergantung wilayahnya. Misal di Jawa, ada unsur kendang, jaranan, campursari yang terdengar sehingga sudah semestinya layak menjadi kategori sendiri,” ungkap Adibal ketika jumpa pers AMI 2023 pada bulan lalu.
Musisi Yennu Ariendra, misalnya, membentuk grup Raja Kirik yang memadukan dangdut elektronika bersenggakan gaya koplo dan cengkok musik osing banyuwangian. Pilihan ini cenderung politis mengingat rezim orde baru pernah menganaktirikan budaya osing. Sepanjang Oktober-November ini, Raja Kirik sedang keliling Eropa ”mengkoplokan” dunia Barat.
Mengacu pada buku Irama Orang-orang (Menolak) Kalah milik Irfan R. Drajat, Irama koplo memang kerap merujuk pada daerah yang menjadi asal muasalnya, baik bahasa hingga ritmenya. Misal, dangdut pantai utara atau dangdut pantura yang nyatanya mengusung irama koplo.
Fenomena musik koplo yang menyeruak ini tak bisa dilepaskan dari perubahan konstelasi politik Tanah Air. Sebab, jika dirunut ke masa lalu, sisi kelokalan yang melekat pada karya seni, termasuk musik, sudah ada sejak lama. Pasca-Orde Baru, musik lokal perlahan terus menarik perhatian karena adanya keterikatan pendengar dengan bahasa dan ritme kedaerahannya.
Kembali lagi pada AMI 2023, kategori baru, yakni koplo, yang dibuka ini pun membuktikan keberadaan sisi kelokalan ini mengingat nominenya lebih variatif dari segi asal daerah. Antara lain, ”Runtah” milik Azmy Z dan IMP ID yang berbahasa sunda, ”Care Bebek” milik Jegeg Bulan yang berbahasa Bali, ”Rungkad” milik Vicky Prasetyo dan ”Kalih Welasku” milik Denny Caknan yang berbahasa Jawa, dan ”Sakit Tanpa Luka” milik Ayu Ting Ting yang tak berbahasa daerah, tapi kaya entakan kendang dan senggakan khas koplo pantura.
Baca juga : Musisi Muda Berkibar di AMI Awards
Meski demikian, AMI 2023 hanya terhenti pada kategorisasi. Dalam konsep baru perayaannya yang menawarkan 12 pertunjukan musik, malah tak menampilkan koplo sama sekali. Hanya ada aksi dangdut mendayu dari penyanyi Lesti, yang aransemennya terasa lebih cocok untuk dinyanyikan penyanyi pop Raisa atau Rossa.
Kendati demikian, Vicky Prasetyo yang menang lewat ”Rungkad” tetap berterima kasih pada AMI karena membuka kategori khusus koplo ini. ”Senang sekali karena AMI telah mengapresiasi musik koplo dan seniman daerah, salah satunya Jawa yang sebenarnya terasa jauh dari mimpi bisa dapat penghargaan semacam ini,” ujarnya ketika dihubungi.
Selain itu, Vicky juga menghargai yang dilakukan AMI karena memasukkan ”Rungkad” versi original ke dalam jajaran nominasi. Lagu ini aslinya memang diciptakan dan dinyanyikan oleh Vicky. Walakin, banyak orang yang mengira lagu ini milik Happy Asmara karena tenar dinyanyikan olehnya.
”Bangga juga dengan AMI karena berarti melihat aku juga sebagai penyanyi aslinya dan juga pencipta lagunya. Memang industri di Jawa Timur ini sedikit berbeda ya. Kayak misalnya aku rilis lagu, nanti ada penyanyi yang memang cari lagu juga untuk dibawakan ulang. Kalau dirasa cocok sama mereka dibawakan ulang dan biasanya langsung ambil-ambil aja. Terus rame kan karena ada youtube itu pergerakannya jadi cepat,” ungkap Vicky, yang masih perlu menjelaskan dirinya adalah orang yang berbeda dengan ”Vicky Prasetyo” lain yang sering mengumbar sensasi di media.
Bangga juga dengan AMI karena berarti melihat aku juga sebagai penyanyi aslinya dan juga pencipta lagunya.
Memacu diri
Selain koplo, AMI juga membuka lima kategori baru lainnya. Antara lain, Artis Solo/Grup/Kolaborasi Melayu Terbaik yang dimenangkan Erie Susan lewat lagu ”Rindu Ayah”.
Kemudian, Album Alternatif Terbaik diraih kelompok musik Reality Club. Karya Orkestral Terbaik yang dianugerahkan pada Erwin Gutawa dalam lagu ”Seputih Kasih”. Album Musikal Terbaik diperoleh Jakarta Movin dari Teater Musikal Cek Toko Sebelah, dan Album Film Scoring Terbaik dibawa pulang Abel Huray untuk Mencuri Raden Saleh: Music from The Motion Picture.
Twilite Orchestra pimpinan Addie MS sempat tampil di festival Pestapora pada tahun ini. Di ajang itu, suguhan musik orkestra melunturkan formalitasnya. Tak satu pun pemainnya memakai jas, termasuk Addie MS. Lagu yang dibawakan pun nomor populer seperti ”Tak Ingin Berpisah” yang dipopulerkan Reza Artamevia. Musik orkestra makin membumi. Kelompok orkestra Erwin Gutawa juga pernah main di Synchronize Fest membawakan lagu-lagu populer mendiang Chrisye.
Secara terpisah, Abel juga mengungkapkan kegembiraannya karena AMI mengapresiasi dengan membuka kategori album film scoring, atau musik latar. ”Enggak nyangka juga ya, tapi senang ada apresiasi semacam ini. Jadinya, saya berharap setelah adanya penghargaan semacam ini memacu semangat untuk membuat album film scoring juga bagi yang lainnya,” ujar Abel.
Selama ini, karya scoring film ada pialanya di ajang Festival Film Indonesia. ”Kali ini jelas beda. Kalau di FFI itu, dinilainya kan satu kesatuan dengan filmnya. Nyambung enggak, sesuai enggak dengan filmnya. Di AMI ini, kami para pembuat scoring ini dinilai dari musiknya aja, ya teknisnya dan lain-lain,” ungkap Abel.
Menurut Abel, karya musik untuk film ini sudah semestinya dilirik oleh rumah produksi untuk bisa diwujudkan menjadi album. Komposer pun tak perlu ragu untuk mengeluarkan album scoring semacam ini. ”Kalau saya, dari awal memang mau dirilis jadi album. Sayang aja, udah produksi susah payah kan. Untungnya disetujui,” tutur Abel.
Memang perilisan album scoring film belum jamak di Indonesia. Berbeda dengan di luar negeri. Komposer Joe Hisaishi, misalnya, lekat dengan musik untuk film-film animasi Studio Ghibli. Piringan hitamnya diburu orang. Hans Zimmer, Ryuichi Sakamoto dan Ennio Morricone adalah jaminan penulis musik untuk film-film tenar.
Hal ini pula yang diungkap Syaharani, salah satu juri kategorisasi. ”Untuk album scoring film, karya orkestral, dan album musikal, sebenarnya sudah bertahun-tahun diajukan, tapi belum banyak yang bikin. Sedikit entrinya. Harapannya memang ke depannya makin banyak,” ujar Syaharani.
Abel pun menambahkan, keberadaan film scoring ini vital. Selain bisa berdiri sendiri, musik scoring ini menjadi salah satu bentuk menyatunya ragam karya seni. ”Bayangin film enggak ada scoring-nya. Film horor deh enggak ada scoring-nya, kan, jadinya zonk, ya,” ujar Abel.
Musisi Anindyo Baskoro atau akrab disapa Nino pun sepakat. Dibukanya kategori baru yang makin beragam ini juga menjadi upaya untuk merayakan perbedaan yang ada, baik di dunia musik maupun seni secara umum. Ia pun menyinggung kemenangannya pada Karya Produksi Terbaik Terbaik bersama Laleilmanino, Diskoria, dan Bunga Citra Lestari lewat lagu ”Badai Telah Berlalu”.
Kemenangan tersebut didedikasikan untuk Marga. T, penulis novel Badai Pasti Berlalu yang meninggal pada 2023 sebelum lagunya rilis. Lagu yang dibuatnya itu tak akan ada tanpa novel tersebut yang kemudian difilmkan dan dijadikan lagu juga dengan judul yang sama oleh Eross Djarot. Ini bentuk bersatunya ragam karya seni juga.
”Semoga ke depannya dunia seni di Indonesia bisa saling merangkul. Harusnya masing-masing ranah seni bisa saling menginspirasi terus dan memberikan sinar bagi satu sama lain, untuk saling berkolaborasi,” ujar Nino.
Sebab, dunia seni tak bisa bergerak tanpa kerja sama semua lini.