Miss Tjitjih Tak Bisa ”Dikubur”
Cerita ”Beranak dalam Kubur” yang ditulis dan dipentaskan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih kembali direproduksi. Kali ini menjadi drama musikal di Youtube.
Beranak dalam Kubur, cerita yang ditulis dan dipentaskan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih pada 1960-an, tak pernah benar-benar terkubur zaman. Cerita itu terus direproduksi menjadi karya seni baru. Pada 1970-an, cerita itu diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama. Pada 2023, Beranak dalam Kubur diangkat menjadi drama musikal yang akan tayang di Youtube.
Drama musikal berjudul #MusikalDiRumahAja: Beranak dalam Kubur tersebut dipentaskan oleh BOOW Live di bawah arahan sutradara sekaligus produser Bayu Pontiagust. Drama ini merupakan bagian dari program #MusikalDiRumahAja yang digagas pada 2020.
Pada tahun itu, Covid-19 merebak sehingga banyak panggung pertunjukan seni ditutup. Panggung seni drama pun diubah lewat program #MusikalDiRumahAja. Pertunjukannya direkam dan disajikan dalam format video lantas didistribusikan secara daring. Program ini masih berlanjut walau Covid-19 mereda.
Adapun #MusikalDiRumahAja: Beranak dalam Kubur bakal tayang di Youtube pada 6-8 November 2023. Cerita tersebut dibagi menjadi tiga episode berdurasi masing-masing sekitar 15 menit.
Seperti judulnya, drama musikal ini bernuansa horor. Hitung-hitung meramaikan Halloween yang jatuh setiap 31 Oktober. Walau tidak punya akar budaya Halloween, Indonesia punya segudang kisah horor. Hantu lokal pun seram-seram. Sebut saja pocong, wewe gombel, hingga kuntilanak.
Adapun kuntilanak menjadi hantu sentral dalam drama #MusikalDiRumahAja: Beranak dalam Kubur. Di suatu masa di Nusantara dikisahkan ada Kerajaan Jenggala yang kemakmuran dan keindahannya seperti Nirwana. Pangeran sekaligus panglima perang, Jayeng Pati (diperankan Bayu Reswandha), digadang-gadang sebagai penerus takhta. Namun, selir sang raja, Sekarwati (Rahma), ingin takhta jatuh ke tangan anaknya, Jayeng Rasa (Raka Rahayudin). Berbagai skenario jahat pun disiapkan.
Jayeng Pati harusnya mati di suatu kesempatan, tetapi ditolong gadis desa Ratnasih (Ulan Laumi). Benih cinta pun bersemi hingga keduanya menjadi raja dan ratu baru Jenggala.
Baca juga: Hantu Penguasa Sinema Nusantara
Sekarwati dan Jayeng Rasa tak hilang akal. Rencana yang lebih keji disusun. Mata Jayeng Pati ditutup dengan kebohongan dan Ratnasih ditumbalkan. Matilah Ratnasih dan jabang bayi yang sebentar lagi seharusnya lahir.
Ratnasih lantas mewujud jadi kuntilanak merah—jenis kuntilanak yang menurut mitos lebih kuat dan jahat dibanding kuntilanak berbaju putih. Jika diberi kesempatan hidup lagi, Ratnasih dihadapkan pada dua pilihan: balas dendam atau kembali pada cinta sejatinya.
Menantang
Bagi Bayu Pontiagust, menggarap drama musikal ini susah-susah gampang. Salah satu tantangan mereka adalah meramu formula yang pas agar unsur horor terasa di drama. Tantangan lain adalah menyanyikan nuansa horor.
”Saya sempat deg-degan bagaimana meramu (cerita) horor dan musikal. Terus terang, jarang ada yang bikin (drama) musikal-horor. Bagaimana agar essence yang secara musikal treatment-nya masuk, tetapi di horor masuk juga. (Drama musikal) ini jadi seperti laboratorium buat saya,” kata Bayu Pontiagust di Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Baca juga: Halloween yang Tak Lagi Seram
Penata musik drama ini, Wishnu Dewanta, mengatakan, ini pertama kalinya ia mengerjakan drama musikal bergenre horor. Sama seperti Bayu, proyek ini pun menantang untuknya yang sudah berkali-kali terlibat dalam pembuatan drama musikal.
Ia pun menjadikan skenario yang ditulis Bayu sebagai panduan. Di skenario sudah tertulis bagian mana yang dinyanyikan, bagian mana yang tidak. Adapun musik yang ditulis Wishnu membangun kengerian yang dibutuhkan selama tayangan berlangsung. Musiknya tak banyak unsur rintihan, teriakan, atau tawa melengking. Walakin, musiknya mampu membantu penonton ketika harus mengantisipasi kejutan, terbuai dalam kemesraan, terjebak ketakutan, tegang saat adegan klimaks, hingga saat otot bahu boleh mengendur lagi.
Cerita dipadatkan
Tantangan lain di drama ini adalah memadatkan cerita menjadi tayangan berdurasi total sekitar 45 menit. Proses shooting pun hanya tiga hari di Depok, Jawa Barat. Dengan ini, Bayu dan tim mau tak mau memotong banyak bagian dalam cerita asli Beranak dalam Kubur.
Perwakilan Miss Tjitjih, Elly Herawati alias Elly Sunteba, mengatakan, kisah Beranak dalam Kubur aslinya terdiri dari 12 babak. Durasi pentasnya dulu mencapai 1,5-2 jam karena dibawakan dengan dialog improvisasi. Adapun Elly dilibatkan dalam proses produksi drama musikal sebagai karakter pendukung dan untuk memberi masukan ke para pemeran. Di masa lalu, ayah Elly, Mad Ali Teba, adalah sutradara drama ini.
Di drama musikal kali ini cerita dipotong ke bagian yang penting-penting saja. Kisah cinta Jayeng Pati dan Ratnasih tetap ditonjolkan.
Konsekuensi dari pemadatan cerita adalah munculnya celah antar-adegan yang menimbulkan tanya. Misalnya, entah bagaimana Jayeng Pati tahu ke mana harus mencari Ratnasih yang sudah lama hilang atau kenapa tuduhan Ratnasih berselingkuh tiba-tiba muncul. Adapun Bayu berkata, celah antar-adegan yang terjadi disiasati dengan menyanyikan narasi yang menghubungkan adegan satu ke adegan lain.
Adapun Durasi drama yang pendek membatasi para aktor untuk mendalami emosi. Sekali lagi, hal ini menyisakan celah yang membuat pengalaman menonton kurang mulus. Misalnya, ada kesan pembiaran setelah Jayeng Rasa mencoba merayu Ratnasih di kamar pribadi Jayeng Pati-Ratnasih.
Di sisi lain, Elly Sunteba mengaku senang dan bangga kisah Beranak dalam Kubur direproduksi, terlebih ini pertama kalinya cerita diangkat menjadi drama musikal. Pemerannya pun mayoritas anak muda. Hal ini menambah keyakinan Elly dan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih bahwa seni drama bisa berkelanjutan.
Hal ini juga memperpanjang napas Miss Tjitjih yang terbentuk sejak 1928. Seperti pegiat seni tradisi lain, Miss Tjitjih pun sempat tertatih dihadang perkembangan zaman dan pandemi Covid-19.
Kondisi Miss Tjitjih kini membaik. Mereka rutin menggelar pentas sebulan sekali dengan bantuan Pemerintah DKI Jakarta. Kursi penonton selalu terisi di tiap pertunjukan. Penontonnya pun bukan orang tua penggemar Miss Tjitjih saja, melainkan juga mahasiswa dan pelajar. Anak muda hingga WNA juga belajar di sanggar Miss Tjitjih.
Panjanglah umur Miss Tjitjih. Menjelang usia ke-100 tahun, Miss Tjitjih tak akan membenamkan diri ke “kuburan”. Sebaliknya, ia bergandengan tangan dengan anak muda dan berjalan bersama zaman.