Moncong Senapan di Ujung Gawai
Jangankan kemanusiaan yang krusial. Perkara yang tampaknya remeh-temeh bisa memicu emosi warganet muda.
Entengnya warganet melampiaskan cemoohan di media sosial diangkat lewat film Budi Pekerti yang disutradarai Wregas Bhanuteja. Sudah lumrah kini, secepat jemarinya bergerak, pengguna media sosial menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran.
Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) sebenarnya guru yang asyik dan seru. Ia punya salam khas yang selalu dilakukan sambil tersenyum hangat dengan murid-muridnya. Guru Bimbingan Penyuluhan (BP) SMP Pengemban Utama itu menggenggam visi jauh ke depan, hingga digadang-gadang menjadi wakil kepala sekolah.
Hanya takdir lazimnya pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini yang mesti ia terima. Keuangan Prani babak belur lantaran suaminya, Didit Wibowo (Dwi Sasono), depresi yang mengarah ke bipolar. Itu terjadi karena berbagai usaha yang ia jajal, mulai berdagang cupang, sampai bisnis akik, semuanya amburadul dihantam pandemi.
Seiring depresinya Didit, kontan ongkos pengobatan obatan-obatan Didit menggerogoti tabungan keluarga. Uang untuk membayar kontrakan pun tidak ada.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Prani yang sedang didera masalah mengalami nasib naas ketika hendak membeli kue putu Mbok Rahayu (Sri Widayati) untuk suaminya. Saat mengantre, ia diserobot Sapto (Awang Adjiewasita) yang justru mencak-mencak waktu ditegur. Cekcok pun memanas.
Segudang beban yang tengah menggayuti Prani memicunya naik pitam sampai terucap ”ah, suwi (lama)” yang terdengar seperti umpatan dalam bahasa Jawa lantaran dilafalkan dengan cepat.
Tanpa disadari, banyak pembeli yang memvideokan mereka dan menayangkannya di internet. Prani lantas termangu-mangu mendapati rekaman viral dibumbui komentar-komentar begitu pedas yang menuduhnya tak sesuai dengan jati diri sebagai pengajar. Segera, warganet mencari-cari kesalahan lain.
Masalah semakin berbelit-belit hingga Prani terancam kehilangan pekerjaannya. Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina) ikut-ikutan terseret dalam prahara ibunya. Mereka dan Didit tak lepas dari perundungan di dunia maya.
Setipis gawai
Wregas tanpa tedeng aling-aling memanggungkan belantara media sosial dengan penghuninya, warganet, bagai hewan buas yang siap menerkam mangsa. Tanpa peduli sahih atau tidak, mereka meramu konten untuk memburu klik sebanyak-sebanyaknya.
Pintu untuk meraup cuan atau malah menuju dunia pesakitan hanya setipis gawai. Film itu menganalogikan moncong-moncong senapan dengan kamera di ujung ponsel warganet yang siaga untuk menyalak. Rekaman-rekaman siap membunuh karakter dan menghancurkan hidup korbannya.
Simbolisasi paling nyata terpampang kala Tita melabrak kantor media daring, Gaung Tinta, yang menebarkan unggahan-unggahan tendensius sampai ibunya belingsatan. Ia menyergah Pemimpin Redaksi Gaung Tinta, Tunas (Ari Lesmana), yang justru mengejeknya dengan senyum sinis.
Tita bersiap untuk murka kalau saja Tunas dan begundal-begundalnya yang berbaju necis tak berdiri dengan sigap. Mereka spontan mengarahkan kamera ponselnya laksana menodongkan pistol. Kembali, peluru-peluru persekusi sudah siap untuk dimuntahkan. Tita kecut dan berlalu.
Karena banyaknya hoaks, pentolan LSM bidang pendidikan itu seolah jijik menerima mantan gurunya.
Lain waktu, Prani menyambangi rumah Uli (Annisa Hertami) yang semula membelanya. Lagi-lagi, karena banyaknya hoaks, pentolan LSM bidang pendidikan itu seolah jijik menerima mantan gurunya. Ia ogah-ogahan menjawab sembari menyorongkan kamera ponsel dari balik pintu.
Berdurasi hampir dua jam, plot Budi Pekerti sungguh pepat. Nyaris tak ada dialog yang percuma. Kehilangan satu adegan saja bakal menyebabkan penonton bingung. Meski mengisahkan rakyat jelata, bukan pula roman detektif atau horor, penonton kerap diburu ketegangan dan kegelisahan yang diselingi humor-humor getir.
Wregas memotret penghakiman yang dipantik video-video dengan durasi belasan detik saja. Guru-guru yang meletakkan fondasi bangsa jeri menjatuhkan sanksi kepada murid bandel. Malah beberapa pengajar jadi bulan-bulanan siswa yang suka petantang-petenteng. Salah-salah, mereka justru dituntut orangtua siswa.
Film panjang kedua yang skripnya ditulis dan disutradarai Wregas tersebut berkelindan dengan pelecehan untuk mengeksplorasi gejala masyarakat yang sakit. Tak hanya orangtua, anak muda pun rawan diterpa perisakan daring.
Ini sejalan dengan penelitian ChildFund International di Indonesia tahun 2022 yang menunjukkan hampir 60 persen anak dan remaja pernah menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir. Selain itu, hampir 50 persen anak dan remaja pernah menjadi pelaku perundungan daring dengan periode yang sama.
Perundungan yang ditemukan, antara lain, pencurian data pribadi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, ancaman dan pemerasan, bahkan kekerasan seksual. Jangankan kemanusiaan, perkara yang tampaknya remeh-temeh saja bisa mengguratkan emosi mereka.
Berlatar pinggiran Yogyakarta, Budi Pekerti mencuatkan kesenduan, kemarahan, hingga kehangatan yang berselang-seling. Dibubuhi afeksi alumni, murid, dan keluarga Prani yang mengaduk-aduk kompleks psikologis, film ini bisa digolongkan sebagai film yang peka dan kritis pada fenomena sosial. Jenis film yang tidak banyak muncul belakangan ini di industri film Indonesia.
Baca juga: Film kedua Wregas Bhanuteja ke Festival Film Toronto
Wregas mengutarakan motifnya menggarap Budi Pekerti dengan mengamati mereka yang tertekan akibat serangan secara daring. ”Bisa saja korbannya sedang mengalami masalah berat. Depresi memang tak berwajah, siapa pun bisa mengalami. Walau terlihat tangguh, orangnya mungkin sedang depresi,” ucapnya.
Selaras dengan Wregas, Dwi menekankan maraknya warganet yang tergesa-gesa menyimpulkan meski belum mengetahui detail penyebab individu, tetapi bisa melontarkan kemarahan. ”Kita sepatutnya bisa memfilter (informasi). Maka, kesadaran menjadi penting,” ujarnya.
Sementara, Ine memaknai Budi Pekerti dengan intimidasi yang tak bisa dibenarkan sama sekali, apa pun alasannya. Ia juga menukil ”Nisan”, puisi Chairil Anwar.
”Kalau bisa menerima segala yang tiba, kita bisa berpikir lebih jernih,” katanya.