Dunia yang Aman bagi Transpuan
Film ”Sara” muncul sebagai narasi tandingan bahwa masih ada lingkungan yang bisa menghargai kelompok minoritas.
Memutuskan menjadi transpuan itu sama artinya memilih mengakhiri pertarungan panjang dalam batin meskipun keputusan tersebut kerap kali harus berhadapan dengan pertarungan lain yang tidak mudah dalam lingkungan sosial. Menjadi transpuan berarti harus siap menjadi liyan yang selalu mengalami penyingkiran.
Lalu, adakah dunia yang damai bagi transpuan? Ada. Setidaknya dalam film garapan Ismail Basbeth bertajuk Sara.
Sara dinominasikan ke dalam Festival Film Indonesia tahun ini. Setelah diputar world premiere di Busan International Film Festival, Sara akan diputar juga di Jio Mami Mumbai Film Festival 2023 dalam program World Cinema.
Film Sara berkisah tentang transpuan yang pulang kampung setelah mencari penguat diri di kota. Dia pulang untuk menghadiri pemakaman ayahnya, yang dulu menentangnya. Tujuan lainnya tentu saja menemani ibunya, Muryem (Christine Hakim), yang berhari-hari pingsan lantaran ditinggal sang suami berpulang.
Tatkala Muryem sadar, Sara (Asha Smara Darra) kian sedih karena dia tak ingat kepadanya sebagai anak. ”Ini Panca, Bu,” kata Sara menjelaskan jati dirinya yang telah berubah dari seorang bocah, Panca, menjadi dia yang sekarang, Sara.
Muryem menegaskan, Panca sudah mati sebagaimana diceritakan Muh, suaminya. Muryem juga membantah jika suaminya sudah meninggal. Makanya, dia meminta Sara untuk menemani mencari Muh dengan keliling kampung.
Sara menurut demi ibunya. Sikap Muryem yang menolak kenyataan bahwa suaminya telah berpulang itu rupanya berdampak serius bahkan mengalami regresi jika ditilik dari perspektif psikologi. Namun, bisa juga ditafsir sebagai demensia.
Dinamika psikologis tersebut menjadi pintu masuk drama dengan intensitas emosi yang fluktuatif. Ismail memainkan palung itu untuk memasukkan kegamangan-kegamagan Sara sebagai transpuan. Di sisi pertama, dia amat perlu menunjukkan kepada ibunya bahwa dia Sara yang berbeda dari Panca.
Di sisi kedua, Sara berkepentingan meyakinan bahwa Panca masih hidup dan kini pulang untuk menemani ibunya. Di sisi ketiga, Sara tak tega melihat ibunya yang berhari-hari tak makan karena merindukan suaminya, sosok yang tak mungkin kembali. Dia akhirnya memangkas rambutnya yang panjang itu dan menyamar sebagai Muh demi Ibunya.
Dalam film tersebut digambarkan Sara menemani ibunya ke masjid dengan memakai mukena. Pada adegan yang lain, seusai Sara memangkas rambut, dia beribadah dengan memakai kemeja dan berpeci. Dua adegan ini secara cerdas menggambarkan dilema-dilema yang dialami kelompok transpuan secara umum meskipun dalam adegan tersebut dapat dibaca secara lebih spesifik, yakni untuk menyenangkan Muryem.
Mereka yang berani mengaku atau menunjukkan diri sebagai transpuan juga kerap dihalang-halangi untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan.
Namun, dalam kehidupan sosial yang sebenarnya, kondisi transpuan tidak pernah jauh dari dilema-dilema itu karena lingkungan yang kerap menentangnya. Kisah transpuan hampir selalu muram. Tidak sedikit dari mereka yang tersisih dari pergaulan dan bahkan terbuang ke tepi-tepi kehidupan. Mereka yang berani mengaku atau menunjukkan diri sebagai transpuan, juga kerap dihalang-halangi untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan. Jati diri mereka menjadi dasar orang lain untuk merenggut masa depan mereka.
Menjadi berbeda, seperti transpuan, sama dengan menjadi liyan. Banyak orang yang menilai liyan sebagai sesuatu yang tak layak diberi tempat. Dalam kasus transpuan, kehidupan mereka sulit lantaran menguat konstruksi dan praktik perilaku heteronormatif, suatu keadaan masyarakat yang mendambakan semua orang harus hetero. Inilah yang kemudian memunculkan sikap homopobhia atau transpobhia.
Dampak lebih jauh dari sikap tersebut bisa ke mana-mana. Salah satu yang paling nyata adalah kejahatan berbasis kebencian atau hate crime. Jenis kejahatan ini muncul lantaran pelaku menyasar seseorang atau kelompok tertentu didasari bias, stigma, prasangka, atau stereotyping.
Secara lebih spesifik, beberapa kasus menyasar transpuan sebagai korban karena mereka berbeda atau karena mereka dianggap mengancam kenyamanan dan keamanan, padahal belum tentu begitu atau bahkan tidak ada bukti yang mengarah ke sana.
Baca juga: Muslihat di Balik Rencana Besar
Banyak pula kelompok menggunakan agama sebagai senjata untuk memusuhi mereka. Padahal, kaum transpuan ini sudah harus berjuang mati-matian untuk menentukan jati dirinya. Pergulatan yang tidak pernah mudah dan bahkan kadang tak kunjung selesai.
Seusai pemutaran perdana film Sara di Busan, Korea Selatan, Asha menjelaskan dia bersyukur mendapat dukungan keluarga dan lingkungan untuk menjadi dirinya yang sekarang ini, seorang transpuan. Namun, banyak sekali teman-temannya yang harus berjuang lebih keras antara lain lantaran lingkungan keluarga atau sosial yang tidak memberikan dukungan. Dalam menyelami karakter sebagai Sara, cerita-cerita temanya itu dia jadikan referensi.
Tanpa antagonis
Sebenarnya, tidak semua pemuka agama menentang transpuan. Di negeri ini banyak juga pemuka agama yang ramah dan terbuka terhadap kelompok-kelompok minoritas karena itu mereka pandang sebagai bagian dari kemajemukan dan kehendak Tuhan.
Tidak mengherankan jika ketika ditanya tentang sosok Ustaz Said (Landung Simatupang) dalam film Sara, Ismail Basbeth menjelaskan bahwa banyak ustaz ramah dan baik di pelosok-pelosok kampung yang perilakunya lebih humanis.
”Kalau ada yang menanggap semua ustaz itu sama, berarti ngopinya kurang jauh,” kata Ismail di salah satu forum seusai pemutaran perdana film Sara pada Busan International Fim Festival awal bulan ini.
Dalam Sara, Ustaz Said digambarkan sebagai sosok yang mengayomi. Dia begitu ramah, misalnya, membiarkan Sara memilih beribadah menggunakan mukena atau peci. Dia memahami pergolakan batin yang dialami Sara. Misalnya dia memahami bahwa ketika memakai peci, itu bukan Sara karena dia hanya ingin membahagiakan ibunya yang kangen suaminya, Muh.
Wajah-wajah lain yang muncul dari adegan per adegan juga tidak menunjukkan konfrontasi terbuka terhadap kehadiran Sara sebagai transpuan di tengah kampung.
Ustaz Said dalam film ini hanya satu wajah. Wajah-wajah lain yang muncul dari adegan per adegan juga tidak menunjukkan konfrontasi terbuka terhadap kehadiran Sara sebagai transpuan di tengah kampung meskipun bukan berarti tak ada. Ini, misalnya, disimbolkan dengan penjelasan Ustaz Said bahwa Sara harus lebih sabar merespons beberapa orang yang melihatnya kurang ramah saat dia ke tempat ibadah. Untuk itu, dia meminta Sara bersabar.
Dengan kata lain, film Sara muncul sebagai film tanpa karakter antagonis. Tokoh-tokoh utamanya mulai dari Sarah, Muryem, Ayu (sahabat Sara, diperankan Mian Tiara), Saidah (Ibu dari Ayu, diperankan Jajang C Noer), dan warga tidak ada yang secara terbuka memusuhi Sara. Jika tanpa karakter antagonis, lantas di mana dramanya? Bukankah tanpa drama sebuah film hampa belaka?
Tampaknya film ini lebih memilih drama internal, dinamika batin pemainnya sebagai pengaduk emosi. Pengambilan gambar dengan dimensi 7:5, bukan 16:9 sebagaimana umumnya film terbaru, juga menjadikan ekspresi dan dialog menjadi terasa lebih intim dengan penonton. Dengan begitu, dinamika batin yang antara lain muncul lewat ekspresi itu, kian mudah tertangkap.
Sara bisa menjadi acuan bahwa banyak cara lebih manusiawi dalam menyikapi perbedaan. Sebab, pada dasarnya setiap orang mempunyai pertempurannya masing-masing sehingga tak perlu memperumit pertempuran mereka. Lebih baik kita menyelesaikan pertempuran kita masing-masing.