Penerbit Lokal Berkibar dengan Kisah Lokal
Daerah mana pun di Tanah Air tak akan kehabisan cerita. Tuliskan dan kirim ke penerbit lokal. Siapa tahu jadi buku.
Aktivis literasi di sejumlah daerah ada di balik maraknya penerbit-penerbit lokal. Lewat penerbit lokal, mereka melahirkan tema-tema tulisan yang mungkin tidak dilirik penerbit besar yang menumpuk di Jawa.
Lima tahun terakhir ini, penerbit-penerbit lokal bertumbuhan di sejumlah daerah. Mereka tumbuh saat bacaan dengan isu atau narasi lokal begitu minim. Kalah kencang dengan isu dan narasi dari Jawa yang kadang tidak relevan dengan kebutuhan pembaca di luar Jawa.
”Isu kemacetan di Jakarta pun kami harus kami dengar dan tonton,” kata Direktur Penerbit Ininnawa, Anwar Jimpe Rachman, yang ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (15/10/2023). Pernyataan aktivis literasi dari Makassar itu menggambarkan betapa arus informasi—dan juga bacaan—dari Ibu Kota harus diterima setiap hari meski tidak ada hubungannya dengan kebutuhan orang di daerah.
Memang tidak mudah bagi orang daerah. Buku-buku dari Jawa, misalnya, banyak mengalir ke banyak daerah. Namun, banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan warga di daerah. Sementara itu, buku dengan narasi lokal amat minim. Kalaupun ada, biasanya karya pejabat yang isinya politis.
Karena itulah, sejumlah aktivis literasi di sejumlah daerah akhirnya mendorong lahirnya buku-buku dengan narasi lokal. Salah satu kendaraannya tidak lain penerbit-penerbit lokal.
Jimpe lewat Penerbit Ininnawa yang eksis di Makassar, Sulawesi Selatan, menerbitkan antara lain buku Pencari Teripang dari Makassar di Australia. Terbitan pertama tahun 2017. Buku ini terjemahan dari The Voyage to Marege’: Macassan Trepangers in Northern Australia karangan Charles Campbell Macknight dan diterbitkan oleh Melbourne University Press pada 1976. Butuh 40 tahun agar buku versi bahasa Indonesia-nya terbit.
Buku itu bercerita tentang hubungan awal Indonesia-Australia yang terjalin karena perdagangan teripang. Suatu masa di tahun 1800-an, pelaut-pelaut Makassar berlayar mengarungi samudra hingga ke Northern Territory (Australia). Tempat yang disebut para pelaut Makassar sebagai Marege’ itu lahan panen teripang. Mereka mengolah teripang, mengawetkan, lalu menjualnya ke China. Industri ini begitu besar pada masanya, lalu berakhir saat Pemerintah Australia melarang aktivitas ini pada 1907.
Kadang, ada (buku) peneliti luar yang terjemahannya meleset jika diterjemahkan oleh orang yang tidak mengalami budaya itu.
Buku ini menjadi salah satu rujukan sejarah kemaritiman. Ia juga memperkaya bacaan soal masyarakat Sulsel. Publik jadi tahu bahwa sejarah perdagangan Nusantara tak melulu soal rempah, tapi juga teripang. Kesadaran ini memicu lahirnya penelitian dan kolaborasi baru, misalnya di bidang seni dan ilmu pengetahuan.
Ada keyakinan bahwa narasi lokal hanya bisa ditulis oleh mereka yang punya pengalaman empiris tentang budaya lokal. Dengan kata lain, hanya mereka yang bisa menulis tentang diri mereka sendiri. ”Kami mengerjakan ini (penerbitan lokal) karena kebutuhan sendiri, menyediakan sumber bacaan yang dibutuhkan sama orang-orang di sini. Kadang, ada (buku) peneliti luar yang terjemahannya meleset jika diterjemahkan oleh orang yang tidak mengalami budaya itu (di buku),” kata Fitriani A Dalay, istri Jimpe sekaligus pengurus manajemen Ininnawa.
Buku-buku dengan narasi lokal pada akhirnya tak cuma memperkaya referensi bacaan. Ia menjadi bank data bagi orang yang ingin menggali identitasnya. Jimpe mengibaratkan data sebagai fondasi atau akar tumbuhan. Tanpa tahu akar dirinya, manusia bakal mudah terombang-ambing zaman.
”Namanya akar itu, kan, pijakan. Pijakan untuk melakukan apa pun di masa depan, sekarang, dan sebelumnya. Itu memandu hidup,” ucap Jimpe.
Kesadaran yang memotori Ininnawa menerbitkan buku sejak 2004. Hingga kini, Ininnawa terus menerbitkan buku yang ditulis oleh orang dari beragam latar belakang, mulai mahasiswa hingga guru besar.
Seiring berjalannya waktu, Jimpe menggawangi dua penerbitan lain, yaitu Tanahindie dan Makassar Biennale. Tanahindie menerbitkan buku kajian urban, sementara Makassar Biennale ke seni rupa.
Menjamur
Di Makassar masih ada penerbit lokal lain seperti Subaltern dan Merahitam. Keduanya penerbit yang berdiri pada 2020 dan punya fokus masing-masing. Merahitam yang bermula dari sebuah toko buku hingga kini menerbitkan sedikitnya tujuh buku.
Buku pertama yang mereka terbitkan berjudul Perang karya Rama Wirawan. Buku ini pernah diterbitkan oleh penerbit Jalasutra tahun 2000-an. Beberapa tahun setelahnya, buku ini sulit sekali dicari. Padahal, peminatnya banyak.
Pendiri Merahitam, Suriadi Bara, pun ingin baca. Ia lantas menghubungi penulisnya dan menawarkan agar bukunya diterbitkan ulang dengan sistem pembagian royalti. Sang penulis setuju.
Sementara itu, penerbit Subaltern dibuat untuk memfasilitasi penulis pemula yang kerap merasa minder dengan karyanya. Hingga kini, Subaltern telah mencetak sedikitnya 137 judul buku. Penulisnya macam-macam, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, dosen, hingga barista.
”Buku kami dicetak terbatas, misalnya 50 eksemplar. Harapannya penulis melihat hasilnya, lalu terpacu untuk terus menulis,” kata pendiri penerbit Subaltern, Supratman Yusbi Yusuf, di Makassar, Selasa.
Penerbit lokal pun tumbuh di Sumatera. Patrick Kellan Publisher di Bandar Lampung, misalnya, didirikan pada 2019. Hingga kini telah menerbitkan 54 buku. Sebagian adalah buku novel karangan sang pendiri penerbit, Josep Willy Anggara, yang menggunakan nama pena Patrick Kellan.
Selain novel, Patrick juga gemar menulis cerpen. Setidaknya ada 17 buku antologi cerpen yang telah dirilis penerbitannya. Salah satu buku antologi cerpen berjudul Moral Code yang lantas menjadi trilogi. Saat menerbitkan sendiri Moral Code seri ketiga, Patrick memperoleh pendapatan 100 persen. Saat dua seri pertama buku ini diterbitkan penerbit lain, ia hanya mendapat royalti 20 persen.
Baca juga: Festival memperpanjang usia perfilman
Dengan menjalankan usaha percetakan dan penerbitan sendiri, persoalan pendapatan mungkin menjadi hal penting. Akan tetapi, Patrick ingin menunjukkan betapa tidak mudah memasukkan proposal buku untuk dicetak dan diterbitkan perusahaan lain. Tidak ada pilihan lain hingga akhirnya Patrick membuat usaha penerbitan sendiri. ”Buku-buku novel karangan saya pada akhirnya banyak terbit. Saya menulis novel dari hasil pengembangan tulisan-tulisan cerpen sebelumnya,” ujar Patrick, Kamis.
Patrick memanfaatkan Facebook untuk berpromosi menjual buku-bukunya. Ia rajin mengunggah sebagian isi kisah dari buku kumpulan cerpen atau novel sebelum dicetak dan diedarkan. Bahkan, tidak sedikit yang dibagikan secara gratis di Facebook. Ambil contoh, ketika ada 10 bab untuk sebuah novel, Patrick tidak segan-segan mengunggah narasi dari bab pertama hingga bab ketujuh.
”Pembaca mau membeli buku ketika sudah mengetahui jalan cerita buku tersebut. Selain itu, penjualan lewat jaringan komunitas juga sangat dibutuhkan,” kata Patrick, yang membentuk Komunitas Literasi Patrick Kellan di Facebook pada 2022 dengan fokus gerakan cinta membaca.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ada penerbit Tahura Media yang didirikan pada 2007. Dalam setahun, Tahura Media rata-rata menerbitkan 5-15 buku. Narasi lokal menjadi materi penting penerbitan buku. Di antaranya, buku Bahasa Bakumpai, yang menjelaskan struktur linguistik dan identitas masyarakat Bakumpai, subsuku Dayak di Kalsel. Selain itu, ada buku tentang subsuku Dayak Ngaju dan Pembuang serta tentang peribahasa Banjar dan sebagainya.
”Sebetulnya, penerbitan yang saya dirikan itu karena banyak penulis dari Kalimantan Selatan yang tidak lolos seleksi ketika mengirimkan naskah untuk diterbitkan di Jawa,” ujar pendiri Tahura Media, Hajriansyah.
Bukan malas baca
Hadirnya penerbit lokal dan buku-bukunya tak lepas dari keinginan masyarakat untuk membaca. Walau ingin membaca, daya beli sebagian orang terhadap buku rendah. Yang lain terkendala tak meratanya distribusi buku.
Jimpe mengatakan, untuk menyiasati daya beli buku yang rendah, ia mereduksi harga buku sekitar 15 persen dari harga semestinya. Ada lagi penerbit lain yang mematok harga sekitar Rp 40.000 per buku agar terjangkau. Penerbit juga bersiasat agar biaya cetak buku murah, antara lain dengan mengirimkannya ke percetakan di Yogyakarta yang terkenal berkualitas dan harganya bersahabat.
Kita bisa bernapas (sedikit lega). Setidaknya, data UNESCO yang menyebut bahwa hanya satu dari seribu orang Indonesia yang suka membaca bisa didiskusikan ulang. Mungkin bukan malas baca, melainkan belum punya akses buat membaca.
Baca juga: Menjual gagasan di Busan
Di tengah tudingan bahwa masyarakat kita malas membaca, gerakan literasi malah tumbuh. Kelompok-kelompok membaca ada di mana-mana, mulai sudut desa, taman, hingga kafe-kafe di kota besar. Festival literasi juga sedang bersemi di mana-mana. Salah satunya Festival Kata yang akan digelar pada 26-27 Oktober 2023 di Jakarta.
Dalam acara-acara seperti ini, penulis, pembaca, penerbit, dan penggerak literasi bertemu. Merayakan literasi dan mencecap pengetahuan.