Melukis demi Menjaga Kewarasan
Mereka membuktikan bisa bertahan dengan berbagai macam deraan hidup, ketika berusaha sekuat tenaga untuk tetap terus melukis demi menjaga kewarasan.
Sengaja mengambil waktu bertepatan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober, tiga perempuan perupa membuka pameran untuk mewartakan bahwa melukis berguna bagi kesehatan jiwa.
Mereka membuktikan bahwa mereka bisa bertahan dengan berbagai macam deraan hidup ketika berusaha sekuat tenaga untuk terus melukis demi menjaga kewarasan. Ketiga perempuan itu adalah Kana Fuddy Prakoso (49), Rosita Rose (51), dan Sari Koeswoyo (55).
Menjelang pembukaan pameran bertajuk Tombo Ati, Selasa (10/10/2023), di Hotel Artotel Suites Mangkuluhur, Jakarta, Kana melangkah untuk menunjukkan garis-garis di atas lukisan abstraknya. Lukisan yang diberi judul ”Meditatif Line” itu menyerupai benang berwarna-warni menjuntai memenuhi bidang kanvas berukuran 150 x 150 cm.
Lukisan garis-garis seperti ini awalnya muncul ketika saya harus menunggu suami menjalani perawatan di ruang gawat darurat setelah terserang stroke pada 2021.
”Lukisan garis-garis seperti ini awalnya muncul ketika saya harus menunggu suami menjalani perawatan di ruang gawat darurat, setelah terserang stroke pada 2021. Saya menunggu suami sepanjang waktu sambil ingin sekali menggambar. Tetapi, saya tidak kuasa menggambar sesuatu sehingga muncul garis-garis seperti ini, yang saya buat terus-menerus,” ujar Kana, lulusan Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Kana mengenang awal mula peristiwa stroke yang terjadi pada malam hari itu. Suaminya tertelungkup dan susah berbicara. Sesaat Kana berpikir, mungkin karena kelelahan. Akan tetapi, suaminya terus berusaha mengerang dan berbicara dengan suara tak jelas.
Kana akhirnya menelisik wajah suami dan tersadar bahwa suaminya itu terserang stroke. Salah satu sisi mulutnya sedikit tertarik ke atas. Lidahnya seperti kaku dan menggumpal menutup tenggorokannya. Kana terperanjat, kemudian berjuang membawa suaminya ke rumah sakit.
Kana menggambar garis-garis seperti layaknya bermeditasi di saat menunggu suaminya melewati masa-masa kritis. Tidak hanya di saat menunggu di rumah sakit, di rumah pun demikian. ”Sampai ada kertas 2 meter saya gambar garis-garis di rumah,” ujar Kana.
Kana akhirnya mengembangkan lukisan abstrak bercorak garis-garis memenuhi bidang kanvas dan berwarna-warni. Ada dua lukisan abstrak seperti itu yang dipamerkan. Selebihnya, dua lukisan lain di atas kardus dengan tinta china.
”Lukisan di atas kardus untuk merespons situasi pandemi Covid-19 pada waktu itu,” ujar Kana, yang mengelola galeri pribadi di kediamannya di Jakarta Selatan.
Diagnosis kanker
Melukis demi menjaga kewarasan juga dituturkan Rosita Rose, yang akrab disapa Oshi. Ia mengalami kecemasan atau anxiety yang mengganggu kesehatan jiwanya, setelah pada 2021 didiagnosis mengalami kanker rahim.
”Pernah suatu ketika, karena anxiety itu stadium kanker saya naik dari 1B menjadi 2A. Ini pengaruh dari kesehatan jiwa saya yang menurun,” ujar Oshi.
Oshi kebetulan memiliki saudara seorang psikiater, dr Yuniar SpKJ, MMRS, yang sekarang menjabat Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat di Lawang, Jawa Timur. Yuniar menyarankan supaya Oshi tetap memperhatikan kesehatan jiwanya untuk mempertahankan stadium kankernya agar tak meningkat.
”Dari situlah saya sadar untuk kembali melukis demi kesehatan jiwa saya. Bahkan, saya menjadi lebih produktif melukis ketimbang sebelum didiagnosis kanker,” ujar Oshi dengan lukisannya yang bercorak realis dengan metode flemish yang tergolong klasik itu.
Di dalam pameran Tombo Ati yang berlangsung pada 10 Oktober hingga 30 November itu, Oshi menampilkan tiga lukisan. Lukisan berjudul ”Wahyuni” (2023) dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 100 x 150 cm, mengambil model seorang finalis Puteri Indonesia 2023, Wahyuni Andira. Bukan hanya karena kecantikan Wahyuni, Oshi memilih Wahyuni sebagai model, tetapi berkat perjuangan gadis yang memiliki skoliosis atau tulang belakang yang melengkung ini.
Sebelum membuat lukisan seri Wahyuni, saya mewawancarainya cukup lama. Wahyuni, dengan skoliosis yang dialaminya, mengalami kesulitan untuk duduk dengan posisi tulang belakang lurus.
”Sebelum membuat lukisan seri Wahyuni, saya mewawancarainya cukup lama. Wahyuni, dengan skoliosis yang dialaminya, mengalami kesulitan untuk duduk dengan posisi tulang belakang lurus,” ujar Oshi.
Baca juga: Mereka membagikan semangat hidup
Meski menahan rasa sakit, Wahyuni berusaha sekuat tenaga untuk meluruskan posisi tulang belakangnya. Tatkala merasa tidak tahan lagi, kerap kali Wahyuni mengistirahatkan tubuhnya dengan pamit pergi ke kamar kecil.
”Saya terinspirasi perjuangan Wahyuni yang terus bertahan di ajang Puteri Indonesia 2023 dengan kondisi tubuhnya. Begitu pula saya juga harus bertahan untuk terus melukis dengan kondisi tubuh saya sendiri,” ujar Oshi, yang mengelola galeri seni pribadinya di Jakarta Selatan.
Selain itu, Oshi juga merasa membutuhkan figur publik yang bisa menginspirasi dirinya untuk menyembuhkan diri. Oshi pun mendisiplinkan diri dengan melukis setiap hari mulai pukul 09.00 hingga selesai pada pukul 17.00.
Kedisiplinan itu membuahkan hasil. Selain menjadi makin produktif melukis, kondisi anxiety atau kecemasannya mulai jauh berkurang.
Satu lagi lukisan seri Wahyuni berjudul ”Selendang Pandang (Terang)” ditampilkan Oshi di dalam pameran itu. Oshi melukis secara realis dan menampilkan figur Wahyuni di bingkai kanvasnya yang terasa hidup.
Kemudian satu lukisan realis lainnya berjudul ”Rinjani State of Mind” (2023). Ini lukisan kawah Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat yang terlihat indah dan berwarna-warni.
Wayang Sari
Perupa Sari Koeswoyo, mantan penyanyi cilik, ini menampilkan lukisan-lukisan wayang ala dirinya. Ia pun menyebut lukisan seri wayang tersebut sebagai Wayang Sari. Tidak beda dengan Kana dan Oshi, Sari melukis demi menjaga kewarasannya dari keguncangan hidup tatkala berpisah dengan suaminya.
Suatu ketika ia harus memutuskan pulang ke Tanah Air. Sari pun meninggalkan suami di tempat asalnya di Amerika Serikat.
Rupanya, ada sebuah pengalaman unik selama tinggal di sana. Sari pernah melihat sosok bayangan menyerupai tokoh wayang yang mengatakan kepadanya agar pulang ke Tanah Air. ”Saya kemudian benar-benar pulang ke Tanah Air,” ujar Sari, yang kemudian menggeluti seni rupa dengan melukis Wayang Sari.
Di dalam pameran ”Tombo Ati”, Sari menampilkan empat lukisan wayangnya. Untuk karya lukisannya yang diberi judul ”Sudah Waktunya” (2023), Sari mengisahkan seorang dewa memberikan mangkuk api kepada seekor naga. Seekor naga itu diberi kuasa oleh para dewa untuk menetralkan kondisi air yang bergejolak akibat ulah manusia.
Lukisan Wayang Sari berjudul ”Portal Kehidupan” (2023) ini bertutur tentang genitalia perempuan. Dari situlah semua kehidupan bermula.
Lewat karya ini saya ingin berbicara tentang kondisi perempuan yang kadang masih menjadi warga kedua.
”Lewat karya ini saya ingin berbicara tentang kondisi perempuan yang kadang masih menjadi warga kedua. Perempuan dengan dua kali pekerjaan yang lebih besar daripada laki-laki, ada yang masih memperoleh upah atau gaji lebih rendah ketimbang laki-laki,” ujar Sari.
Stigma buruk juga sering menimpa kaum perempuan atau ibu-ibu. Manakala ia mempunyai anak yang kebetulan melakukan kesalahan atau kenakalan, sering kali dicap akibat didikan ibunya yang keliru. ”Perempuan akhirnya menjadi lebih banyak menghadapi masalah kesehatan jiwa,” kata Sari.
Di tengah derasnya masalah yang mengganggu kesehatan jiwa, ketiga pelukis itu rupanya sama-sama menyadari, ternyata melukis menjadi pilihan penting. Dengan melukis, akan muncul kenyamanan bagi diri sendiri dan menjadi peluang bagi orang lain untuk meraih kenyamanan serupa.