Dekker dan Multatuli adalah sosok yang pikirannya bercabang. Ruwet. Di satu sisi, Dekker sebagai pejabat Belanda wajib menjalankan kebijakan pemerintahnya. Di sisi lain, ia juga menentang ketidakadilan tanam paksa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Tak hanya warnanya yang hitam dan rasanya yang pahit, sejarah kopi pun demikian. Ia dibudidayakan oleh penderitaan, dipanen oleh keangkuhan, dan diseduh dalam cawan kolonialisme. Era penjajahan memang sudah lewat, tapi bukan berarti hilang.
Entah karena memori yang pendek atau hati yang begitu pemaaf, kita suka lupa kalau jejak kopi di Tanah Air tak berawal indah. Sulit membayangkan bahwa beratus tahun lalu kopi tak ada di warung. Padahal, kopi di zaman sekarang begitu hit. Kehadirannya tak bisa dipisahkan dari gaya hidup urban. Kopi adalah kawan tongkrongan untuk mengejar deadline atau ngobrol sekadar ngalor-ngidul.
Nyatanya, kopi di zaman dulu adalah lambang penderitaan orang pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Petani dipaksa menanam kopi dan hasilnya mesti dijual ke perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dengan harga rendah. Rakyat menderita. Itulah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang berlangsung selama 40 tahun.
Berbagai ketidakadilan terjadi selama tanam paksa. Pribumi bahkan tak boleh mencicipi kopi yang mereka tanam. Sebagai gantinya, mereka mengeringkan daun kopi dan menyeduhnya seperti teh. Minuman yang lantas disebut kawa ini masih ada sampai sekarang, antara lain di Sumatera.
Kopi para petani padahal nikmat bukan kepalang. Kopi dari Jawa bahkan melegenda di Eropa. Namun, bukan hanya cita rasa kopi yang tak pernah mampir ke lidah warga pribumi. Keuntungan berdagang kopi pun tak pernah dirasakan. Perdagangan kopi pada akhirnya hanya menebalkan kantong VOC.
Ketidakadilan itu bikin gerah Eduard Douwes Dekker, asisten residen Pemerintah Belanda di Lebak, Banten. Sebulan setelah dilantik, ia protes ke Bupati Lebak. Protes Dekker malah berakhir ke sanksi sosial. Ia dijauhi teman-teman dan atasannya. Nama baik Dekker jatuh.
Ia lantas menulis ketidakadilan tanam paksa lewat novel fiksi berjudul Max Havelaar yang terbit pada 1860. Karena nama baiknya belum pulih, Dekker menggunakan nama pena Multatuli.
Fiksi yang berdasarkan pada sejarah memang ”berbahaya”. Berbagai fakta yang tak ada di laporan pejabat—kalaupun ada, penuh dengan polesan kata halus yang tak jelas maksudnya—ditulis secara gamblang saja oleh Multatuli. Isi novelnya jelas: rakyat menderita karena tanam paksa.
Novel ini lantas booming. Kelompok liberal di Belanda mengambil kesempatan ini untuk mengkritik dan menekan pemerintahnya atas ”perdagangan tak adil”. Tanam paksa pun dihapuskan. Undang-Undang Agraria diterbitkan dan Ratu Wilhelmina menyetujui Politik Etis, yakni politik balas budi ke Hindia Belanda.
Belum hilang
Era kolonialisme memang sudah lewat, tapi jejaknya begitu sulit hilang. Menurut peneliti kopi dan teh Prawoto Indarto, kolonialisme hanya berganti wajah. ”Kolonialisme” kini hadir dalam wujud berbagai aturan dagang yang diterapkan negara maju.
”Free trade (perdagangan bebas) dianggap tidak adil karena ada strategi ganda. Di satu sisi, negara kaya mendorong negara-negara miskin untuk liberalisasi (produk). Di saat yang sama, negara berkembang ini saat memasarkan produk menghadapi banyak sekali aturan dagang, termasuk sertifikasi,” ucap Prawoto di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Konsep fair trade (perdagangan berkeadilan) lantas muncul sebagai negasi free trade. Solidaridad, lembaga swadaya masyarakat di Belanda, menyuarakan fair trade melalui Max Havelaar Foundation. Gerakan fair trade kini diikuti 632 organisasi di 58 negara dengan 1.900 jaringan bisnis.
Pameran
Max Havelaar sekali lagi menunjukkan pengaruhnya. Ini pula yang memotori festival Road to Max Havelaar di Bentara Budaya Jakarta pada 5-9 Oktober 2023. Festival ini terdiri dari diskusi serta bazar yang diisi pengusaha kopi, teh, dan rempah. Ada juga pameran seni yang menampilkan karya lukis dan patung dari 14 perupa.
Para perupa adalah Akbar Linggaprana, Arie Kadarisman, Bambang Prasadhi, Bambang Sudarto, Bambang Winaryo, Dirman Saputra, dan Dyan Anggraini. Selain itu ada Eri Fachrizal, Haris Purnomo, Indyra, Mahdi Abdullah, Syakieb Sungkar, Trinawangwulan, dan Vincensius Dwimawan.
Semua karya dibuat dengan gaya realis, representasi bahwa karya dibuat berdasarkan riset kecil-kecilan soal sejarah, juga representasi isu nyata di lapangan.
Bagi Akbar Linggaprana, kolonialisme lekat urusannya dengan kepatuhan para bawahan. Lewat lukisan ”Metamorfosis Kolonialisme Gaya Baru”, ia menggambarkan kolonialisme sebagai anjing bulldog berbaju mirip hakim. Dengan jubah kebesaran itu, tak apalah jika keadilan dibelokkan sedikit-sedikit. Yang penting, tuannya senang.
Tangan dan wajah bulldog yang keriput seperti mengingatkan betapa tua usia kolonialisme. Alih-alih pensiun, ia malah ganti baju baru.
”Bulldog itu termasuk yang setia pada tuannya. Dia juga galak kalau ada yang mau ganggu tuannya,” kata Akbar.
Lain lagi dengan Indyra yang melukis wajah Douwes Dekker sebagai fokus utama di lukisan ”Multatuli The Author”. Wajah Dekker samar dan sekilas ada dua. Bagi Indyra, Dekker dan Multatuli adalah sosok yang pikirannya bercabang. Ruwet. Di satu sisi, Dekker sebagai pejabat Belanda wajib menjalankan kebijakan pemerintahnya. Di sisi lain, ia juga menentang ketidakadilan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat pribumi.
Walau gambar wajahnya samar, mata Dekker tetap tajam dan detail di lukisan. Indyra sengaja membuatnya demikian sebagai representasi mata Dekker yang melihat langsung ketidakadilan tanam paksa. Indyra menambahkan pena berujung runcing di gambarnya sebagai penggambaran peran Multatuli sebagai novelis. Dalam hal ini, Multatuli dan wartawan bisa sama-sama setuju bahwa pena lebih tajam dari pedang.
Di sisi lain, kurator pameran M Hilmi Faiq melihat Dekker sebagai sosok paradoks sehingga membaca karyanya perlu pikiran kritis. Paradoks pertama adalah Dekker, sebagai orang Belanda, menentang tanam paksa. Paradoks kedua, ia adalah Belanda yang tumbuh di lingkungan kolonial. Sadar atau tidak, ia sudah terpengaruh dengan pola pikir itu.
”Alih-alih membela kaum pribumi secara utuh, wacana yang dikembangkan Dekker justru mengafirmasi kolonialisme. Cara pandang Dekker Eropa-sentris atau terlalu Barat sembari melihat kaum terjajah sebagai kelas kedua, inferior,” ucapnya.
Pertanyaannya, apa kita mengafirmasi perasaan inferior di hadapan negara adikuasa? Silakan direnungi sambil minum kopi.