Lewat Seni, Mereka Berbagi Imajinasi
Para seniman peserta, yang terbiasa berpameran di perkotaan, berinteraksi dengan warga desa. Mereka pun berbagi ilmu, berbagi imajinasi, membangun relasi, dan persilangan budaya lewat seni.
Sebaran 12 lokasi pameran seni rupa kontemporer Biennale Jogja 17 tahun 2023 sebagian besar berada di perdesaan. Para seniman peserta, yang terbiasa berpameran di perkotaan, berinteraksi dengan warga desa. Mereka pun berbagi ilmu, berbagi imajinasi, membangun relasi, dan persilangan budaya lewat seni.
Seniman Jompet Kuswidananto (46) terlihat begitu khusyuk, Kamis (5/10/2023) siang. Ia sedang mempersiapkan kabel-kabel untuk jaringan listrik seni instalasinya yang diberi judul ”Anno Domini” atau ”Tahun Masehi” (2011).
Ini karya lama Jompet 12 tahun silam yang pernah ditampilkan di Selasar Sunaryo, Bandung, dan di sebuah pameran di Hong Kong. Saat ini ditampilkan kembali untuk Biennale Jogja 17. Ruang pajangnya ada di salah satu rumah joglo tua di Monumen Bibis, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Monumen Bibis dikenal dalam sejarah perjuangan masa revolusi fisik kemerdekaan. Rumah joglo dan limasan khas Yogyakarta ada di situ, pernah dijadikan markas pasukan Brigade X Divisi III di bawah Letkol Suharto, yang memimpin perang gerilya.
”Sejak sekitar 15 tahun lalu, saya banyak membuat karya seni seri hantu. Hantu-hantu karnaval dalam berbagai bentuk dan ini sekarang dianggap memiliki keterhubungan dengan tema Biennale Jogja 17 dan lokasi pameran di sini,” kata Jompet.
Jompet menyinggung hantu karnaval. Mengapa karya ”Anno Domini” dikaitkan dengan hantu-hantu karnaval? Cukup panjang ceritanya. Ini bermula dari kisah mitos sampai metafora ”hantu sejarah” yang selama ini masih gelap, samar, dan kadang menakutkan untuk disingkap.
Jompet tinggal di Kota Yogyakarta bagian timur, di sekitar Bandara Adisucipto. Di masa kecilnya, ia sering mendapati rumor adanya suara-suara drumband atau marching band terdengar di pagi hari. Sebagian masyarakat meyakini suara itu berasal dari dunia lain, dunia roh, atau dunia gaib.
”Ini menjadi memori kolektif, ada drumband gaib. Masyarakat di berbagai lokasi di Yogyakarta banyak yang mengutarakan pengalaman mendengar suara drumband ini. Menariknya, ada spekulasi-spekulasi tentang ini,” ujar Jompet.
Ada yang berspekulasi suara drumband itu berasal dari roh pasukan Pangeran Diponegoro. Atau roh para pejuang perang kemerdekaan. Tentu roh-roh itu belum tenang di alam sana.
Baca juga: Dari Nusantara Membumbui Dunia
Selain suara drumband gaib, ada sebagian masyarakat yang mendengar suara derap kaki orang berlari di kejar-kejar. Masyarakat menghubungkannya dengan persoalan sejarah pasca-1965, tatkala banyak orang menjadi pelarian karena dianggap sebagai anggota Partai Komunias Indonesia dan terancam dibunuh.
”Bagi saya, ini sangat menarik ketika orang-orang mendengar suara-suara gaib itu pada pagi hari. Mereka memulai hari dengan mengingat roh-roh yang tidak tenang itu,” ujar Jompet.
Prolog atau pengantar kisah karya Jompet seperti ini cukup menarik karena sebagian masyarakat di Yogyakarta masih meyakini adanya dunia lain di dalam kehidupan nyata sampai sekarang. Di balik itu, Jompet menyatakan metafora sejarah kita masih dipenuhi dengan urusan-urusan yang belum selesai.
”Banyak peristiwa yang tidak disampaikan di dalam sejarah dengan baik. Ada korban yang tidak pernah terbicarakan. Seperti masih ada hantu di dalam sejarah kita,” kata Jompet.
Jompet mengimbuhkan, Anno Domini diawali dengan tahun kelahiran Nabi Isa atau Yesus Kristus. Akan tetapi, Anno Domini sebagai awal tahun kemuliaan di Jawa ditandai pada 1830 Masehi, tatkala Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan perang. Sejak tahun itulah mulai terjadi perubahan besar-besaran di tanah Jawa. Sistem ekonomi berubah sangat cepat dan bertumbuh dengan masif.
Jompet memvisualisasikan gagasannya itu dengan membuat atribut lima pasukan drumband. Atribut itu tanpa raga manusia, tetapi berdiri tegak seperti dikenakan seorang manusia yang tidak terlihat. Jompet berbagi imajinasi
Selain karya Jompet, di Monumen Bibis juga ditampilkan enam karya seniman peserta lainnya. Mereka meliputi Ibro Hasanovic (Ljubovija/Paris), Leyla Steven (Sydney), Lintang Raditya dan kolektif Unhistoried asal Yogyakarta, beserta Maruto Ardi dan Vincent Rumahloine asal Bandung.
Area Lohjinawi
Berjarak tidak cukup jauh dari Monumen Bibis, sekitar 3 kilometer, terdapat area Lohjinawi yang dipergunakan pula sebagai area pameran Biennale Jogja 17. Di situ terdapat sembilan nama peserta, salah satunya peserta kolektif Jogja Disability Art (JDA).
Kolektif JDA merespons tajuk Biennale Jogja 17 Titen-Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, dengan karya mural di dinding sepanjang sekitar 20 meter berjudul, ”Pranata Mangsa”.
”Anggota JDA sudah inklusif. Yang difabel secara fisik berbaur dengan yang tidak mengalami difabel secara fisik,” ujar Koordinator JDA Sukri Budi Dharma atau akrab disapa Butong.
Ada 12 anggota dilibatkan membuat mural ”Pranata Mangsa” tersebut. Ketika Kompas mengunjungi lokasi mural, Rabu (4/10/2023) sore, tampak Supriyono (32), anggota JDA asal Purworejo sedang menuntaskan bagian lukisan muralnya. ”Saya baru saja tiba dengan naik motor dari Purworejo,” ujar Supriyono.
Supriyono memiliki karunia kelengkapan fisik satu tangan kiri, sedangkan bagian tangan kanannya sejak bayi hanya tumbuh sampai di bagian sikutnya. Terbayang tidak begitu mudah untuk mengendarai sepeda motor seorang diri.
Baca juga: Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
”Saya sudah terbiasa menyetir sepeda motor dengan satu tangan, yaitu tangan kiri saja. Akan tetapi, demi menjaga keseimbangan saya menggunakan tangan palsu untuk tangan kanan,” ujar Supriyono.
Ketika melukis di dinding pun, Supriyono hanya menggunakan tangan kirinya. Di mural ”Pranata Mangsa” itu, Supriyono kebagian melukis visualisasi bulan ke lima yang ditandai mulai munculnya hujan. Tunas bertumbuhan juga mulai disertai munculnya ulat di dedaunan.
Ada hambatan secara fisik bagi anggota JDA lainnya, hingga tidak bisa secara langsung membuat mural di dinding tersebut. Sebagian di antara mereka melukis di panel beraneka bentuk, kemudian ditempelkan di dinding mural tersebut.
Selain Butong dan Supriyono, nama-nama lain yang dicantumkan di dinding mural tersebut meliputi Nano Warsono, Edi Priyanto, Ddienopop, Yanal Desmon Zendrato, Antino Restu Aji, Zakka Nurul Olfian Hadi, Bernard Wora Wari, Rofitasari Rahayu, Eri Setiawan, dan Yogi Suganda Siregar.
Ketahanan pangan
Sebagian wilayah Desa Bangunjiwo memiliki area karts pegunungan muda yang gersang. Tidak sedikit seniman peserta Biennale Jogja 17 merespons persoalan ketahanan pangan.
Masih di area Lohjinawi, tampak peserta Dan Vezentan asal Bucharest, Romania, Kamis (5/10/2023), masih berusaha merampungkan seni instalasinya yang hampir keseluruhannya menggunakan bambu. Dan merangkai batang-batang bambu itu hingga menyerupai kincir air. Di bagian ujung-ujungnya ditaruh keranjang yang dibuat dengan bambu pula.
Dan begitu ramah menjelaskan tentang instalasi serupa yang berfungsi untuk memanen buah apel di negaranya. Karya seni instalasi di area Lohjinawi ini juga dimaksudkan Dan supaya bisa berguna untuk memanen padi.
Tentu karya itu tidak bisa benar-benar berfungsi untuk memanen padi. Ini bagian dari metafora ketahanan pangan melalui teknologi sederhana untuk menunjang ketahanan pangan penduduk setempat.
”Saya di sini sekitar satu bulan hingga 8 Oktober 2023 nanti. Saya tinggal di sebuah bungalow tidak jauh dari karya ini di pinggir sawah padi,” kata Dan.
Sama halnya dengan yang ditampilkan dua seniman asal Nepal, Dipak Lama dan Shreeti Prajapati, di area Gudang. Ini berjarak sekitar 2 kilometer dengan area Lohjinawi.
Area Gudang merujuk pada bangunan bekas gudang sebuah perusahaan tisu di Desa Bangunjiwo. Sebanyak 15 nama peserta Biennale Jogja 17 dari Tanah Air dan beberapa negara menampilkan karya mereka di situ.
”Karya ini terinspirasi dari metode pengeringan jagung dan padi. Kami di Nepal memiliki dua jenis makanan pokok ini,” ujar Shreeti.
Bersama rekannya, Dipak Lama, mereka menyusun 17 rangkaian jagung kering diikat di sebuah tali. Satu rangkaian tali berisikan puluhan hingga ratusan jagung kering. Di bagian depan instalasi jagung kering itu mereka membuat alur berkelok-kelok beberapa bentuk setengah lingkaran.
”Ini terakota yang dibentuk menyerupai beras. Coba, rasakan bunyi dari gesekan beras yang kering ini,” ujar Shreeti.
Dipak dan Shreeti mengajak audiensinya mengalami usaha-usaha pengeringan bahan makanan pokok jagung dan padi. Metode pengeringan bahan pangan secara alami tidak lain untuk menunjang ketahanan pangan.
Beranjak dari area Gudang, Kompas beralih ke lokasi pameran Galeri Joning. Galeri ini berada di kawasan industri gerabah Kasongan, Desa Bangunjiwo. Di situ dipamerkan karya dua peserta meliputi Betty Adii dan Endang Lestari. Karya Endang Lestari (49) lainnya juga ditampilkan di Taman Budaya Yogyakarta dalam rangka Biennale Jogja 17 ini.
”Karya-karya keramik yang saya tampilkan berkaitan dengan memori masa kecil, terutama dari pengalaman bersama ibu saya naik kapal Tampomas II di dekat dermaga Banda Aceh,” ujar Endang Lestari, yang lahir di Banda Aceh.
Pada waktu itu usia Endang Lestari sekitar lima tahun. Ketika menaiki kapal Tampomas II diminta buru-buru turun dari kapal tersebut karena mesin kapal mengalami gangguan.
Berikutnya, pada 27 Januari 1981 begitu tragis. Kapal Tampomas II dalam perjalanan dari Jakarta menuju Makassar mengalami kebakaran dan karam di Laut Jawa. Ada ribuan jiwa melayang dalam kejadian tersebut. Karya Endang Lestari sekaligus menunjukkan kompleksitas peristiwa sejarah yang jarang atau tidak terbicarakan untuk ditampilkan di Biennale Jogja 17.
Kuratorial Biennale Jogja 17 menyebut edisi kali ini sekaligus sebagai eksperimen untuk memeriksa dan memahami pengalaman inferioritas, kecemasan, pertanyaan tentang identitas. Begitu pula, legitimasi yang telah dibangun dan dibentuk oleh sistem seni yang dominan dan eksklusif. Maka, kini saatnya berbagi ilmu, berbagi imajinasi kepada siapa saja dan dari siapa saja lewat seni.
Ini memungkinkan untuk melihat yang tidak terbicarakan menjadi pelajaran baru bagi masa depan.