Mereka Berbagi Semangat Hidup
Tidak hanya berbagi kenangan, mereka membagikan semangat hidup yang terus dijaga membara.
Tak sekadar menawarkan keindahan retinal, lukisan-lukisan karya penyandang disabilitas mengisahkan perjuangan hidup yang tak mudah. Tidak hanya berbagi kenangan, mereka membagikan semangat hidup yang terus dijaga membara.
Seusai acara pembukaan Pameran Seni Disabilitas Internasional Masagi di halaman Bale Seni Barli, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Selasa (19/9/2023), Agus Yusuf (60) dengan kursi rodanya beranjak memasuki ruang pamer. Agus segera menempatkan diri untuk melukis dengan kaki kiri dan mulutnya.
Sejak lahir di Madiun pada 1963, Agus hanya dikaruniai satu kaki kiri. Kaki kanan dan kedua tangannya mengalami hambatan tumbuh. Agus mulai menggunakan kaki kirinya untuk memegang kuas dan melukis.
Cat berwarna hijau ditorehkan secara perlahan di atas kanvas putih berukuran 70 sentimeter (cm) x 80 cm. Posisi kanvas direndahkan, lebih rendah dari tubuhnya. Kuas di ujung kaki kirinya seperti menari-menari di atas kanvas.
Goresan-goresan warna hijau mulai menampakkan bentuk. Pada akhirnya, Agus membuat rerantingan, dua helai daun, dan tiga buah mangga. Tarikan-tarikan warnanya masih kurang rapi. Kemudian posisi kanvas pun dinaikkan. Agus mulai memindahkan pegangan kuas ke mulutnya.
Dengan telaten Agus mulai merapikan garis dan mengisi bentuk dengan warna. Mangga dan dedaunan dilukiskannya dengan realis. Tidak begitu lama ia merampungkannya, mungkin tidak lebih dari setengah jam.
”Sekarang ini musim mangga. Sebelum tiba di Bale Seni Barli, saya sudah memikirkan ingin melukis mangga, tetapi sebagai seniman tak hanya ingin melukis mangga secara realis seperti itu,” ujar Agus.
Agus ingin bermain metafora dengan bahasa visual buah mangga. Sebenarnya, apa yang ingin dilukiskannya? Agus menceritakan, dedaunan itu ingin dibentuk seperti buah hati, tanda cinta.
Agus lalu mulai bercerita tentang kenangan di masa kecilnya. Ia bercerita ingin seperti anak-anak yang lainnya yang bisa berjalan, bisa berlari. Segala daya upaya untuk meraih keinginan seperti itu dikerahkan. Ia tidak ingin dikasihani. Ia ingin menunjukkan kebisaan yang sama dengan bocah lainnya dengan cara yang berbeda.
Ia menceritakan, bahkan sampai bergulingan ketika ingin berjalan dan berlari. Agus begitu enerjik. Hingga di kemudian hari Agus mengalihkan energinya untuk melukis.
Ia pun tergabung ke dalam sebuah asosiasi internasional bagi pelukis disabilitas yang menggunakan mulut dan kaki. Organisasi itu AMFPA, Association of Mouth and Foot Painting Artists of The World. Lembaga ini berbasis di Swiss.
”Sudah 33 tahun saya bergabung di AMFPA. Organisasi ini mendorong supaya setiap pesertanya mampu menunjukkan kemampuannya melukis dengan mulut dan kaki di depan publik,” ujar Agus penuh semangat.
Baca juga : Putu Mencari Makna Garuda
Jerapah raja hutan
Pameran Masagi diikuti 82 peserta. Sebagian besar diikuti peserta asal Indonesia. Selain itu, ada peserta perwakilan dari Australia, Brasil, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Filipina, dan Polandia.
Banyak kisah unik tersirat dari lukisan yang dipamerkan. Pada umumnya, karya-karya mereka seperti pesta warna, berwarna-warni menyiratkan aura bahagia. Akan tetapi, ada satu lukisan berbeda dengan garis-garis hitam di atas kanvas putih bersih.
Lukisan itu diberi judul "King of The Africa" karya Ardan Cahya (14), yang memiliki karunia ADHD (attention deficit hyperactive disorder), kesulitan memusatkan fokus perhatian. Ardan berasal dari Wonogiri dan kini mengenyam pendidikan Kelas IX SMP Lazuardi Kamila. Ini sekolah inklusi di Surakarta.
Ardan memiliki kemampuan berkomunikasi meski sering terjeda seperti ingin berpikir sejenak ketika mencerna sebuah pertanyaan. Ia melukiskan beraneka jenis satwa dengan tarikan garis hitam membentuk anatomi satwa yang begitu naif. Aneka satwa di bagian kiri dan kanan kanvas itu saling berhadapan. Ada di tengahnya gambar seekor jerapah berkalung di lehernya.
Ardan bermaksud, jerapah itulah King of Africa. Jerapah adalah raja di antara satwa dari Afrika, bukan singa yang dikenal sebagai raja hutan selama ini. Ardan meraih logika tersendiri untuk menyebut jerapah sebagai raja hutan karena satwa ini memiliki postur tertinggi di antara satwa lainnya.
Ardan didampingi ayah dan ibunya. Ibunya, Sri Patni Setyaningsih, menceritakan, Ardan tak menyukai warna-warna. Ia hanya menggunakan warna hitam untuk setiap gambar yang dibuatnya. Karya awal Ardan di masa kecil berupa coretan garis untuk menggambarkan tiang-tiang listrik di pinggir jalan.
”Setiap kali saya tanya, Ardan bisa menyebutkan gambar tiang listrik itu dari sebelah mana. Tiang-tiang itu diperhatikan Ardan setiap kali berangkat dan pulang ke sekolah, dari Wonogiri ke Surakarta dan kembali ke Wonogiri,” ujar Sri Patni.
Lukisan lain yang dipamerkan banyak bercorak realis dan figuratif, termasuk karya para peserta dari luar negeri. Jason D Reyes dari Filipina, menampilkan lukisan The City dengan media cat minyak di atas kanvas. Lukisannya realis, menggambarkan seorang kusir duduk santai di atas kursi delmannya. Ada seekor kuda berdiri siap menarik delman tersebut. Lukisan ini benar-benar realis, seperti foto. Jason penyandang disabilitas, melukis dengan kaki dan mulut.
Lukisan Winter Sleep karya peserta asal Polandia, Stanislaw Kmecik, menampilkan suasana pepohonan di hutan yang sedang diselimuti salju. Seperti Jason, Stanislaw melukis dengan kaki dan mulut, tetapi karya realis mereka mendekati sempurna.
Baca juga: Parikesit Doa Pemilu Damai
Kesempurnaan
Tema Masagi dalam bahasa Sunda yang bermakna kesempurnaan disematkan untuk pameran lukisan karya para penyandang disabilitas tersebut. Selain kesempurnaan bagi setiap karya, ini juga mimpi
dan harapan untuk sebuah kesempurnaan di tengah masyarakat dalam menerima kehadiran para penyandang disabilitas.
”Kita berharap masyarakat yang masagi, masyarakat yang sempurna dalam menerima kehadiran dan keberadaan para penyandang disabilitas. Kita mengharapkan inklusi yang masagi, yang sempurna pula,” ujar Anton Susanto, kurator pameran tersebut.
Karya yang sempurna dan bermanfaat menunjang pengakuan terhadap siapa pun di tengah masyarakat, termasuk para penyandang disabilitas. Akan tetapi, sistem interaksi, aksesibilitas, dan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas saat ini masih membutuhkan banyak perhatian.