Grafiti punya sejarah panjang sebagai luapan ekspresi publik. Kadang ia dianggap informatif, kadang vandal. Walakin, sebagian orang meyakini grafiti adalah seni yang layak dapat ruang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Campuran aroma tembakau bakar dan cat menyatu, mengiringi para seniman grafiti yang telaten menggambari tembok dengan cat semprot hingga berkeringat. Sapuan cat mereka warna-warni. Gambarnya pun beragam. Bagi mereka, grafiti tak ubahnya ekspresi seni yang sarat kebebasan.
Suasana sebuah bangunan gudang di kawasan Sunter, Jakarta Utara pada Sabtu (16/9/2023) sore sudah seperti studio seni. Kaleng-kaleng cat semprot, perancah, hingga puluhan grafiti setengah jadi terhampar di sana. Sementara itu, puluhan writers (sebutan buat seniman grafiti) sibuk menyelesaikan karyanya sampai bermandikan peluh.
Tangan mereka dengan terampil membubuhkan warna di dinding dengan cat semprot. Mereka tahu caranya memainkan cat agar warnanya tegas, halus saat dibuat bergradasi, atau agar bisa membuat garis yang tipis dan rapi. Keterampilan itu diasah lewat latihan terus-menerus.
Selain keterampilan, para writers juga menunjukkan gaya khas masing-masing saat menggambar. Ada yang bergaya realis, geometris, dan ada pula yang menggambar karakter. Jika diperhatikan baik-baik, gambar mereka membentuk kata yang biasanya menunjukkan nama alias sang seniman. Itu juga yang membedakan grafiti dan mural. Aspek utama grafiti adalah visualisasi teks, sementara mural non-teks.
Kreativitas para writers dipamerkan pada festival seni grafiti King Royal Pride 2023. Festival ini berlangsung pada 9-10 September 2023 dan 16-17 September 2023. Pada 9-10 September 2023, para seniman menggambar serempak di 85 tembok besar di 85 kota Indonesia. Menggambar serempak juga diadakan di Taiwan dan Singapura.
Sementara pada 16-17 September 2023, para seniman diundang untuk menggambar di Jakarta. Para seniman antara lain berasal dari Jambi, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Jerman, Taiwan, Singapura, dan Amerika Serikat.
“Festival ini diselenggarakan dari 2020, lalu berlanjut sampai sekarang. Acara ini sebetulnya dibuat supaya kami (para writers) bisa berkumpul,” kata Raya, salah satu inisiator King Royal Pride. “Santai aja. Di sini no rules (tidak ada aturan),” tambahnya.
No rules yang dimaksud Raya bermakna banyak. Para writers tak hanya dibebaskan dari aturan, tema, atau keharusan memuat pesan tertentu saat menggambar. Kebebasan mereka pun mencakup cara berpakaian atau berdandan. Tak akan ada yang menghakimi.
Seni jalanan
Kebebasan ini diadopsi dari budaya jalanan yang serba bebas. Grafiti pun pada dasarnya adalah seni jalanan atau street art yang jejaknya bisa ditemukan di dinding, papan, atau fasilitas umum. Bagi sebagian orang, grafiti adalah vandalisme.
Namun, bagi sebagian orang lain, grafiti sama saja dengan karya seni pada umumnya. Hanya saja, lokasi pameran grafiti di jalanan. Beberapa orang meyakini grafiti adalah sebagai seni yang memperindah lingkungan.
“Dulu publik lihat kami cuma corat-coret, merusak lingkungan. Lalu kami bikin workshop di tempat mereka dan mengedukasi bahwa ini bukan cuma corat-coret. Grafiti bisa mengubah lingkungan kumuh jadi eye-catching,” ucap writer Aldi “Cloze” yang juga membantu penyelenggaraan King Royal Pride.
Grafiti bisa mengubah lingkungan kumuh jadi eye-catching,”
Pandangan masyarakat terhadap grafiti pun perlahan bergeser seiring berjalannya waktu. Grafiti kini diterima sebagai seni yang mempercantik interior kafe hingga hotel. Karena grafiti pula, para writers bisa mengantongi cuan dan bekerja sama dengan pihak swasta.
Hal serupa pernah dialami Aram dan Kiki, writers yang tergabung dalam kru bernama Toter (Total Terror) yang terbentuk di Jakarta pada 2004. Menurut mereka, di masa 2000-an awal jumlah writers masih sedikit. Mereka pun masih bebas menggambari dinding jalanan sebagus mungkin dan belum dikejar-kejar perhatian aparat penegak hukum. Seiring berjalannya waktu, grafiti dipandang mengganggu ketertiban umum dan dihapus dari dinding-dinding jalanan.
“Di sisi lain, grafiti sekarang diterima oleh industri dan dipakai di event. Toter juga pernah kerja sama dengan beberapa brand” kata Aram.
Tergantung perspektif
Menurut kurator seni sekaligus pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Mikke Susanto, sesuatu dikatakan vandal jika lingkungan menilai itu tidak pantas. Di sisi lain, tidak ada parameter untuk mengukur kepantasan. Pada akhirnya, perspektif interpreter jadi penentu vandalisme.
Para pelukis Indonesia di masa Revolusi, misalnya, kerap mencoret dinding dengan mural, grafiti, atau poster berisi kalimat perlawanan. Bagi pihak pemerintah kolonial, coretan para pelukis adalah vandalisme. Namun bagi orang Indonesia, itu adalah perjuangan kemerdekaan.
“Permasalahan vandalisme itu terkait dengan kekuasaan. Orang yang berkuasa yang menginterpretasi. Pada akhirnya, itu adalah hal yang subyektif,” ucap Mikke, Kamis (21/9/2023).
Di sisi lain, kehadiran seni jalanan seperti mural dan grafiti menjadi penanda kondisi sosial masyarakat. Jika tidak banyak masalah di suatu wilayah, street art bernada kritik bakal jarang ditemukan. Begitu pula sebaliknya.
Mural dan grafiti berisi kritik dan kekecewaan publik pernah terekam saat pandemi Covid-19. Pada 2021, misalnya, ada grafiti bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Jalan Aryawasangkara, Kabupaten Tangerang, Banten. Grafiti dan mural serupa lantas dihapus karena dianggap provokatif atau melanggar kebersihan, ketertiban, dan keindahan (K3). Kejadian ini mendapat banyak sorotan negatif, antara lain karena dianggap membungkam kebebasan berekspresi masyarakat.
Seni jalanan yang memuat ekspresi perlawanan, perjuangan, atau kekecewaan publik sebetulnya terekam sejak zaman kemerdekaan Indonesia, Orde Lama, hingga masa Reformasi. Selain untuk bersuara, seni jalanan turut mengedukasi masyarakat soal isu yang tengah berkembang.
Saat masa kemerdekaan, misalnya, grafiti yang dibubuhkan pada badan kereta api membantu orang-orang di luar kota paham gejolak apa yang tengah terjadi di kota asal keberangkatan kereta. Peran grafiti dan mural untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan suatu isu pun masih relevan hingga sekarang.
“Peran muralist dibutuhkan untuk mengisi kesadaran kita agar tetap kritis,” ucap Mikke.