Kejarlah Janji, Kau Kupilih
Hiruk-pikuk jelang Pemilihan Umum 2024 makin terasa. Poster dan debat kusir di dunia maya bertebaran. Drama cari pasangan bak sinetron layar kaca dengan intriknya terus menambah episode baru. Masih mau nyoblos di pemilu?
Hiruk-pikuk jelang Pemilihan Umum 2024 makin terasa. Poster politisi, figur publik, anak si anu, istri si itu, hingga sanak saudara si ini menjajakan diri tapi minim visi-misi. Debat kusir si paling paham politik di dunia maya sudah bertebaran. Drama cari pasangan bak sinetron layar kaca dengan intriknya terus menambah episode baru, meski ceritanya tetap lawas.
Belakangan rasanya gamang memang. Dari hari ke hari, masyarakat disuguhi situasi negeri dengan ragam isu penting dan genting, tapi respons pejabatnya malah makin tak masuk akal. Belum lagi residu dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2017 yang bukannya diurai, tapi malah dibumbui demi polarisasi. Ah, capek.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kendati demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu tetap berupaya untuk mengajak masyarakat datang ke tempat pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Salah satunya melalui wahana film yang dianggap relevan dengan generasi muda yang merupakan jumlah pemilih terbesar pada pemilu kali ini, yakni 56,45 persen dari total pemilih yang mencapai 204 juta orang.
Tak tanggung-tanggung, KPU menggandeng sutradara Garin Nugroho dan melahirkan film bertajuk Kejarlah Janji yang dirilis pada Jumat (15/9/2023) di Epicentrum, Jakarta. Nantinya film ini juga akan berada di sejumlah bioskop secara terbatas dan diputar di sekolah, pondok pesantren, hingga komunitas-komunitas di daerah.
”Yang paling penting dari karya ini adalah aspek civic education. Belajar dari pemilu sebelumnya, media baru yang berkembang justru memecah belah hingga ke ruang keluarga kita karena menjadi pendukung pemimpin yang berbeda-beda. Saatnya melahirkan apresiasi panjang untuk merenungi,” tutur Garin saat pemutaran perdana.
Kisah dibuka dengan pesta kemenangan Janji Upaya (Ibnu Jamil) sebagai lurah terpilih di Desa Bangunmapan untuk kedua kalinya. Namun, acara itu mendadak tegang karena kehadiran Citro Rahadi (Muhammad Abe), pesaingnya dalam pemilihan kepala desa (pilkades), yang tak terima atas kekalahannya. Malangnya, Citro justru menemui ajal karena ketiban papan kemenangan Janji yang dirobohkannya.
Enam tahun berselang, giliran cerita jelang pemilu di Desa Bangunmapan yang dipaparkan. Bertepatan dengan itu, tiga anak Citro dan Pertiwi (Cut Mini) pulang dari rantau. Mereka adalah Adam (Bima Zeno), Sekar (Shenina Cinnamon), dan Isham (Thomas Rian). Kepulangan mereka untuk ziarah ke makam sang ayah sekaligus menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Tanpa disangka, kedatangan ketiga anak yang dirindukan Pertiwi mengalirkan konflik yang tak terduga. Adam merasa perlu membalaskan dendam sang ayah sehingga ia pun berniat untuk maju menjadi kepala desa pada pilkades berikutnya melawan Janji. Untuk bisa memenuhi targetnya, ia pun merapat pada salah satu partai politik dengan menjadi juru kampanye seorang calon anggota legislatif.
Sekar yang merupakan lulusan magister politik merasa lelah dengan realitas perpolitikan yang tak sesuai dengan apa yang dipelajarinya. Sementara itu, Isham bulat untuk tidak memilih karena letih juga melihat minimnya calon yang mumpuni dan kecewa dengan sikap pemimpin yang tak pernah berpihak pada rakyat. Ya, memang kan, mereka yang mau dipilih itu nyanak-nyanak kalau dekat hari pemilu saja.
Pertiwi pun tengah hanyut dengan masa lalunya bersama Janji. Di sisi lain, Pertiwi juga membuka ruang untuk anak-anaknya bersuara atas persoalan di dalam rumah sekaligus memberikan suntikan pesan agar bersedia menggunakan hak pilihnya untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas dengan cara yang tepat.
Film yang melakukan pengambilan gambar di Yogyakarta selama 12 hari dengan melibatkan banyak pelaku seni lokal ini disampaikan secara menggelitik dan satir. Sindiran-sindiran dan celetukan yang berkaitan dengan kondisi yang ada di Tanah Air sengaja diambil agar terasa relevan.
Namun, memang tak bisa berharap banyak mengingat film ini dalam kapasitas sebagai wahana sosialisasi. Meski penulis skenario Alim Sudio menjelaskan dirinya diberi keleluasaan dalam menggarap alur dan formula cerita, masuknya pesan-pesan yang berkaitan dengan pemilu terasa kurang halus dan menyatu dengan jalan cerita yang sesungguhnya menarik.
Banal
Jika memang yang ingin disasar utama adalah generasi muda, pendekatan pop kultur melalui film memang tepat. Pengemasan secara komedi satir juga cocok dengan karakter anak-anak muda. Namun, perlu diperhatikan, generasi muda saat ini dengan gempuran digitalisasi memiliki pandangan yang mendalam terkait pemilu sebenarnya sehingga tak bisa lagi hanya bermain di permukaan.
Isu politik uang, politik identitas, politik dinasti, polarisasi, pendengung, pemengaruh, kampanye hitam saling menjatuhkan, hingga rekam jejak merupakan hal umum yang selalu disuarakan di tiap pemilu terus-menerus. Lalu, adakah perubahan yang berarti? Rasanya tidak. Kondisinya justru kian tak keruan saat ini. Itu pula yang menyebabkan sosialisasi isu ini tak surut.
Dalam film ini, berulang kali juga disinggung pentingnya pemimpin yang mengedepankan substansi, bukan sensasi. Bahkan dalam satu adegan, Janji yang didapuk untuk menjadi caleg merasa lelah dengan pembahasan di partai politik dan koalisi.
”Yang dibahas elektabilitas, popularitas, dan investor. Malah enggak ngomongin masyarakat dan kesejahteraannya. Kalau cuma elektabilitas semu, demokrasi semu, ya ngapain dicalonin?” ujar Janji.
Dialog ini kuat, hanya saja perwujudannya tak kentara di film. Program kerja Janji hanya ditampilkan sekelebat lewat poster Tujuh Janji Upaya ketika memimpin. Namun, upaya nyatanya sedikit dibahas. Perlawanan Janji terhadap perusahaan tambang yang ingin mencaplok wilayah desanya pun disinggung sekelumit dan normatif. Konflik Janji berujung dengan keluarga besarnya yang ingin memanfaatkan posisi Janji.
Di sisi lain, sindiran seperti calon anggota legislatif yang doyan main perempuan, joget sana sini, suap sana sini cukup mengena dan memang begitu adanya. Pertentangan cebong-kampret yang melelahkan dengan masing-masing kampanye yang saling menjatuhkan lewat potongan video viral juga turut hadir di tengah-tengah film dan mestinya bisa membuka mata. Isu tiga periode juga mengemuka di sini.
Namun, semua yang berkelindan di dalamnya sekali lagi terasa banal. Sebab, jika ingin masyarakat turut memilih dalam gelaran pemilu nanti, edukasi bukan hanya berhenti pada para calon pemilih. Pendidikan politik itu juga wajib menyasar yang akan dipilih. Semua itu beriringan dengan perbaikan sistem politik dan insafnya partai-partai politik sebagai roda penggerak demokrasi. Jangan hanya mau menang dan viral saja.
”Perlombaan viral di handphone melahirkan propaganda yang harus banal karena harus menarik perhatian. Penting untuk menyuarakan cara-cara yang lebih bermartabat agar menjadikan pemilu ini bermartabat untuk melahirkan pemimpin yang bermartabat,” ujar Garin.
Mengutip omongan Ibu Pertiwi kepada anaknya dalam film ini, ”Yang terpenting itu bagaimana cara mendapatkan dan membangun rumahnya dan merawat orang-orang yang ada dalam rumah itu. Caranya harus benar. Ya, sama seperti negara ini.”
Bisa dibayangkan jika negara ini terus-menerus jatuh ke tangan orang-orang yang hanya haus kuasa untuk melanggengkan dinasti atau keuntungan pribadi hingga rela saling menjatuhkan sebagai cara mendapatkannya. Rakyatlah, kitalah, yang tinggal di dalamnya yang jadi korbannya. Sekali lagi, sudah siap tentukan pilihan?