Parikesit Doa Pemilu Damai
Dua seniman Sujiwo Tejo dan Nasirun mendaraskan doa dan harapan di tengah gonjang-ganjing pemilu lewat lukisan-lukisan hasil kolaborasi mereka.
Gonjang-ganjing tidak terelakkan. Pemilu ibarat pertarungan Bharatayuda dalam dunia pewayangan, tetapi sebisa mungkin pemilu harus dicapai demi memuliakan kemanusiaan dan adab paling mutakhir. Hingga pantaslah kemudian menyulut api harapan regenerasi kepemimpinan baru seperti Parikesit untuk doa pemilu damai.
Parikesit menjadi sosok pemimpin baru dari kubu yang berpihak kepada kebenaran, yakni Pandawa, setelah mereka memenangkan perang Bharatayuda. Tampilnya Parikesit menjadi semantika harapan setelah gonjang-ganjingpemilu.
Dua seniman Sujiwo Tejo (61) dan Nasirun (57) mendaraskan doa seperti itu lewat lukisan-lukisan karya kolaborasi mereka. Hingga kemudian terciptalah sekitar 50 lukisan dan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta bertajuk, Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia, dan berlangsung 1 - 9 September 2023.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengambil peran dengan mengemas pembukaan pameran yang sekaligus doa pemilu damai. Lembaga ini menghadirkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beserta semua perwakilan pengurus partai politik untuk pembukaan kegiatan tersebut, Kamis (31/8/2023).
Lukisan kolaborasi Tejo dan Nasirun berjudul, "Bumi Gonjang-ganjing", cukup mengena. Di bidang kanvas yang cukup besar, 140 kali 200 sentimeter, lukisan itu menampilkan sosok Presiden Joko Widodo mengenakan baju berwarna putih sedang mendalang. Tangan kirinya menggenggam sepotong kayu atau yang dikenal sebagai dodhog kotak wayang untuk membuat irama ketukan. Tangan kanannya memegang sebuah wayang kulit dengan sosok berambut panjang.
“Itulah Parikesit. Rambutnya gondrong, karena saya dan Nasirun juga gondrong,” ujar Sujiwo Tejo terkekeh, menjelang pembukaan pameran dan doa pemilu damai tersebut.
Joko Widodo atau Jokowi tidak dilukis sendirian. Sebagai dalang, Jokowi diiringi para penabuh gamelan yang dilukiskan dengan sosok-sosok pemimpin partai politik (parpol) lainnya.
Di samping kanan Jokowi ada pemimpin Partai Golkar Airlangga Hartarto. Kedua tangan Airlangga menggenggam penabuh gong. Di barisan belakang terdapat lukisan sosok pemimpin parpol Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh yang sedang meniup seruling.
Persis di belakang Jokowi terdapat pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri. Megawati dilukiskan sedang menabuh kendang. Kemudian berikutnya ada pemimpin parpol Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra Prabowo Subianto. Prabowo dilukiskan mengenakan baret merah sedang menabuh gender. Kemudian masih ada beberapa sosok lainnya di dalam lukisan tersebut.
“Pemilu seperti bumi gonjang-ganjing,” ujar Tejo, yang melukis tokoh-tokoh tersebut.
Nasirun mengambil peran dengan melukis deretan wayang di samping kiri dan kanan dalang yang tertancap di batang pohon pisang. Wayang-wayang Nasirun tersirat seperti lukisan abstrak cat minyak.
“Malangkerik”
Proses panjang kerja kolaborasi antara Sujiwo Tejo dan Nasirun dimulai sejak Februari 2022, masih di masa pandemi Covid 19. Kerja kolaborasi mereka diawali tanpa kesengajaan.
“Ketika itu baru pertama kali saya mengunjungi rumah Nasirun. Agus Noor yang juga turut serta kemudian memprovokasi supaya ada penanda dari peristiwa pertemuan kami di rumah Nasirun dengan membuat lukisan kolaborasi ,” ujar Tejo.
Seniman yang juga penulis naskah drama Agus Noor mengiyakan hal itu. Ketika itu Nasirun mengeluarkan kanvas dengan bidang yang tidak terlalu besar. Mereka berdua akhirnya melukis karakter wayang kesukaan masing-masing.
Sujiwo Tejo melukis karakter Semar, sedangkan Nasirun melukis karakter Petruk. Karakter Semar dengan tangan menuding ke arah Petruk yang sedang berkacak pinggang. Lukisan ini kemudian diberi judul "Malangkerik", yang bermakna berkacak pinggang.
“Saya melihat keduanya sedang saling menjajaki, bahkan seperti saling berkacak pinggang untuk memulai sebuah pertarungan melukis di bidang kanvas yang sama,” kata Agus Noor.
Baca juga: Lorong mahal Nasirun
"Malangkerik" memantik ide Agus Noor agar Sujiwo Tejo dan Nasirun melanjutkan berkolaborasi melukis. Ada dua lukisan dihasilkan pada pertemuan pertama di rumah Nasirun itu. Lukisan lainnya dibuat bercorak abstrak dengan lelelah cat hitam dan bertuliskan, “Titi Kolo Mongso”.
Lukisan itu kemudian diberi judul "Manjing". Titi Kolo Mongso bermakna sebuah kepastian di titik masa tertentu yang tidak bisa diubah-ubah. Misalnya, subuh di dini hari tidak bisa dipercepat menjadi tengah malam. Begitu pula, “titi kolo mongso” bagi terpilihnya seorang presiden tidak bisa dipaksa-paksakan momentum terjadinya.
Pertemuan pertama Tejo dan Nasirun dilanjutkan beberapa bulan berikutnya, Juli 2022, dengan melukis bersama selama 24 jam. Hingga dalam rentang Februari 2022 hingga satu setengah tahun berikutnya bisa menciptakan sekitar 50 lukisan kolaborasi.
Sujiwo Tejo dikenal mengakrabi dunia pedalangan wayang, sedangkan Nasirun sebagai pelukis banyak terinspirasi karakter wayang. Lukisan kolaborasi mereka tidak luput dari dunia wayang, meski tidak sedikit pula yang membias ke dunia abstrak dan figuratif seperti potret diri.
Lukisan potret diri mereka di antaranya yang diberi judul "Rel Kereta #1". Ini mengibaratkan Sujiwo Tejo dan Nasirun adalah sepasang rel kereta api yang selalu bersama dan tidak pernah bertemu untuk mengantar gerbong kereta api ke tujuan.
Ada lukisan figuratif wajah lain yang mengambil judul "Murid-murid Pak Tino Sidin #1" dan "Murid-murid Pak Tino Sidin#2". Ada pula lukisan berjudul "Ning Nong Ning Gung", menampilkan sosok seperti seniman tradisional jatilan sedang memegang dahinya, ketika melihat kuda di hadapannya bukan lagi kuda kepang. Kuda itu menjadi kuda buah catur di papan permainan kotak hitam dan putih.
Pilihan kata menggelitik untuk judul karya juga disematkan. Antara lain untuk lukisan angsa putih diberi judul "Peacock is not Pekok". Kemudian lukisan wajah-wajah yang diberi judul "Saudagar Ayat". Ada yang tidak kalah menggelitik ketika lukisan figur lainnya diberi judul, "Dukun Policik".
Agus Noor merangkum peristiwa kolaborasi antara Sujiwo Tejo dan Nasirun sebagai peristiwa Semar dan Petruk Kemulan di Bayeman (Semar dan Petruk Berselimutan di Bayeman). Bayeman mengacu lokasi rumah dan studio Nasirun di Yogyakarta. Tejo mewakili karakter Semar, Nasirun mewakili karakter Petruk.
“Sujiwo Tejo dan Nasirun setidaknya telah mencoba, mengawali, memulai percakapan indah dan subtil tentang proses berbangsa. Di antaranya, Semar dan Petruk kemulan di Bayeman itu tenggelam dalam doa untuk pemilu damai,” ujar Agus Noor.
Seni dan Politik
Kolaborasi Sujiwo Tejo dan Nasirun menghasilkan identitas ketiga, yang bukan lagi semata identitas Tejo atau Nasirun. Kurator pameran Mikke Susanto menunjukkan fungsi karya seni yang melompat jauh dari persoalan estetika. Karya seni sudah memasuki wilayah politik.
“Sejarah membuktikan kesenian menjadi lebih penting dibicarakan, ketika terkait dengan urusan di luarnya,” ujar Mikke, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Di dalam lukisan kolaboratif itu, Mikke melihat garis ritmis Nasirun beradu dengan garis kaku Sujiwo Tejo. Cipratan dan lelehan pigmen warna Nasirun bersanding dengan jejak goresan kuas Sujiwo Tejo yang gradatif. Objek dan tebaran warna yang dilahirkan Nasirun konsisten menghias, sedangkan Sujiwo Tejo merusak pola hias tersebut.
Mikke mengklasifikasi karya-karya yang dipamerkan menjadi tiga hal, yakni potret diri Tejo-Nasirun, postradisi, dan dunia sosial politik hari ini. Untuk klasifikasi ketiga, Mikke menyebutkan beberapa karya yang diberi judul "Ada Pintu di Sini tapi Sudah Dijual" (2023), "Buka Malam Siang #1 & #2" (2023), "Don Juan" (2023), "Jokoting" (2023), "Dukun Policik" (2023), "Kabar Baik dari RRI" (2023), "Ning Nang Ning Gung" (2023), "Negara Api Biru" (2023), "Among-Among" (2023), "Lawan Arah Jam Dinding" (2022-2023), "Pemimpin Tangan Besi Mematikan Nyali", dan "Pemimpin yang Dinabikan Mematikan Nalar" (2023).
“Tidak ada dominasi, tidak ada kalah atau menang, dan tidak ada yang tampil lebih dari lainnya. Kolaborasi keduanya seperti pasangan yang saling mengisi. Mereka menggali sesuatu yang indah, kemudian disajikan secara artistik dan kreatif,” kata Mikke.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengutarakan, kolaborasi antara Sujiwo Tejo dan Nasirun menunjukkan peran seniman dalam usaha-usaha memajukan kebaikan dan kepentingan bersama. Sejarah mencatat pentingnya sumbangan seniman untuk hal itu.
“Pada tahun 1938, sejumlah seniman mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Mereka menolak lukisan pemandangan serba indah ala pelukis-pelukis Mooi Indie yang suntuk melukis gunung, sawah, sungai, atau hamparan padi menguning,” kata Ilham.
Persagi menghendaki kegiatan melukis tidak semata mendorong aspek turistik. Kegiatan melukis akhirnya ditujukan untuk memotret kenyataan kehidupan masyarakat dan mendorong upaya-upaya perbaikan.
Inilah seni yang bersemangat demokrasi, seperti ditempuh Sujiwo Tejo dan Nasirun sekarang.