Teman Tanpa Wajah
Lukisan karya Muthia mengungkap teman imajinatifnya yang tanpa wajah itu. Rambut bagian depannya dilukis poni. Cuping telinga menyembul di antara rambut.
Seni lukis membuka jalan bagi banyak ketidakterdugaan yang dialami para penyandang disabilitas. Terutama bagi yang mengalami gangguan perkembangan saraf otak dengan beragam spektrumnya, karya seni rupa mengungkap ketakterdugaan itu.
Satu di antaranya, Muthia Kusuma Radjasa (27), dengan karunia “slow learner” yang melukiskan pengalaman mendapati teman imajinatifnya. Di sepanjang hidupnya, ia berteman dengan sosok wajah yang datar. Di wajah itu sama sekali tidak terlihat mata, hidung, atau mulutnya.
Hal ini dikisahkan Ocky Radjasa, ayah Muthia, usai mengikuti lokakarya seniman disabilitas untuk program Open Arms atau Lengan Terkembang. Jumat (25/8/2023), di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo, Bandung. Ocky menceritakan, sejak Muthia kecil hingga beranjak dewasa, ia sering memperbincangkan teman imajinatifnya itu.
“Sampai pada saat menunggu bus kota untuk pergi ke sekolah, Muthia juga pernah bercerita ia sedang menunggu teman imajinatifnya itu,” ujar Ocky.
Muthia, yang lahir di Semarang dan kini menetap di Jakarta, sejak kecil menekuni seni lukis. Ia berhasil menuntaskan studi di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada 2015. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta hingga lulus pada 2021.
Di kampus ini, Muthia membuat tugas akhir yang berkaitan dengan teman imajinatifnya. Tugas akhirnya diberi judul, ”Penciptaan Karya Lukis Berbasis Gaya Dekoratif Naif Bertemakan Teman Imajinatif”.
Ocky menunjukkan beberapa lukisan karya Muthia, termasuk lukisan teman imajinatifnya yang tanpa wajah itu. Rambut bagian depannya dilukis poni. Cuping telinga menyembul di antara rambut. Kancing baju hingga kerah tertutup rapat. Tidak ada mata, hidung, dan mulut. Wajahnya tampak datar.
“Pengalaman seperti itu serta wujud ekspresi karya seni lukisnya menjadi hal yang sangat menarik. Dari sisi kajian ilmiah kita membutuhkan lintas disiplin ilmu,” ujar Agung Hujatnikajennong, pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) dan kurator Open Arms.
Baca juga : Marwah Perempuan Perupa
Apa yang dialami Muthia bukanlah hal mistis. Penjelasan ilmiahnya bisa dijabarkan sebagai fenomena halusinasi visual yang juga kerap dialami penyandang gangguan skizofrenia.
Agung mencontohkan, film berbasis kisah nyata, A Beautiful Mind (2001), dengan gamblang mengisahkan perihal halusinasi seperti itu. Saluran untuk mengubah halusinasi menjadi sesuatu yang produktif itulah yang perlu dipikirkan.
Penguatan inklusivitas
Muthia adalah salah satu dari sembilan peserta individual dan satu peserta kolektif seni yang dipersiapkan untuk mengikuti pameran Open Arms pada 22 September 2023. Program ini diselenggarakan Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) untuk mendorong penguatan inklusivitas di bidang seni rupa di Indonesia.
Para peserta individu lainnya dengan beragam disabilitas meliputi Achmad Ilham Sadikin, Dwi Andini Ma'ruf, Faisal Rusdi, Karina Budiati Yuwono, Marsha Natama, Mahesa Damar Sakti, M Ihsan Nabil Budi, dan Patricia Saerang. Tab Space menjadi satu-satunya peserta kolektif seni.
Euis Rohaeti, ibu peserta Dwi Andini Ma'ruf (27), menceritakan, diagnosis mikrosefalus sempat memupuskan harapan. Ketika bayi, Euis pernah diberitahu salah satu dokter bahwa ia akan sulit membesarkan anaknya itu.
“Bahkan ada dokter yang menyampaikan anak saya akan sulit bertahan sampai usia sembilan bulan. Sekarang kenyataannya ia bisa terus bertahan, senang olahraga, dan melukis,” ujar Euis.
Mikrosefalus sebagai kondisi kelainan saraf otak yang mengalami keterlambatan pertumbuhan. Dini, sapaan Dwi Andini, mampu berkomunikasi meski dengan ucapan yang tidak begitu jelas. Fungsi organ matanya juga memiliki keterbatasan jarak pandang.
Lukisan Dini bercorak dekoratif naif. Euis Rohaeti sempat menunjukkan beberapa lukisan Dini yang disimpan di mobilnya berupa lukisan ikan serta hewan laut lainnya.
Rini Sunarini, ibu Mahesa Damar Sakti (14), mengungkapkan pengalaman ketika mendampingi Mahesa yang sangat aktif. Ia terlahir dengan spektrum autisme level 2 dan sangat menyukai naik bus dan kereta api.
“Belum lama ini saya ajak Mahesa ke Yogyakarta naik kereta api. Di stasiun Yogyakarta, Mahesa sempat hilang. Ternyata dia naik ke kereta lain ke arah Solo, untung saja saya bisa mengejar dan mengajaknya keluar dari kereta itu,” kata Rini.
Baca juga : Bersantai Dulu di Prambanan
Kemampuan interaksi sosial dan komunikasi Mahesa masih sedikit. Kemampuan mengucapkan kata-kata yang bermakna juga masih rendah. Selain itu ada ketidakmampuan membaca ekspresi dan emosi. Ia kesulitan pula menyesuaikan perilaku dengan berbagai macam konteks sosial.
“Lepas dari segala tantangan yang dialaminya, Mahesa tumbuh sebagai individu yang sangat aktif. Ia senang tertawa, selalu ingin tahu dan kadang jahil, senang memeluk dan dipeluk,” ujar Rini, yang membuka saluran minat Mahesa melukis dengan cetakan (printmaking).
Sejak tahun 2018, Mahesa menekuni seni cetak tersebut. Ternyata ini meredakan hipersensitivitas taktilnya.
Komunikatif
Selain itu, ada peserta lokakarya Open Arms Karina Budiati Yuwono (33) dengan karunia disabilitas tuli yang cukup komunikatif. Karina masih bisa sedikit mendengar. Selain memakai bahasa isyarat, ia lancar berkomunikasi secara tertulis lewat telepon genggam.
Karina menuntaskan kuliah di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 2008–2013. Ia pernah meraih Juara 1 (Gold) kompetisi Painting of The Year UOB 2021.
Usai mengikuti lokakarya Open Arms, Karina mengajak Kompas berbincang-bincang. Karina menunjukkan beberapa foto lukisannya yang bercorak realis itu. Karina sempat pula meminta nomor telepon genggam dan aktif berkomunikasi secara tertulis.
“Karina sebenarnya memiliki kemampuan melukis dengan berbagai macam corak mulai dari realis sampai abstrak,” ujar Agung Hujatnikajennong.
Dari beragam pengalaman dan kemampuan di bidang seni rupa dari para penyandang disabilitas inilah program Open Arms bertolak. Agung menengarai, selama dua puluh tahun terakhir kegiatan mengunjungi pameran, festival, dan biennale seni rupa telah menjadi bagian dari gaya hidup perkotaan yang makin populer di Indonesia.
Di situ masih dijumpai banyak ruang pameran seni rupa belum menjadi ruang edukasi inklusif. Kesempatan dan fasilitas bagi para penyandang disabilitas kurang optimal.
Selain itu, kelompok atau komunitas penyandang disabilitas mulai banyak terbentuk dan membuat pameran seni rupa. “Sebagian besar dari pameran mereka masih cenderung dilihat sebagai peristiwa yang berbeda, bahkan terpencil dari kegiatan dunia seni secara umum,” ujar Agung.
Secara keseluruhan, situasi saat ini menunjukkan bahwa kesadaran tentang inklusivitas di dunia seni masih harus didorong lebih kuat lagi. Jejaring kerja sama yang lebih luas di antara lembaga atau organisasi seni untuk mempromosikan inklusivitas juga harus dirintis.