Menggugah Kesementaraan lewat Kartun
Katanya bilang cinta, tapi, kok, selamat tinggal... Demikian paradoksal jenaka yang disodorkan delapan seniman dalam pameran kartun bertajuk ”I Love U Gudbai”.
Pameran kartun bertajuk ”I Love U Gudbai” menyajikan paradoksal lewat kemelekatan, kepekaan, hingga otokritik. Kartunis-kartunis yang memajang gambarnya melesapkan banyolan kontradiktif. Katanya bilang cinta, tapi, kok, selamat tinggal....
Lempar dan sambut umpan lelucon duet pengurus Institut Humor Indonesia Kini, Yasser Fikry dan Ulwan Fakhri, meramaikan Bentara Budaya Jakarta, Kamis (3/8/2023). Senda gurau jadi identik dengan ”I Love U Gudbai” yang digawangi delapan seniman.
”Mohon maaf, saya enggak pakai jas. Bukan enggak menghormati, tapi belum jadi,” ujar Yasser disambut undangan yang tergelak. Ia melanjutkan kelakar dengan kesulitan mencari busana yang pas lantaran posturnya berukuran plus. Bahan dari terpal Kopaja bekas sudah dicari, tetapi hasilnya nihil.
”Ada hubungannya sama tema malam ini. Kita diingatkan bahwa semuanya hanya kesementaraan. Termasuk, harapan dan apa pun yang melekat dalam diri,” ucap Ulwan. Kartunis-kartunis dengan keunikan gayanya mengajak pengunjung untuk melepaskan diri dari kecintaan akan harta, jabatan, hingga belahan jiwa.
Refleksi humor masih pekat dengan Penasihat Tembi Rumah Budaya M Nuranto dan Arya Ramaniya (42) yang beradu telapak tangan untuk membuka ”I Love U Gudbai”. Setiap tamu ditawari kertas gambar dan karya Arya yang apik menyabet tiket untuk mengikuti pelatihan berpikir kreatif bersama Yasser dan Ulwan.
Muhammad Herindra turut menyampaikan sambutan meski seraya tertawa, ia mengaku ditodong mendadak untuk menghadiri ”I Love U Gudbai”. Institusinya memang tergolong serius, tetapi Wakil Menteri Pertahanan itu ternyata lihai juga memancing tawa hadirin.
”Agak bingung disuruh ngomong kartun. Ada kartun tentang pertahanan, enggak? Nanti, saya koreksi,” katanya sambil terbahak. Selaras dengan aspirasi para kartunis dalam gambar-gambar, ia mengungkapkan kiasan soal kaya rayanya Indonesia dan anggaran pertahanan yang perlu ditingkatkan. Rumah mentereng sepatutnya juga diperkuat dengan pagar yang bagus.
Leher pegal
Sekelumit kemeriahan itu merepresentasikan ”I Love U Gudbai” yang diisi sekitar 50 kartun. Beberapa pengamat gambar bertajuk ”Seni Tinggi”, misalnya, tampak cengar-cengir mengecap keusilan Beng Rahadian. Pengajar di Institut Kesenian Jakarta itu ternyata memasang karyanya dengan ketinggian sekitar 3 meter. Spontan, kepala-kepala terpaksa mendongak.
Kartun tersebut mencantumkan cicak yang tak berkutik akibat dibekap selotip. Benak sejumlah audiens serta-merta melayang pada ulah seniman Italia, Maurizio Cattelan, yang memamerkan pisang diplakban saat Art Basel Miami, Amerika Serikat, tahun 2019.
Ia main tempel saja etiketnya dengan nilai 120.000 dollar atau sekitar Rp 1,7 miliar jika mengacu kurs pada saat itu, dan laku pula diboyong pasangan asal Miami, Billy dan Beatrice Cox. Beng memilin benang merah dengan mengolok-olok seni di menara gading. Karya yang diklaim tinggi, malahan ia gantung dengan posisi bikin leher pegal. Makna yang sungguh harfiah.
Giliran Ika W Burhan, penulis komik 101 Humor Backpacker Nekat dan ilustrator beberapa buku anak itu, mengetengahkan ”Hubungan”. Ia mengalasi karyanya yang tak konservatif bukan dengan kertas, melainkan cembungan sebesar wajan jumbo. Ayah, ibu, dan anak disematkan tengah asyik menatap ponsel.
Kesinkronan kreasi Ika dengan tema pamerannya terlihat paling gamblang lewat unggahan ”I Love U Goodbye” yang tertera pada layar gawai. Ia bermain-main dengan pars pro toto untuk mengajukan metafora lup guna meneropong individu yang memotret pembiasaan habitus global mengeksploitasi peranti mutakhir.
Ia menyentil homo sapiens modern, termasuk dirinya. Peraih Top 10 Kompetisi Nasional Kartoon 2009 Bali itu diketahui aktif mengakses Tiktok, Whatsapp, dan Instagram. Betapa dunia kekinian sukar lepas dari media sosial, termasuk apatisme yang berangsur menyusupi relasi suami istri, muda mudi, hingga orangtua dan anak. Distraksi teknologi telah menyeruakkan kekerabatan semu.
Baca juga: Memeluk Hegemoni NFT
Sementara M Syaifuddin Ifoed mengekspresikan keresahan untuk menjewer aparat-aparat nakal. Pejabat berseragam khaki, umpamanya, diketengahkan sedang memeras rakyat bak sapi perahan saja. Bedanya, bukan susu yang menyembur, tetapi lembaran-lembaran rupiah.
Serupa tapi tak sama, Supriyanto mempersembahkan ”Rombongan Orang Suci” dengan pria-pria yang berunjuk rasa. Mereka mengepalkan tangan, berderet dengan rapi, dan menggenggam pelantang. Selintas, barisan berbaju religius putih itu meneduhkan, tetapi karena nila setitik rusak susu sebelanga. Seraut wajah merah yang menoleh dengan garang menodai kedamaian.
Lebih introspeksi
Di sisi lain, sejumlah kartun mengusung gegar budaya karena perpindahan ibu kota negara. Thomdean, contohnya, memampangkan bekantan, macan tutul, orangutan, dan beruang yang siap bertolak dari hutannya. Mereka memanggul buntalan yang diikat dengan pikulan.
Partisipan-partisipan lain, M Najib, Cahyo Heryunanto, dan M Nasir, tak kalah kritis. Geliat kefanaan, ironi, sarkastis, kegelisahan, perpisahan, kegalauan, tetapi juga kejenakaan dengan konkret melebur untuk bermuara menuju tema pameran.
”Selama ini, kartun diasosiasikan membawa gugatan sosial. Entah menegur penguasa atau punya kontribusi sosial terhadap masyarakat,” ujar Beng. Setelah berdiskusi, ia dan teman-teman memilih untuk lebih introspeksi. Mereka menggugah diri sendiri sekaligus melepas keterikatan.
”Bagaimana menghadapi ketiadaan atau kehilangan? Yang tadinya biasa jadi enggak ada. Cari saja di sekitar, apa yang bikin kita terikat sesuatu,” ujarnya. Semula, Beng dan rekan-rekannya hendak membidik Ibu Kota Nusantara, tetapi perspektifnya kemudian diperluas.
Ika pun menginterpretasikan pamerannya dengan cinta yang berlebihan, tak hanya kepada seseorang, tetapi juga kedudukan, dan kekayaan. ”Setelah hilang, susah move on (melanjutkan hidup). Semua hanya sementara. Apa pun yang hilang, lepaskan. Jangan disesali,” ujarnya.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri yang menyampaikan pengantar ”I Love U Gudbai” menekankan begitu mudahnya kehidupan berubah. Ia mengutip ujaran dari Arab untuk mencintai dan membenci sewajarnya. Suatu hari, mereka yang sangat dikasihi bisa saja dimusuhi atau sebaliknya. ”Kalau kita kehilangan juga jangan terlalu bersedih. Siapa tahu, besok-besok kembali dalam bentuk lain,” ucapnya.
Nyawa pameran yang berlangsung hingga 12 Agustus 2023 itu serasi pula dengan nyanyian diva internasional, Celine Dion, ”I Love You, Goodbye”. Simak saja lirik yang mengisahkan insan kasmaran, tapi bubar juga dengan pasangannya. I'm not the one you’re needin’/I love you, goodbye.