Racikan Jamu-jamu Kontekstual
Syska La Veggie berkali-kali bereksperimen untuk menentukan ramuannya yang paling pas. Seniman visual itu bahkan sampai luka-luka karena jarinya terkena silet.
Pergulatan perempuan untuk menyintasi bermacam krisis diwahanakan dengan kedai mungil bertajuk ”Jamu Ngatiyem”. Syska La Veggie mengekspresikan karyanya lewat seri pameran perdana GoetheHaus Foyer. Seniman asal Sidoarjo, Jawa Timur, itu menyuguhkan kreasi yang bisa dicecap, bahkan menyehatkan.
Syska tak henti-hentinya mengiris jeruk nipis, membuka bungkus, menuangkan isi kemasan, dan menuangkan air panas. Ia menambahkan sejumput garam dengan sendok teh agar minumannya sedikit gurih dan tak amis. Gelas berdenting selaras sendok yang mengaduk jamu.
”Aku mau Pegal Insecure,” ujar pengunjung yang disambut Syska dengan meraih bungkusan di belakangnya, Selasa (1/8/2023). Mereka lantas mengobrol dengan akrab soal pekerjaan, domisili, dan tukang jamu yang masih berkeliling meski sudah semakin jarang ditemui.
”Aku lagi mens, nih. Apa, ya, yang cocok,” kata perempuan lain yang ditanggapi Syska dengan menawarkan jamu mengandung kunyit. Setelah menimang-nimang beberapa boks, ia membulatkan pilihannya dengan mencicipi Sehat Normal Baru. Nama-nama yang dilafalkan memang tak keliru.
Di boks-boks juga tercantum Tuntas Patriarki, Resik Hoax, Galian Demokrasi, Anti Korupsi, dan Tolak Rasisme. Buah kreativitas Syska itu dijembarkan dengan karya partisipatif yang bisa dinikmati di Goethe-Institut Jakarta hingga 27 Agustus 2023.
Semilir angin yang mengayun-ayun pepohonan di pengujung petang itu menambah nikmat setiap sesapan. Hingga hampir 2,5 jam seusai depot tersebut dibuka pada pukul 16.30, antrean masih saja mengular untuk melihat karya instalasi dengan tinggi 2 meter dan lebar 1 meter.
Sebuah seni instalasi yang hidup lantaran Syska menjadi bagiannya. Ia berinteraksi dengan pengunjung dengan kostum hazmat, berikut masker, pelindung wajah, dan sarung tangan. ”Namanya kerja, ya, pegal, tapi kalau senang tentu enggak terasa,” ucap lulusan Jurusan Seni Rupa Murni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya itu sembari tersenyum.
Menjadi pelarian
Dilabur kuning, hijau, abu-abu, dan putih, lapak serupa kontainer itu dipasangi spanduk kecil bertuliskan ”Jamu Ngatiyem”. Ia membubuhkan pula slogannya, ”Jamu Segala Gender dan Masa”.
Jelas, ditilik sampai pernak-perniknya, Syska hendak berakrobat dengan aneka persoalan kontekstual.
Ia bertolak dari kenangannya saat krisis moneter menghantam disusul Reformasi tahun 1998. Ngatiyem, demikian nama ibunya yang diadaptasi Syska, berjualan jamu setelah sang suami terempas pemutusan hubungan kerja (PHK) dari usaha penyewaan tenda di Surabaya, Jatim.
Syska yang saat itu masih duduk di kelas IV SD mengamati banyaknya warga kelas menengah bawah yang menjerit. Proletariat yang jatuh sakit hanya bisa merintih lantaran tak sanggup menggapai obat dengan harga yang membubung tinggi. Jamu menjadi pelarian karena sangat terjangkau harganya.
Kemelut multidimensi yang mengendap dalam benak Syska kembali memuncak saat Covid-19 menggila. Ia meracik kepingan-kepingan memorinya dengan varian jamu konvensional, antara lain galian singset, tolak angin, sehat pria atau wanita, dan pegal linu.
Ramuan-ramuan itu kemudian menjelma metafora. Mereka yang tengah haid, umpamanya, ditawari Tuntas Patriarki. Tuntas memang sudah dikenal melesap dalam metonimia untuk perempuan yang didera nyeri rutinnya. Sesuai jamunya, Syska turut merapal doa agar konsumen terbebas dari hegemoni jender.
Baca juga : Memeluk Hegemoni NFT
Demikian pula Pegal Insecure untuk tamu-tamu yang terbebani gaya hidup metropolitan. Selain badan kaku gara-gara melaju saban hari, gaya hidup masyarakat modern rawan memicu kecemasan alias insecure. Resik Hoax juga cocok untuk menghadapi tahun politik yang riskan dengan berita bohong.
Frasa-frasa bak mantra diselipkan yang mengusung penyembuhan, tak hanya fisik, tetapi juga mental. Orangtua Syska tumbuh dengan sistem ibuisme negara yang patriarki, sementara anaknya besar pada era pasca-Reformasi secara resisten dan meyakini feminisme.
Ngatiyem, jebolan Orde Baru, berkorelasi dengan generasi Syska yang morat-marit meniti pandemi, tetapi pusarannya tetap sama atau krisis. Representasi generasi berbeda menganyam kompleksitas yang tak urung menempatkan perempuan, termasuk keluwesannya bertahan untuk menyongsong prahara.
Syska, orangtua tunggal dengan satu anak perempuan, sama-sama menopang ekonomi keluarga selain menyaksikan saratnya kekerasan terhadap kaum hawa, pengangguran, hingga perceraian akibat pagebluk. Para ibu pun kerap menanggung beban ganda.
Sampai luka
”Isu-isu yang kupilih terkait reformasi dan Covid-19. Sama-sama berat,” kata Syska seraya melepas lelah di sela melayani peminat jamunya. Seniman visual itu mengenakan alat pelindung diri (APD) yang tak bisa dimungkiri menerbitkan keresahan selama hampir tiga tahun terakhir.
”Waktu puncaknya, tiap hari dengar sirene yang meneror. Sangat memorable (membekas). Aku pakai APD karena menyimbolkan pandemi, sekaligus ingin merasakan gerah,” ucap Syska sembari tersenyum.
Pilah-pilih komposisi herbal paling pas dituntaskan Syska dengan riset hingga 1,5 bulan dilanjutkan produksi sekitar tiga pekan. ”Banyak banget trial and error (salah dan coba lagi) sampai luka-luka. Jariku kesilet soalnya bungkus jamu didesain, dipotong, dan dilipat sendiri,” ucapnya.
Saat pembukaan saja, ia memboyong hingga 1.750 bungkus. Kecuali Senin, minuman itu bisa dinikmati pada pukul 12.00-20.00.
Ngatiyem ikut menyapa undangan dengan kehadiran virtualnya bermediakan televisi. Ia, misalnya, menyebutkan tukang becak yang sangat kecapekan hingga memesan jamu dengan 10 telur. Isu ninja juga pernah merebak di Jatim, sampai-sampai banyak peronda yang terjaga dan mengonsumsi suplemen serupa.
”Aku pengin menyajikan karya menyenangkan yang dinikmati. Audiens enggak nyangka jamu dijadikan seni, malah bisa diminum sambil ngobrol,” ucap Syska Liana, nama aslinya.
Baca juga: ”AH”, Potret Kondisi Dokter di Daerah
Peragaan itu berawal dari panggilan terbuka atau open call pada Mei 2023 dengan 70 seniman yang mendaftar.
Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien Ingo Schöningh tak mau ketinggalan untuk mengantre. Ia ternyata doyan jamu juga. ”Saya penggemar berat. Suka banget yang pakai jahe, tapi perut saya baik-baik saja. Saya sudah tinggal di Asia lebih dari 20 tahun,” ujarnya.
Schöningh memilih Tolak Rasisme dengan mempertimbangkan problem tersebut yang masih marak. Diselingi menghirup minumannya, ia mengungkapkan gagasan Syska yang relevan tentang Indonesia yang bisa menyadarkan generasi muda akan pentingnya jamu dengan kemasan seni.
”Saya dari Yogyakarta, pekan lalu. Waktu malam, saya minum jamu. Teman-teman saya dari luar Indonesia juga enggak ada masalah,” katanya.
Tren itu bahkan sudah merambah hotel-hotel papan atas yang menyajikan jamu untuk minuman kesehatan, menyambut kedatangan tamu, atau dihidangkan saat sarapan.