Pentas ”Bambang Merah Bambang Putih” Memaklumi Komedi
Pentas lawak di gedung pertunjukan sudah semakin langka. Pertunjukan ”Komedi Total: Bambang Merah Bambang Putih” mengumpulkan komedian dalam satu panggung. Tak semua lawakan sesuai zaman.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Definisi komedi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun kadang-kadang bersifat menyindir dan berakhir bahagia. Definisi itu terjawab di pentas Komedi Total: Bambang Merah, Bambang Putih di gedung Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (21/7/2023). Bintang lawak, tua dan muda, kumpul satu panggung.
Lakon yang naskahnya ditulis Ade Bareto ini mengadaptasi dongeng Bawang Merah, Bawang Putih, hanya dipelesetkan menjadi Bambang. Tak jelas alasannya kenapa yang dipilih nama Bambang, bukannya Hendro, Gunawan, atau Marsellinus barangkali. Namanya juga komedi.
Pertunjukan lawak ini digelar oleh Persatuan Seniman Komedi Indonesia (Paski) dan dikelola Kolam Ikan Creative Communication. Penyelenggara mempertemukan nama-nama beken di panggung lawak, lintas generasi. Sebut saja pelawak dari era grup Srimulat seperti Tarsan, Tessy, Kadir, dan Polo; lalu Eko dan Parto dari grup Patrio, Deddy ”Miing” Gumelar dari Bagito, sampai generasi pelawak tunggal (stand-up comedy) seperti Cak Lontong, Akbar Kobar, Indra Jegel, Marshel Widianto, Adjis Doaibu, dan Dicky Difie.
Belum lagi pelawak-pelawak yang besar di era komedi situasi televisi seperti Opie Kumis, Abdel Achrian, Derry 4 Sekawan, Denny Cagur, Ummy Quary, Boiyen, Jarwo Kwat, sampai Komeng. Mereka adalah pelempar guyonan, bukan pemberi umpan. Di pentas berdurasi sepanjang sekitar 120 menit ini, para spiker ini seperti berebut bola, mencari lucu. Terbayanglah bagaimana riuhnya.
Penonton yang tak terlalu banyak itu telah menduduki kursinya masing-masing sesuai kelas dan nomor. Pukul 19.30, pertunjukan dimulai dengan empat penari mengibar-ngibarkan kain, dan latar dekorasi panggung menunjukkan warna merah dan putih. Bisa jadi itu mewakili bendera Indonesia sekaligus judul lakonnya. Namun, sepertinya tarian itu tak terikat dengan jalinan cerita.
Abdel Achrian pertama kali naik panggung bersama Daus Mini. Peran Abdel sebagai pembaca tata tertib pertunjukan, sementara Daus pembawa jadi ajudannya. Salah satu aturan yang ia bacakan adalah penonton dilarang menyalakan ponsel sepanjang pertunjukan. ”Apalagi sambil main judi slot,” katanya. Tawa pecah.
Candaan (bit) itu memenuhi unsur sindiran dalam definisi komedi. Sebab, beberapa hari terakhir marak pemberitaan tentang anggota legislatif yang tertangkap kamera bermain judi slot daring ketika sidang sedang berlangsung. Abdel, yang bintang televisi komedi situasi Abdel & Temon itu, juga menyindir tari-tarian pembuka acara. ”Pada ngapain sih lu tadi? Ngos-ngosan, kan? Udah, nunggu di sono aja, dah,” katanya. Empat penari laki-laki itu ngeloyor ke balik panggung. Tawa lagi.
Premis lakon Bambang Merah Bambang Putih ini sebenarnya sederhana, tak perlu 120 menit menuntaskannya. Alkisah, Raja (Jarwo Kwat) hendak menikahkan putrinya yang tak kunjung dapat jodoh. Maka, Sang Raja menggelar sayembara mencari mantu. Dia mengutus Komeng dan Cak Lontong untuk mencari peserta sayembara.
Sebelumnya, pasangan yang diperankan Boiyen dan Adjis Doaibu punya dua anak bernama Bambang Merah (Indra Jegel) dan Bambang Putih (Dicky Difie) yang kemayu. Mereka mengaku sebagai keluarga kreator konten, meski sampai bubar, tak jelas konten apa yang mereka bikin.
Menertawakan kegetiran
Kelucuan-kelucuan muncul di pencarian kandidat ini. Misalnya, Komeng dan Cak Lontong bertemu sekelompok pemuda—yang enggak muda—sedang bercengkerama di warung angkringan milik Opie Kumis. Adegan ini dikuasai pentolan Srimulat seperti Kadir, Polo, Tessy, Tarsan, juga Parto.
Cak Lontong membacakan prasyarat sayembara. Tessy gugur karena dianggap pernah minum karbol—kejadian di kehidupan nyata. Polo gugur karena lebih dari dua kali ditangkap polisi—juga kejadian nyata. Parto pun begitu karena pernah menembakkan pistol ke atas. Penonton, juga pelawaknya, menertawakan kegetiran hidup sesama mereka. Komedi kali ini bernuansa tragis.
Di babak akhir, Bambang Merah dan Bambang Putih yang terpilih mengikuti sayembara. Tesnya adalah mengisi teka-teki silang ngawur ala Cak Lontong. Tak ada yang menang. Tahu-tahu muncul Bopak Costello yang semerta-merta dipilih jadi pemenang. Kemenangan Bopak dianggap lucu karena dia justru dinikahkan dengan kembaran Sang Putri yang ukuran badannya lebih besar.
Gurauan bernuansa meledek tubuh (body shaming) ini ternyata masih terjadi. Dulu mungkin lucu banget. Tapi kini, ketika kesadaran bahwa tubuh adalah urusan pribadi, semestinya body shaming tak jadi olok-olok lagi. Ya, zamannya memang telah berganti. Lawakan pun mengikuti.
Beberapa lawakan memang terkesan usang. Mereka mengakuinya. Contohnya ketika Tessy mencak-mencak menyuruh pergi semua yang ada di panggung, lalu dia berseloroh, ”Terus yang main siapa?” Respons penonton sepi saja. Polo, yang nongol lagi menimpali, ”Tes, (guyonan) kayak gitu dulu lucu, sekarang udah enggak.” Baru penonton tertawa.
Bagaimanapun, pentas lawak di gedung pertunjukan sudah menjadi barang langka. Pelawak berpanggung di kanal digital; sendiri-sendiri atau berkelompok. Andai pertunjukan semacam ini lebih sering, bukan tak mungkin pelawak makin peka mengikuti perubahan selera humor penonton. Guyonan bernuansa obyektifikasi ataupun body shaming berganti dengan hal segar. Lawakan soal es buah, misalnya. He-he-he....