Musik dan seni budaya acap kali jadi solusi. Harmoni dalam tiap nada walau berbeda genre nyatanya tetap aman dan dan nyaman masuk ke telinga.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Kabut kian turun. Penampilan demi penampilan makin rancak. Penonton juga kian memadati lokasi pertunjukan. Udara dingin di kaki Bromo menghangat seiring tiap kolaborasi yang rukun dari lintas genre melebur dalam alunan jazz.
”Wes nanti habis ini ada Ardhito Pranowo eh sopo? Halaaah kok ke sana terus seh! Ardhito Pramono Anung? Ooh Ardhito Pramono. Iyo ono kui (Iya ada itu),” celoteh penyanyi rock Indonesia, Atiek CB, ketika tampil bersama Blue Fire Project Bintang Indrianto yang disambut gelak tawa penonton.
Awalnya, aksi ceplas-ceplosnya di tiap jeda lagu ketika salah menyebut nama belakang founder Jazz Gunung, Sigit Pramono menjadi Sigit Pranowo kurang mendapat sambutan. ”Kok ora ono sik ngguyu seh (Kok enggak ada yang tertawa, sih)? Wedi yo (Takut ya)? Pancen riskan kok saiki ki. Mending ora ngerti wae ya,” sambungnya dibalas tawa penonton akhirnya.
Ocehannya nyerempet memang dengan agenda besar negara pada 2024, yaitu pemilihan umum. Namun, alih-alih berkoalisi menyusun harmoni, para calon peserta yang berambisi terpilih sebagai pemimpin malah sibuk saling jegal sana-sini.
Beda dengan aliansi Blue Fire Project yang diinisiasi basis Bintang Indrianto dan selalu memanaskan Jazz Gunung Bromo tiap tahunnya. Blue Fire Project dengan landasan jazz dipadukan musik tradisi Banyuwangi dan tahun ini dikombinasikan juga dengan nuansa rock milik Atiek.
Meski berubah aransemen, para musisi lintas genre ini tetap mampu menebar kehangatan membawakan hits milik Atiek dari ”Optimis”, ”Cemburu”, ”Maafkan”, ”Kau Di Mana”, ”Dia”, dan ditutup dengan ”Terserah Boy”. Suasana ini pun sesuai dengan tema acara tahun ini yaitu, ”Jazz Sejukkan Indonesia”. Rasanya memang benar.
Indonesia yang beragam hanya butuh untuk makin rekat dan bersatu, bukan? Setelah pandemi, masyarakat hanya ingin hidup aman, nyaman, dan baik-baik saja. Musik dan seni budaya acap kali jadi solusi. Harmoni dalam tiap nada walau berbeda genre nyatanya tetap aman dan dan nyaman masuk ke telinga. Tanpa ada rebutan atau saling mendahului dalam koalisi.
Perpaduan jazz dan musik tradisi atau etnojazz ini langgeng hingga 15 tahun penyelenggaraannya. Bahkan, tak hanya didatangi oma opa atau papa mama. Para remaja kinyis-kinyis dengan gaya nyentrik berbalut jaket musim dingin atau mantel bulu bergaya dipadu topi beanie (kupluk) dan sepatu warna-warni kini tak ketinggalan.
Terbukti lengkingan memanggil nama Ardhito mulai bersahutan di antara penonton usai penampilan Atiek CB. Dengan kalem, Ardhito menutup malam pertama Jazz Gunung. Sejumlah hits dari beberapa albumnya mengalun indah, dibuka dengan bebunyian musik tradisi dari ”Bila”, ”Fake Optics”, ”Fine Today”, ”Sudah”, ”Waking Up Together”, ”Kata Hatiku” berduet dengan Margie Segers, hingga ”Wijayakusuma”.
”Ada yang pernah ngerasa pengin banget putus karena toxic relationship?” kata Ardhito yang diiiyakan lirih oleh suara para penonton perempuan sebelum membawakan lagu ”I Just” yang dinyanyikannya dalam film Story of Kale: When Someone’s in Love (2020).
Selain dua penampil ini, musisi lain telah mulai menyapa jemaah Al Jazziyah, sapaan akrab para penonton setia Jazz Gunung Bromo, sejak sore. Dari Salma, anak muda asal Probolinggo yang merupakan pemenang Indonesian Idol, kelompok musik Deredia, Mus Mujiono bersama Sweetswingnoff, dan kelompok jazz asal Belanda Henk Kraaijeveld Quintet.
Jika Ardhito berbicara toxic relationship, Deredia yang juga digawangi anak muda menyinggung sebagian yang dialami generasi Z dan milenial yang terjebak dalam lingkungan kerja beracun dengan atasan yang selalu merasa benar. Lagu ”Sir, Yes Sir” dinyanyikan penuh emosi.
”Buat yang sebel sama kantornya? Kerjaan banyak, gaji enggak naik, atasan ngerasabener padahal enggak jelas. Sekarang waktunya speak up, tetapi hati-hati dipecat,” celetuk Louise, vokalis Deredia yang akrab menyambangi penonton dan mengajak sebagian ke panggung untuk membantunya menyanyi lagu lain seperti ”Bala-bala” dan ”Lagu Dansa”.
Di hari kedua, suasana kian ramai seiring habisnya lebih dari 2.000 tiket yang disediakan. Kolaborasi pun makin panas karena Ring of Fire Project yang juga hanya ada di Jazz Gunung Bromo kini menggandeng Denny Caknan. ”Biasane ki tak kenal maka tak sayang. Wes sayang njuk ditinggal. Bar ditinggal njuk ngirim undangan (Sudah sayang terus ditinggal. Setelah ditinggal terus kirim undangan),” ungkap Denny yang diikuti tawa penonton sesuai menyanyikan ”Andhung-andhung”.
Setelah itu, ”Kartonyono Medhot Janji” mengundang sekelompok laki-laki yang hadir bersama rekan-rekannya menyanyi dengan segenap jiwa di tengah dingin Bromo. Puncaknya ditutup dengan lagu ”Los Dol” yang membuat para penonton spontan berdiri berjoget. Jazz, tradisi, dan koplo. Pecah.
Selain Denny, sebelumnya ada Margie Segers dan Ermi Kullit berkolaborasi dengan pianis muda Yongkeys. Ada juga Varnasvara dengan gitaris muda Daniel Dyonisius.
Kali ini, kolaborasi juga dilakukan dengan musisi luar negeri. Di hari kedua menjadi puncaknya seperti Jeremy Ternoy Trio dari Prancis, Second Brain dari London bersama pemain saksofon Ricad Hutapea.
Ada juga Henk Kraaijeveld Quintet dari Belanda yang mengejutkan dengan lagu ”Tersiksa Lagi” milik Utha Likumahuwa. Selain itu, mereka juga membuat lagu bertajuk ”Saidjah’s Song” terinspirasi dari karya Multatuli novel Max Havelaar.
”Ini merupakan contoh. Musik bisa ke mana saja dan menyatu dengan apa saja tanpa batas,” ujar Sigit.
Ya, hidup hanya sekali untuk apa menyiksa diri dengan terpecah karena ambisi kan. Yang sejuk-sejuk sajalah.
Malam kedua ini makin mengeratkan para pasangan dan sahabat. Yura Yunita menutup acara dan menenangkan suasana sebelum para penonton beranjak pulang dengan lagu-lagu yang menguatkan tentang penerimaan diri.
Bahkan, di tengah penonton dan sejumlah penampil yang fasih berbahasa Jawa. Yura tetap membawakan lagu andalan bertajuk ”Bandung” yang penuh berbahasa Sunda dan hampir semua penonton lancar bernyanyi bersama. Ah hangat memang.