Eksplorasi Emosi dan Rasa ”Bambie Zero”
Manakah yang seharusnya lebih berdampak pada penonton di panggung pertunjukan, emosi atau pikiran mereka?
Hanya karena masa lalu menyentuh Anda, bukan berarti harus selalu melihat ke belakang. Demikianlah satu dari sekian banyak perenungan yang dihadirkan dalam pementasan teater pantomim asal Belanda, Bambie Zero, yang dibawakan sambil bermain-main dengan imajinasi, penuh ledakan emosi, sambil tetap guyon waton.
Bambie Zero dibawakan oleh duo aktor sekaligus pendiri kelompok teater Bambie, Jochem Stavenuiter dan Paul van der Laan. Dagelan slapstick fisik dan filosofis tentang kesedihan dan keindahan dari kegagalan ini ditampilkan di Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu (8/7/2023) malam.
Cerita Bambie Zero dibuka dengan pertemuan Jochem dan Paul yang memainkan karakter mereka sendiri. Pertemuan itu membawa kedua pemeran untuk mengeksplorasi dunia dan alam semesta yang penuh tanda tanya.
Melalui gerak tubuh dan ekspresi meyakinkan, Jochem dan Paul saling merespons, bertanya, menjawab, menginspirasi, dan terinspirasi. Proses dua arah ini memungkinkan penonton tersentuh oleh bahasa teater yang absurd dan universal, sekaligus melihat kembali kehidupan mereka.
Dalam salah satu adegan, Jochem berjalan dengan kepala menoleh ke belakang. Hal ini membuat langkahnya jadi menyerong. Ia mengulangi gerakan itu ke sudut panggung berbeda. Penonton tersenyum melihat tingkahnya.
Saat melangkah, Jochem membayangkan ada sekelompok orang memperhatikan setiap gerak-geriknya. Karena sibuk memikirkan pendapat orang lain, yang digambarkan dengan cara menoleh ke belakang, langkahnya jadi tidak beraturan.
”Padahal, kenyataannya orang-orang di belakang saya sibuk dengan dunianya, mereka tidak memperhatikan, untuk apa saya menghabiskan energi buat mereka?” katanya, mengajak penonton memikirkan adegan ini.
Cerita yang diangkat dalam pementasan ini terinspirasi dari novel Bouvard & Pécuchet karya Gustave Flaubert. Novel yang diterbitkan pada 1881 itu bercerita tentang dua juru tulis Paris, François Denys Bartholomée Bouvard dan Juste Romain Cyrille Pécuchet.
Pada suatu hari yang terik di tepi kanal Saint-Martin, kedua orang ini bertemu. Secara instan, mereka menjadi dekat dan bersahabat.
Suatu hari, keduanya memutuskan pindah dari daerah perkotaan untuk tinggal di perdesaan. Di tempat yang baru, kedua pria ini memulai pencarian mereka akan makna hidup. Mereka mencoba berbagai jenis pekerjaan dan melakukan berbagai proyek yang terpikirkan. Hampir semua usaha itu berakhir dengan kegagalan.
Meski terinspirasi dari novel, bukan berarti Jochem dan Paul mengambil cerita, plot, dan dialog dari buku, lalu mengubahnya menjadi bentuk pertunjukan seperti yang dilakukan dalam pementasan teater Shakespeare di Globe Theater ataupun pementasan teater modern seperti Life of Pi atau To Kill a Mockingbird.
Jochem menjelaskan, novel dan beberapa sumber referensi lain, termasuk lukisan hitam karya Malevich, adalah pijakan dalam menciptakan karya. Dari referensi yang ada, ia berusaha memahami apa yang hendak disampaikan pengarang dan bagaimana karya itu terhubung dengan pengalaman hidupnya.
”Dari situ kemudian lahirlah karya baru yang kami tampilkan malam ini,” kata pria yang bersama Paul sudah 25 tahun berkiprah di panggung teater bersama kelompok Bambie itu.
Baca juga: Komedi dan Tragedi Film Eropa Masa Kini
Selain berasal dari sumber referensi berupa bacaan dan lukisan, cerita juga dibangun dari pengalaman kedua aktornya. Dalam salah satu babak pertunjukan, misalnya, Jochem mendiskusikan bagaimana ia terjebak dalam masa lalu. Hal itu membuatnya kesulitan untuk menikmati perjalanan dan menatap ke depan.
Paul juga mengeksplorasi pengalaman halusinasi menjadi potongan adegan pementasan. Di atas panggung, ia menenggak air putih yang dituangkan ke gelas seloki. Ia membayangkan minuman itu sebagai cairan yang membuatnya tak sadarkan diri. Pria itu kemudian mulai berhalusinasi.
Paul memainkan ekspresi wajah murung, sedih, marah, bingung, kadang menangis, kadang tertawa. Ia juga mengeluarkan gerakan-gerakan di luar nalar yang memancing tawa. Apa yang ditampilkan Paul merupakan contoh cerminan jiwa manusia yang kadang kesulitan membedakan mana yang nyata, mana yang hanyalah khayalan belaka.
Dalam adegan lain, Jochem dan Paul berada di sebuah pulau tidak berpenghuni. Di tempat ini mereka merasakan kesepian yang teramat sangat sekaligus mengeksplorasi imajinasi yang membuat keduanya bertahan.
Berbeda dengan pementasan teater pada umumnya, pertunjukan Bambie Zero tidak didukung oleh repertoar atau daftar rencana sandiwara yang umumnya disiapkan dalam pementasan teater dan opera. Jochem dan Paul membangun ekspresi sesuai apa yang mereka rasakan sehingga setiap pertunjukan menjadi unik.
Jochem dan Paul membangun ekspresi sesuai apa yang mereka rasakan sehingga setiap pertunjukan menjadi unik.
Sardor Mannonov dalam artikel yang dipublikasikan oleh European Journal of Research Development and Sustainability (2021) menuliskan, ada tiga hal penting yang perlu ada agar pementasan teater pantomim dapat diterima oleh penonton. Ketiga hal itu adalah punya tujuan atau ide cerita yang jelas, karakter, dan ekspresi.
Dari ketiga hal ini, karakter dan ekspresi memainkan peran penting dalam pementasan Bambie Zero. Adegan Paul memandang lukisan hitam yang menggambarkan dirinya, misalnya meninggalkan kesan.
Dalam adegan itu, Paul memandang lukisan yang sepenuhnya berwarna hitam. Dalam lukisan yang sepenuhnya gelap itu, ia membayangkan potret dirinya sendiri dan menjadi tersentuh karenanya. Sambil memandang lukisan itu, ia menunjukkan beragam emosi. Adegan ini dibuat untuk mengungkapkan kumulasi batin Paul.
Baca juga: Sintesis Tari Klasik dan Modern
Minim kata
Selama ini, pantomim identik sebagai seni menggunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah daripada kata-kata. Hal ini tak lepas dari sejarahnya ketika kelompok pertunjukan asal Inggris menjelajahi Benua Eropa pada abad ke-16.
Tanpa harus mempelajari bahasa lokal dan banyak elemen drama, para pemeran dapat merebut perhatian penonton. Sejak saat itu, berkembanglah pantomim yang terkait erat dengan kemampuan komunikasi melampaui batasan bahasa atau kelas.
Meskipun minim kata-kata, bukan berarti Jochem dan Paul menihilkan teks yang diucapkan untuk berkomunikasi. Mereka mengeksplorasi gerakan badan dan ekspresi sambil tetap memasukkan teks untuk mengomunikasikan gagasan.
Meskipun minim kata-kata, bukan berarti Jochem dan Paul menihilkan teks yang diucapkan untuk berkomunikasi.
Apa yang dilakukan Jochem dan Paul seiring perkembangan pantomim yang kini digabungkan dalam berbagai bentuk pertunjukan, mulai dari teater hingga breakdance. Dengan menggunakan gerak dan ekspresi wajah yang mumpuni, kedua aktor tampil memikat tanpa harus menggunakan bedak putih pada seluruh wajah.
Tak hanya memikat, mereka juga berhasil membawakan pementasan yang absurd, sentimental, jenaka, dan meninggalkan kesan permenungan sekaligus. Suatu hari, penulis naskah dan penerima Hadiah Pulitzer untuk Drama pada tahun 1930, Marc Connelly, mengajukan pertanyaan: manakah yang seharusnya lebih berdampak pada penonton di panggung pertunjukan, emosi atau pikiran mereka?
Menurut dia, di teater, emosi memiliki efek lebih kuat daripada logika karena teater dirancang untuk membuat penonton merasakan. Demikianlah, Bambie Zero berusaha mengajak penonton merasakan situasi batin pemeran yang beresonansi pada pengalaman setiap individu.