Prabu Perdana Menginovasi Lukisan Pemandangan
Prabu Perdana menginovasi lukisan pemandangan.
Jamaknya lukisan pemandangan itu mengejar kesamaan dengan citra retinal. Prabu Perdana (39) menjadi salah satu perupa yang berusaha menginovasi lukisan pemandangan dengan menambahkan warna rasa serta bumbu apokaliptik disertai harapan kebangkitan kehidupan yang baru.
Seperti pemandangan kawah Gunung Tangkubanparahu. Di bidang lukisan bagian atas Prabu melukis tebing-tebing curam dengan warna terang untuk mengiaskan pergerakan tanah seakan belum lama terjadi. Bahkan, kemungkinannya masih akan terus terjadi.
Panorama kawah gunung Tangkubanparahu tidak sekadar menawarkan keindahan. Tebing-tebing di dekat pusat kawah terendah menawarkan warna rasa yang mencekam. Walaupun demikian, di bidang lukisan bagian bawah Prabu melukiskan suatu permukaan tanah yang mungkin berjarak cukup jauh dari pusat kawah mulai diwarnai kehidupan tetumbuhan yang bersemi.
Prabu menghadirkan pendulum rasa. Di satu sisi Prabu membentangkan gerak tanah tebing kawah yang mencekam. Di sisi lain ada tawaran kehidupan setelahnya, setelah tanah bergerak ke bawah akan membentuk permukaan tanah yang datar dan stabil. Di situlah muncul harapan akan kebangkitan kehidupan yang baru.
Lukisan panorama kawah Gunung Tangkubanparahu karya Prabu ini diberi judul ”In Another Land” atau ”Di Atas Tanah yang Lain” (2023). Prabu menggunakan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 cm kali 100 cm.
Prabu menampilkan judul lukisan ini sekaligus untuk tajuk pameran tunggalnya di Galeri Artsphere, Jakarta. Sebanyak12 lukisan Prabu dipamerkan dari 17 Juni hingga 17 Juli 2023.
Di Atas Tanah yang Lain menggambarkan situasi dua kutub berbeda. Prabu mengetengahkan situasi apokaliptik atau bayangan kehancuran di masa lalu atau masa yang akan datang. Selain itu, ia membangun harapan akan adanya kehidupan baru setelah hadirnya situasi apokaliptik tersebut.
”Bumi kita sebetulnya sudah mengalami kiamat berkali-kali. Akan tetapi, setelah terjadi situasi kehancuran akan selalu datang kehidupan yang baru,” ujar Prabu, Selasa (20/6/2023), di ruang pamer Galeri Artsphere di mal Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan.
Perbincangan bersama Prabu siang itu ditemani Maya Sudjatmiko, pemilik Galeri Artsphere. Prabu lahir di Tasikmalaya pada 1984, kini menetap di Bandung. Prabu menuntaskan studi Jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung pada 2004-2009.
Pada 2020, Prabu meraih penghargaan tertinggi untuk kompetisi nasional seni rupa UOB Painting of The Year. Dengan karya lukisan yang diberi judul ”Isolated Garden”, Prabu juga meraih penghargaan tertinggiUOB Painting of The Year 2020 tingkat Asia Tenggara.
”Melalui pameran ini, publik bisa makin mengetahui karya-karya seorang pemenang dari suatu kompetisi tingkat nasional. Jangan sampai para pemenang itu tenggelam dan hilang dari ingatan publik,” ujar Maya Sudjatmiko.
Head of Strategic Communications and Brand UOB Indonesia Maya Rizano hadir membuka pameran ini. Ia mengungkapkan, ada kritik yang ingin disampaikan Prabu dengan melukis pemandangan tanpa segelintir manusia.
”Alam dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran manusia sekalipun sehingga penting bagi kita untuk menjaga kelestarian alam,” ujar Maya Rizano.
Dari sebuah lagu
Prabu mengambil judul lukisan ”In Another Land” dari sebuah lagu kesukaannya. Ia mengambil dari lagu rock yang berjudul ”In Another Land” yang pernah dinyanyikan kelompok The Rolling Stones dari Inggris pada 1967.
”Lagu itu dengan lead vocal Bill Wyman. Kemudian vokal Mick Jagger baru masuk di refrainnya,” ujar Prabu, anak tunggal dari seorang ayah yang bekerja sebagai kontraktor properti di Tasikmalaya.
Judul itu senapas dengan karya lukisannya. Prabu ingin menggambarkan akan selalu ada sisi tanah yang lain, yang masih bisa memberikan harapan bagi kehidupan ini. Prabu menekankan optimismenya.
Berbeda dengan para perupa realis lainnya. Untuk melukiskan panorama kawah Gunung Tangkubanparahu itu, Prabu tidak datang langsung ke lokasi. Bahkan, seumur hidup Prabu belum pernah datangdan mengunjungi kawah gunung Tangkubanparahu.
”Foto-foto pemandangan kawah Gunung Tangkubanparahu bisa dengan mudah saya temukan di internet. Dari situlah saya memulai lukisan Tangkubanparahu dengan menambah-nambahkan warna rasa dan keinginan,” ujar Prabu yang menetap di Buah Batu, Bandung itu.
Lukisan kawah Gunung Tangkubanparahu berbeda dengan lukisan-lukisan Prabu yang lainnya. Prabu biasa mendatangi lokasi menarik, kemudian memotret dan menjadikannya inspirasi untuk dilukis. Prabu tidak hendak memindahkan gambar foto ke dalam kanvasnya. Ia mengambil bagian tertentu dan menambahkan dengan apa yang dia sebut sebagai warna rasa, disertai nuansa apokaliptik dan membiaskan harapan kehidupan yang baru.
Suatu contoh dari lukisannya yang diberi judul ”High and Dry” (2023), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 cm x 150 cm. Prabu terinspirasipemandangan Danau Situ Patenggang di Bandung Selatan, di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut.
Prabu menampilkan rekahan tanah permukaan dasar danau yang mengering. Ini peristiwa kekeringan sebuah danau di ketinggian permukaan tanah di Bandung Selatan.
Prabu melukiskan horizon persis di bagian tengah bidang kanvasnya. Di atas horizon itu Prabu melukis dataran. Di situ ada pepohonan dan rumah beton yang mangkrak. Prabu menggambarkan pepohonan yang mengitari bangunan beton yang mangkrak tadi.
Ketika melukis Situ Patenggang, tidak ada setetes air pun dilukiskan Prabu. Akan tetapi, pepohonan di daratan dilukiskannya tumbuh bersemi. Bahkan, pepohonan itu seakan ingin melumat dan mengalahkan bangunan bikinan manusia tadi. Pepohonan sebagai bagian dari alam yang penuh kuasa.
Imajinasi Prabu, kelak, ketika daratan di sekeliling danau sudah dipenuhi pepohonan, maka air Situ Patenggang akan penuh kembali. Situ Patenggang tidak akan mengering lagi.
Situ Patenggang yang saat ini mengering menjadi simbol apokaliptik akibat antroposentris, pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan manusia. Alam di Situ Patenggang memang rusak akibat pembangunan rumah di sekelilingnya. Suatu saat akan membawa kehancuran. Akan tetapi, dari kehancurannya nanti akan membawa kehidupan yang baru.
Beberapa lukisan Prabu lainnya bernada sama. Prabu menghadirkan bangunan-bangunan bikinan manusia yang mangkrak di tengah pepohonan yang bakal menggilasnya. Pepohonan akan tumbuh dan melumat bangunan-bangunan bikinan manusia.
Beberapa lukisan Prabu tentang bebatuan juga menarik. Selama ini bebatuan menyandang konotasi ketiadaan kehidupan. Tanah lah yang dianggap menjadi tempat kehidupan.
Prabu ingin membalik pemahaman seperti itu. Ini bisa disimak dari lukisannya yang diberi judul ”Stone Garden” (2023), dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 100 cm x 100 cm. Prabu melukis bebatuan dan di atasnya masih bisa menumbuhkan kebun.
Hindia molek
Kurator pameran Agung Hujatnikajennong mengingatkan, di Indonesia pernah diidentikkan dengan lukisan lanskap sebagai lukisan Hindia Molek (MooiIndie) yang bernuansa kolonial. Hal ini pernah menjadi obyek konsumer maupun turistik yang bertahan hingga sekarang.
Komposisi lukisan lanskap sejak era kolonial seperti gunung, sawah, pohon kelapa, dan sebagainya, bahkan telah bertransformasi menjadi konstruksi visual yang baku.
Baca juga:Olok-olok Syakieb dalam Lukisan
”Konstruksi seperti ini begitu kuat sehingga pada tataran tertentu pengertian lukisan atau gambar menjadi sangat identik dengan elemen-elemen visual lanskap pada masa kolonial ini . Harus diakui, diskusi tentang lanskap sebagai teks atau konstruksi visual di Indonesia belum banyak ditelaah dalam penelitian-penelitian sejarah seni rupa,” kata Agung.
Melalui pameran ini, Prabu lebih menonjolkan karakter enigmatik pada lukisan-lukisan lanskapnya. Tanpa sadar kita tengah dibawanya ke pemandangan antah-berantah.