Julini Dipuji dan Dicaci
Julini yang hidup kembali itu sebetulnya hanya berkeinginan untuk menjumpai kawan-kawan lamanya yang sudah mulai uzur. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tiada.
Selayaknya di panggung kehidupan nyata, bagi yang sedang dipuji setinggi langit harus juga siap-siap dicaci dan dijatuhkan hingga terbenam di palung laut terdalam. Ini pesan moral pementasan kolaborasi teater Indonesia Kita dan Teater Koma dengan lakon ”Julini Tak Pernah Mati”.
Naskah itu diadaptasi dari lakon Opera Kecoa yang dipentaskan Teater Koma pertama kali pada 1985. Salah satu tokoh utama, seorang waria bernama Julini, dikisahkan tertembak mati oleh peluru senapan aparat secara tak sengaja.
Penulis naskah dan sutradara lakon ”Julini Tak Pernah Mati”, Agus Noor, menghidupkan kembali Julini. Julini di Opera Kecoa garapan mendiang N Riantiarno adalah pacar seorang bandit kelas teri, Roima. Roima melakoni cinta segitiga. Laki-laki itu menjalin cinta pula dengan perempuan pekerja seks komersial, Tuminah.
Ini kisah komedi sekaligus tragedi. Begitu pula naskah ”Julini Tak Pernah Mati” yang diawali sebuah horor: jasad Julini ditemukan para penggali lorong kereta api bawah tanah.
Seperti pementasan lakon-lakon teater Indonesia Kita sebelumnya, naskah garapan Agus Noor selalu berusaha menautkan konteks nyata dan aktual. Agus Noor menyertakan percakapan ”politis” para penggali lorong kereta api bawah tanah tersebut. Obrolan itu kira-kira begini: jangan sampai pemerintah yang segera akan berakhir sekarang ini mewariskan pekerjaan yang belum selesai. Ini akan terbengkalai seperti warisan pemerintah sebelumnya.
Lorong tanah terus digali. Di titik tertentu ditemukan jasad Julini tertutup kain berwarna gelap. Para penggali takut-takut membukanya. Pada akhirnya mereka membuka kain dan menemukan Julini hidup kembali.
Julini diperankan Joind Bayu Winanda. Para penggali lorong bawah tanah ada 13 orang yang diperankan anggota Teater Koma. Mereka menjadi penampil pembuka pentas ”Julini Tak Pernah Mati” di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16-17 Juni 2023.
Mandi agung
Julini menjalani kehidupannya kembali. Agus Noor piawai menyihir para penonton untuk ikut larut merasakan puja-puji banyak orang terhadap Julini. Diawali lewat lawakan-lawakan para komedian Wisben, Joned, Mucle, serta Marwoto.
Dengan hidup kembali, ada yang menganggap Julini itu sakti. Selain itu, Julini juga masih tetap rupawan sehingga layak untuk dipuji-puji.
Marwoto menjadi pemantik. Ia bercerita, ada ritual Mandi Agung Julini di bulan purnama yang mulai digemari banyak orang. Tiket ludes terjual untuk menonton Julini mandi di temaram cahaya bulan.
Agus Noor menguatkan penegasan Julini sebagai sosok yang dipuji-puji banyak orang. Lantunan lagu Sri Krishna Encik dan Netta Kusumah Dewi dikumandangkan. Penonton merasakan Julini memang layak dielu-elukan.
”Netta ini pelantun lagu ‘Sekuntum Bunga’ dari Harry Roesli yang dulu dipentaskan Teater Koma untuk Opera Kecoa,” ujar Butet Kartaredjasa, pendiri kelompok teater Indonesia Kita yang juga bermain dalam ”Julini Tak Pernah Mati”.
Puja-pujian terhadap Julini menjadi percakapan lawakan Cak Lontong dan Akbar. Julini makin berkibar. Cak Lontong dan Akbar memperbincangkan hasil survei elektabilitas atau peluang keterpilihan Julini, jika dijadikan bakal calon wakil presiden. Akbar sendiri menjadi bakal calon presiden.
Baca juga: Jerit Drupadi dalam Belitan Misogini
Kepentingan politik
Julini yang hidup kembali itu sebetulnya hanya berkeinginan untuk menjumpai kawan-kawan lamanya yang sudah mulai uzur. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tiada. Namun di masa menjelang pemilihan presiden seperti sekarang ini, Julini yang namanya terkenal kemudian terseret kepentingan politik.
Atas pertimbangan elektabilitas tinggi dari sebuah survei, Julini kemudian dijodohkan dengan Akbar untuk kontestasi pemilihan presiden. Di titik ini, Sruti Respati tampil. Sruti tak bisa menerima perjodohan Akbar dan Julini.
Sruti berperan sebagai pacar Akbar, sekaligus sebagai anak Marwoto. Kelindan masalah lainnya, Marwoto yang sudah mulai uzur ternyata memiliki kisah percintaan di masa mudanya dengan Julini dan perasaan itu kini muncul kembali. Begitu pula Butet yang menjadi sahabat Marwoto punya kisah serupa dengan Julini. Butet juga masih tertarik dengan Julini.
Suatu ketika, Marwoto dan Butet bertemu di suatu tempat. Dari percakapan keduanya, Butet menyatakan ingin pergi ke Stasiun Gambir untuk pulang ke Yogyakarta naik kereta api. Marwoto pun bilang akan ke Bandara Soekarno-Hatta untuk pergi ke Singapura.
Keduanya hanya berkilah saja. Mereka saling mengelabui satu sama lain hanya untuk menjumpai Julini secara sembunyi-sembunyi. Marwoto dan Butet kemudian saling bertemu kembali di kediaman Julini.
Sementara itu, popularitas Julini kian menjulang. Puja-puji tiada henti. Sampai-sampai para pemujanya membuat monumen berupa patung besar, patung Julini. Rangga Riantiarno yang memerankan tokoh pejabat publik meresmikan Monumen Julini ini.
Ternyata, Rangga pun memiliki kisah asmara dengan Julini. Begitu banyak jalinan asmara dari sosok waria Julini ini. Asmara Julini bercabang-cabang. Ini komedi yang lantas bergulir menjadi tragedi.
Di sisi lain, Cak Lontong dan Netta Kusumah Dewi dikisahkan sebagai anak buah Akbar. Akan tetapi, secara sembunyi-sembunyi mereka ingin menghancurkan pasangan Akbar dan Julini. Hingga tiba-tiba ada sepasukan yang menyaru dengan tutupan kain hitam menyerang Julini dan para waria pendukungnya.
Julini dan para pendukungnya dibinasakan. Monumen Julini dibakar. Di tengah penderitaan tubuhnya, Julini mempertanyakan semua itu.
”Apakah ini api penyucian atau kebencian?” tanya Julini.
Baca juga: Cinta, Pengembaraan, dan Pencarian Jati Diri
Lantas Julini meniru adegan Sinta yang membakar diri seperti dalam kisah Ramayana. Julini menceburkan diri ke kobaran api.
Pentas ”Julini Tak Pernah Mati” berakhir di situ. Para penikmat teater ini diberi bekal untuk memikirkan, apakah Julini dibakar api penyucian dan akan tetap hidup seperti kisah Sinta di dalam Ramayana? Ataukah Julini akan mati dibakar oleh api kebencian?
Butet menuturkan, naskah ”Julini Tak pernah Mati” dipersiapkan sebelum meninggalnya Nano Riantiarno pada 20 Januari 2023. Butet menunjukkan rekaman video pada 24 Desember 2022 saat dirinya menghubungi Nano lewat video panggilan untuk meminta izin pementasan naskah tersebut.
Rencana semula naskah itu ingin dipentaskan pada Maret 2023, tetapi akhirnya baru digelar pertengahan pada Juni 2023.
Naskah teater ”Julini Tak Pernah Mati” disusun untuk mengenang sosok Nano Riantiarno. Selain itu, ini juga menjadi pengharapan agar perjalanan seni teater di Indonesia tak akan pernah mati.