Putu Fajar Arcana mengambil potongan cerita dari epos Mahabharata, yakni tatkala Pandawa dikalahkan Kurawa di atas meja judi dan telanjur menjadikan istri mereka, Drupadi, sebagai taruhan. Tafsirnya menarik.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Seorang perempuan berbaju putih terjebak dalam labirin merah menyala. Dia bergerak dalam kebingungan dan sekonyong-konyong tersentak tatkala seorang pria kekar menariknya secara kasar. Perempuan itu meronta, tapi kalah kuat dan akhirnya takluk dalam keterpaksaan. Pada momen yang lain, seorang perempuan tersungkur lalu diseret secara paksa oleh pria-pria kekar berwajah seram. Perempuan itu melata-lata, menyaruk tanah dengan jeritan tertahan.
Dua potongan adegan itu muncul dalam pementasan Teater Monolog Drupadi: Apa karena Aku Perempuan di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (3/6/2023). Adegan itu sekaligus mengingatkan pada peristiwa ketika Drupadi lari kebingungan berharap pertolongan, tetapi Pandawa diam seribu langkah karena menyadari Drupadi bukan hak mereka lagi. Pada saat yang sama, Kurawa merasa berkuasa atas diri Drupadi. Pementasan ini menyuguhkan metafora-metafora ketertindasan kaum perempuan dalam gambaran yang artistik tanpa meninggalkan pesan gugatannya.
Penulis naskah sekaligus sutradara Putu Fajar Arcana mengambil potongan cerita dari epos Mahabharata, yakni tatkala Pandawa dikalahkan Kurawa di atas meja judi dan telanjur menjadikan istri mereka, Drupadi, sebagai taruhan. Potongan cerita itu menjadi episode paling kelam dan memiliki ruang yang amat luas untuk ditafsir. Dari titik itulah Fajar memancing empati sekaligus membongkar persepsi terhadap nasib dan posisi perempuan.
Menyinggung Drupadi sama artinya menyinggung seluruh perempuan, lebih tepatnya perempuan yang selama ini tidak diberi akses untuk bersuara. Jumlahnya amat banyak. Mereka menjelma sebagai mayoritas bungkam, silent majority. Mereka menelan segala siksa, duka, dan nestapa dalam diam, bahkan hingga malaikat mau menjemput.
Putu malam itu menghidupkan Drupadi di atas panggung dan memberinya ruang untuk melaungkan seluruh suara hatinya yang selama ini terpendam. Drupadi lalu menjelma sebagai juru bicara perempuan yang memprotes seluruh penindasan atas dirinya. ”Mengapa selalu tubuhku dipertaruhkan. Adakah ia telah menjelma tubuh yang keliru sehingga para lelaki tanpa rasa bersalah mempertaruhkannya di meja judi?” kata Drupadi yang malam itu diperankan oleh Agung Ocha.
Potongan cerita dari epos yang lahir berabad-abad lalu itu masih sangat relevan dalam konteks hari ini. Dalam tatanan masyarakat yang patriarkis dan misoginis, perempuan kerap dianggap sebagai sesuatu (something), bukan seseorang (someone) sehingga mereka diperjualbelikan, dilacurkan, dan ditukargantikan sebagaimana barang. Baru-baru ini, seorang gadis berusia 15 tahun diperkosa oleh tujuh pemuda di Gorontalo, lalu seorang pembantu rumah tangga dimasukkan ke dalam kandang anjing, dipukul, dan ditelanjangi majikannya. Terlalu panjang untuk menyebutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap, sepertiga perempuan di dunia atau sekitar 736 juta jiwa pernah mengalami kekerasan, dari fisik sampai seksual.
Kekerasan itu tidak akan pernah terjadi jika semua orang melihat bahwa perempuan dan pria mempunyai derajat yang sama. Sayangnya bukan itu yang terjadi. Pola pikir misoginis, yakni kecenderungan untuk membenci perempuan karena dianggap lebih rendah daripada pria tadi, begitu kuat tertanam. Faktor pengaruhnya amat banyak, mulai dari tafsir terhadap kitab suci yang keliru atau konstruksi sosial.
Bahkan, dalam membaca epos Mahabharata pun tak sedikit yang secara diam-diam ataupun lantang menuding Drupadi sebagai biang perang akbar Bharatayudha. Padahal jika ditilik lebih jauh, perang itu pecah tak lain karena ambisi dan keserakahan kaum pria. ”Bahkan seluruh pergolakan yang kamu tahu bernama Bharatayudha, semua ditimpakan kepadaku,” protes Drupadi.
Konstruksi ulang
Rentetan keluh kesah Drupadi malam itu menyisakan kesan bahwa kita harus membangun ulang dalam memandang perempuan. Drupadi adalah ibu kita, adik perempuan kita, istri kita, atau anak-anak perempuan kita. Drupadi adalah seluruh perempuan di dalam kehidupan kita. Drupadi harus dilihat sebagai seseorang secara utuh atas segala hak-hak hidupnya sebagaimana pria.
Pementasan Teater Monolog Drupadi dijalin dari anasir drama monolog, tarian, nyanyian, musik, dan tata teknologi modern dalam porsi yang setara. Dibuka dengan gesekan biola yang menyayat dan segera menghantar penonton pada suasana kesuraman batin. Disusul tarian dengan koreografi dan musik modern yang secara visual aman menawan. Kematangan Jasmine Okubo meracik gerakan benar-benar teruji dalam pentas malam itu. Delapan penari muda dari Bali begitu fasih dalam mengikuti iringan musik.
Porsi musik, tari, monolog, multimedia, dan lagu yang dihadirkan selang-seling selama sekitar 1 jam 16 menit itu begitu dinamis sehingga tidak membosankan. Tatkala monolog Agung Ocha mulai terasa terlampau panjang, muncul nyanyian atau tarian yang seolah menjadi jeda, tetapi bukan sekadar jeda karena di dalamnya mengandung pesan yang menyambung dengan monolog tadi. Misalnya, di tengah pementasan ketika Drupadi hampir 7 menit monolog, terdengar alunan musik lembut disusul Agung Ocha melantunkan lagu ciptaan Ayu Laksmi. Ayu menciptakan dua lagu yang liriknya ditulis Bli Can, sapaan akrab Putu Fajar Arcana.
Upaya kreatif Bli Can yang juga patut diapresiasi adalah ketika dia melakukan intertekstualitas. Potongan cerita Drupadi sebagaimana disinggung di atas diambil dari epos Mahabharata, tetapi dalam pementasan ini Bli Can memasukkan cerita dari Epos Ramayana. Itu dia sisipkan tatkala membuat metafora rencana Drupadi membalas karma dengan menggambarkan diri sebagai Marica yang menyamar menjadi kijang kencana menggoda Rama. Tujuannya agar Rama menjauh dari Sinta. Upaya intertekstualitas ini menjadi warna tersendiri sebagai variasi cerita.
Sebagai tontonan, Teater Monolog Drupadi amat menarik. Barang kali yang perlu ditilik ulang adalah cara ungkap Drupadi dalam menyampaikan ”suara” hatinya yang dalam beberapa bagian terkesan sebagai khotbah feminisme. Bukan hal yang buruk, tetapi barang kali kurang pas jika disampaikan dalam bentuk pentas monolog.
Meskipun begitu, pentas dengan semangat perlawanan Drupadi ini perlu diulang untuk membangun kesadaran baru dalam memandang perempuan sehingga belitan misogini itu pelan-pelan pergi.