Mereka Terus Bercahaya
Claire dikaruniai autis dengan salah satu kesulitan berbicara. Ia tumbuh menjadi pelukis dan desainer grafis. Ia jauh lebih cepat mengeksekusi konsep gambar menjadi karya grafis dibandingkan anak-anak tanpa autistik.
Mereka kerap distigma sebagai orang-orang cacat. Namun sebenarnya, mereka justru menyimpan karunia yang kemudian memancarkan cahaya dan banyak membuat orang bangga.
Claire Nicole Stephanie Siregar (17) hanya memandang dan terdiam sampai 20 menit ketika diperlihatkan gambar balon saat terapi wicara. Dia kemudian mencoba berkata, ”Ba… lon!” Berbeda ketika diminta menggambar balon, Claire dengan sigap menuntaskan dalam sekejap.
Secercah cahaya selalu ada bagi anak-anak autis seperti Claire. Ruang dengarnya terbuka lebar dan terhubung dengan pusat syaraf yang bisa seketika memerintahkan sensor motoriknya memvisualkan sesuatu.
Claire dikaruniai autis dengan salah satu kesulitan berbicara. Ia sekarang tumbuh menjadi seorang pelukis dan desainer grafis berlabel Filoksenia. Ia jauh lebih cepat mengeksekusi konsep gambar menjadi karya grafis jika dibandingkan anak-anak tanpa karunia autistik. Ia juga tidak mau berhenti sebelum karya selesai.
Claire menempuh studi setara D III Desain Grafis di Pendidikan Khusus Vokasi Cita Buana bekerja sama dengan Bina Nusantara Center antara 2019-2022. Kuliahnya lebih banyak dijalani pada masa pandemi Covid-19 secara daring. Saat kuliah itu, ia selalu didampingi ibunya, Sylvia M Siregar.
Claire saat ini ikut komunitas Outsider Art Jakarta di bawah asuhan Timotius Suwarsito, yang akrab disapa Kak Toto. Kak Toto menyewa salah satu bilik untuk ruang pamer anak-anak berkebutuhan khusus di Mitra Hadiprana, Kemang, Jakarta Selatan.
Kak Toto mempertemukan Kompas dengan Claire dan Sylvia, bersama Sofwan Farisyi, ayah dari Muhammad Salman Farisyi yang juga memiliki karunia autis, Rabu (10/5/2023) sore, di Mitra Hadiprana. Perbincangan kami juga ditemani Hamdani, produser film berjudul Angel (2023), yang terinspirasi kisah hidup seorang autis.
Claire terlihat duduk begitu asyik memainkan dua gawai dan satu Ipod pemutar musik yang didengar lewat kabel suara di telinga. Ia masih asyik dengan dunianya sendiri, tetapi berkat kegigihan keluarganya membuat Claire mampu bersosialisasi dan produktif.
Claire bersedia bersalaman dengan orang yang baru ditemuinya. Ia kontak mata dengan lawan bicaranya. Ketika berpisah pun mau mengucapkan salam perpisahan.
”Banyak kemajuan diraih Claire berkat kerja kolaborasi banyak pihak. Termasuk almarhum papa saya yang selalu menjemput Claire dari sekolah, beserta para terapis yang mau bekerja sama dengan pihak sekolah Claire,” ujar Sylvia.
Sylvia memutuskan pensiun dini pada 2017 agar bisa lebih memusatkan perhatian terhadap Claire, anak bungsu dari dua bersaudara. Mereka kini tengah merajut asa. Karya Claire banyak disertakan ke dalam pameran-pameran seni rupa.
Claire bukan anak berkarunia autis sejak lahir. Sampai di usia dua tahun lebih satu bulan, ia tumbuh normal. Ia bisa bicara, berjalan, kontak mata terhadap lawan bicara, dan sebagainya.
Setelah divaksinasi, Claire mengalami gejala autis. Ia tidak mau bicara, tatapan mata kosong, bahkan menolak disentuh. Sejak itu Claire didiagnosis autis.
Pelatihan
Autis bukan suatu penyakit, karenanya tidak perlu disembuhkan, tapi perlu dilatih kemampuannya. Orang dengan karunia autis memiliki gangguan untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku. Semua itu bisa diperbaiki melalui pelatihan.
Matalesoge HospitABLElity Academy di Jakarta Selatan menjadi salah satu tempat pelatihan bagi anak autis. Rabu lalu, Patrick Wiragalih tengah melatih lima anak berusia 20-an tahun membuat tabel di komputer. ”Mereka memiliki kendala konsentrasi yang tidak bisa konstan. Namun, mereka masuk kategori high function atau mampu mandiri. Mereka biasa mengoperasikan komputer untuk mengelola dan memasukkan suatu data,” ujar Patrick.
Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Matalesoge Tommy Hermanses menuturkan, banyak orangtua anak autis sekarang masih bingung setelah anak mereka lulus sekolah. Lembaganya mencoba mempersiapkan para penyandang autis masuk dunia kerja.
Dunia seni juga termasuk bidang kerja yang disukai penyandang autis. Indhy Mutiarahmah (26) menjadi salah satu peserta pelatihan di Matalesoge. Saat itu, ia didampingi ibunya, Dina Werdi.
Baca juga: Jatuh Bangun Menjadi Orang Jakarta
Hingga menginjak usia 18 tahun, Indhy diketahui punya ketertarikan kuat untuk melukis. Dengan pisau palet, Indhy mencampur dan memulas warna-warna di atas kanvas. Ia tak mau tangannya kotor dan selalu meminta ibunya untuk menuangkan cat sesuai keinginannya di titik-titik tertentu permukaan kanvas.
”Kalau warna-warna yang dia pilih cerah, berarti mood atau perasaannya sedang senang. Saat mood jelek, warna pilihannya lebih suram,” ujar Dina yang pernah menyekolahkan Indhy di Lembaga Daya Pelita Kasih di Pejaten, Jakarta Selatan.
Saat ini, sejak Sabtu (13/5/2023) karya Indhy disertakan ke dalam pameran lukisan di Hotel Artotel Thamrin, Jakarta. Pameran itu bertajuk Pulasan Rupa Gerak, Lukis, Karya Jiwa untuk memperingati Hari Autis.
Kesuksesan
Secara terpisah, Direktur London School Center for Autism Awareness Chrisdina Wempi mengatakan, anak dengan karunia autis dikatakan meraih kesuksesan ketika mampu berperan dan berfungsi produktif di tengah masyarakat. Kesuksesan bukanlah meraih juara atau prestasi tertentu, meskipun itu terbuka lebar bagi anak autis untuk bidang-bidang tertentu.
”Anak autis dengan spektrum asperger itu memiliki tingkat intelegensia di atas rata-rata sehingga bisa memperoleh prestasi di bidang tertentu sesuai yang diminatinya,” ujar Chrisdina.
Meskipun demikian, penyandang autis yang bukan asperger tetap memiliki peluang kesuksesan. Mereka tidak memiliki kemampuan menganalisis suatu abstrak, tetapi memiliki kemampuan repetitif atau mengulang secara persisten atau terus-menerus, sehingga yang dibutuhkan adalah suatu pekerjaan dengan runutan jelas secara visual.
”Saat ini masih ada perbedaan pendapat bagi penyandang ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Ada yang masih memasukkan ke dalam kategori autis, ada yang memisahkan dari autis,” ujar Chrisdina.
Komposer dan pianis andal kelas dunia, Ananda Sukarlan, salah satu penyandang autis asperger. Dalam suatu perbincangan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Ananda bercerita tentang masa kecilnya.
”Ketika berusia lima tahun, saya sangat suka main piano yang dibeli ayah saya dari orang Belanda ketika ingin kembali ke negaranya. Saya tidak tahu, jika tidak ada piano di rumah saya ketika itu, sekarang saya akan menjadi apa,” ujar Ananda.
Baca juga: Kisah Para Penakluk Jakarta
Ananda anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ibunya seorang dosen di IKIP Jakarta, dan ayahnya seorang tentara yang bertugas di bagian administrasi RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Ketika Ananda diketahui suka main piano, kedua orangtuanya meminta ia untuk les piano. Ananda termasuk cepat menguasai dasar-dasar bermain piano. Setiap waktu Ananda selalu berlatih piano. Ini menjadi pelepas stres karena Ananda termasuk sulit berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
Setelah lulus SMA di Jakarta, Ananda diajak pamannya yang bertugas sebagai diplomat di Kenya, Afrika. Kedua orangtuanya berharap Ananda mengenal dunia pekerjaan sebagai diplomat, bukan sebagai pemain piano.
”Bahkan, waktu itu orangtua saya bukan mengatakan, kalau belajar musik bisa makan apa. Tetapi, apa makan?” ujar Ananda.
Di Kenya, Ananda tidak memedulikan itu. Ia selalu berusaha ke tempat-tempat di mana ia bisa bermain piano. Hingga beberapa bulan setelah itu Ananda mencari beasiswa untuk belajar piano di Eropa dan diterima.
Ananda pun berprestasi. Suatu ketika setelah memberi kuliah dan seminar di Sofia, Bulgaria, selama tiga hari, ada peserta yang datang dan menawari Ananda untuk dites di klubnya sebagai bagian dari orang-orang genius. ”Saya bilang, why not (mengapa tidak) walau saya tidak merasa genius. Dari situlah saya mengetahui probabilitas tinggi saya menyandang asperger di usia 28 tahun,” ujar Ananda.
Perancang adibusana Harry Darsono (72) menjadi sosok terkenal dengan karunia ADHD, dia enggan disebut menyandang autis. Melalui sambungan telepon hampir selama dua jam dari Oxford, Inggris, Selasa lalu, Harry berkisah tentang masa-masa kecilnya.
Harry kecil mengalami kesulitan berbicara. Dia mengaku baru lancar berbicara pada usia 39 tahun. Akan tetapi, gejala ADHD dengan kemampuan fokus konsentrasi yang rendah sudah terasa sejak dia kecil. Dia juga impulsif atau mudah meledak.
Ketika SD, Harry harus berpindah-pindah lima kali karena saking nakalnya atau impulsif tadi. Contohnya, ketika duduk di bangku kelas III SD, guru sekolahnya memiliki kebiasaan berdoa cukup lama menjelang pelajaran.
”Di tengah berdoa itu, semua mata terpejam. Saya lalu merangkak di lantai menuju bawah meja bu guru. Saya lalu diusir dari sekolah itu,” ujar Harry yang beralasan doa terlalu panjang hanya mengurangi jam pelajaran.
Harry juga pernah memukul kepala temannya dengan batu gara-gara dia merundung Harry yang kesulitan berbicara.
Saat itu, Harry belum mengenali karakter di dalam dirinya, hingga kedua orangtuanya terus berupaya agar Harry memperoleh pendidikan yang sesuai. Harry sendiri juga gigih dalam berjuang untuk mengenali diri lewat berbagai pendidikan yang kemudian ditempuh di Eropa. Berkat itu dia meraih berbagai penghargaan, seperti Upakarti, Adikarya Busana, Adikarya Wisata, dan Adikarya Wisata Sertifikat II dari Pemerintah RI.
Harry sama dengan orang berkebutuhan khusus lainnya yang selalu melihat secercah cahaya akan selalu ada. Sisi kebaikan dan keburukan ibaratnya selalu berada di dalam satu keping koin.