Dream Theater Lagi dan Lagi
Belum genap setahun setelah konser di Surakarta, Jawa Tengah, band Dream Theater kembali berpentas di Jakarta. Sekitar 5.000 penonton memvalidasi superioritas bermusik grup ini. Terbukti, pengikutnya solid dan patuh.
Apalagi yang mau dibicarakan ketika mengulas konser band rock progresif teknikal Dream Theater asal Amerika Serikat. Setiap personel punya keahlian di atas mumpuni. Struktur musiknya kompleks tetapi ramah di telinga khalayak. Komunikasi di panggung dengan penonton cair. Itu semua mereka pertontonkan berulang kali di Indonesia.
Jakarta bukan tempat yang asing bagi band yang terbentuk di Massachusetts, AS, pada 1985 ini. Dua kunjungan pertama mereka, tahun 2012 dan 2014, berlangsung di Ibu Kota. Penampilan mereka pada Jumat (12/5/2023) di taman bernama Allianz Ecopark, Ancol, Jakarta Utara, menjadi yang ketiga. Dua pertunjukan lain sebelumnya terjadi di Yogyakarta (2017) dan Surakarta (2022).
Jadi, dalam 11 tahun, Dream Theater telah menyambangi Indonesia sebanyak lima kali. Sesering itulah mereka bertemu penggemar di sini. Bagi penggemar di Indonesia, tampil di kota apa pun oke saja. Mereka siap menghampiri selagi bisa. Pada Jumat malam lalu, misalnya, beragam bahasa daerah terdengar di arena terbuka yang dikelilingi pohon peneduh itu.
”Saye dari Pontianak (Kalbar) bersama kawan. Sampai tadi siang, langsung ke Ancol sini,” kata Andre sesaat setelah menyiarkan salam di akun Facebook-nya. Dia ada di kelas Festival A, kelas yang paling dekat dengan panggung. Andre sengaja memilih kelas itu supaya bisa melihat idolanya lebih dekat. Ini adalah konser Dream Theater ketiga yang dia sambangi.
”Tunggu, ya, guys, sebentar lagi John Petrucci muncul. Ini tadi dikasih pick Petrucci waktu ketemu di bandara, ha-ha-ha,” begitu bualan Andre kepada penontonnya. Petrucci adalah gitaris junjungan Andre. ”Lebih jago Petrucci-lah, Bang dibandingkan Yngwie (Malmsteen). Tekniknya tinggi dan bisa pas dipakai di lagu-lagu ciptaannya,” katanya. Okelah, tak perlu didebat.
Andre dan banyak ”peziarah” Dream Theater lainnya telah mengantre di depan pintu utama sejak pukul 16.30. Padahal, pintu baru dibuka pukul 18.00 dan tepat waktu. Sepertinya tiga dari empat orang memakai kaus Dream Theater berlisensi dan bajakan. Mereka berdiri, berbaris ditertibkan. Arus penonton masuk bergelombang. Lolos gerbang pertama, mereka masih mengantre lagi untuk diperiksa barang bawaannya.
Seperti umumnya perhelatan Rajawali Indonesia, pemeriksaan barang ini ketat dan detail. Jadinya lumayan memakan waktu, apalagi bagi pembawa ransel yang banyak kantongnya. Petugas mencari barang ”haram” seperti makanan dan minuman. Botol minum (tumbler) bawaan boleh masuk tetapi harus dikosongkan. Di arena, sebotol air minum dijual Rp 10.000.
”Masak harus protes urusan minum saja. Sudah tahulah begitu aturannya di konser jadi memang siap uang ekstra untuk jajan,” kata Deon yang datang dari Purwakarta, Jawa Barat, sembari menenteng segelas es teh manis seharga Rp 20.000. Dia juga masuk di kelas Festival A, satu setengah jam sebelum pertunjukan mulai.
Adu jago
Tepat pukul 20.00, yang dinanti-nanti tiba. Panggung menggelap ketika kibordis Jordan Rudess dan drumer Mike Mangini muncul berbarengan. Mereka berdua disusul basis John Myung dan gitaris Petrucci yang naik dari berlawanan arah. Mereka sudah siap tampil. Nomor ”The Alien” dari album termutakhir menjadi pilihan.
Baca juga: Serangan Bunyi Para Alien
”Wah, lagu pembukanya sama dengan yang di Stadion Manahan (2022) ini,” seru Deon. Meski pernah merasakan sensasi serupa, raut mukanya berseri-seri. Tangannya sesekali teracung ke udara. Kepalanya bergoyang kiri-kanan, atas-bawah, mengikuti pukulan drum bertubi-tubi Mangini. Deon tampak sudah hafal betul struktur musik lagu penerima Piala Grammy ini.
Deon makin kegirangan begitu melihat vokalis James LaBrie setengah berlari naik panggung dan merengkuh mik berhias tengkorak itu. Tiba-tiba Deon agak kalem sedikit, dahinya berkerut mendapati vokal LaBrie gagal menjangkau nada tinggi di lagu itu dan agak fales. Barangkali kurang pemanasan. Toh, penonton lainnya seperti tak terlalu peduli juga.
Baru lagu pertama saja, adu kebisaan terpampang di panggung. Petrucci mengangkat satu kakinya ke pelantang monitor ketika memainkan melodi kromatik pada fret bawah. Ketika jemari kirinya menggerayangi fret atas, dia baru menjejakkan dua kakinya di panggung sambil memainkan pedal efek, yang dijejali bunyi-bunyi asing dari kibor Korg Kronos Rudess. Riuh dan padat.
Keriuhan serupa berlanjut di nomor berikutnya ”6:00” dari album lawas The Awake (1994). Basis John Myung setia mengisi ruang frekuensi rendah bertalian dengan ritme dari Mangini. Myung tampak paling anteng dibandingkan personel lainnya, tetapi cabikan basnya rapi tanpa cela.
Di lagu lain, ”Bridges in the Sky” dari album keluaran 2011, Myung lebih agresif. Dia seperti bertarung dengan Petrucci. Rambut panjang lurus Myung menari-nari. Bagian vokal, terutama refrain, ”Sun, come shines my way”, mendinginkan pertarungan itu. Para penggemar berat berkaus Dream Theater ikutan LaBrie bernyanyi. Tarung Myung-Petrucci berulang lagi di ujung lagu, bahkan makin memanas. Mereka berdempet-dempetan, adu kelihaian jari. Siapa yang menang? Jelas penontonlah! Mereka bertempik sorak.
LaBrie bergurau
Di antara lagu, LaBrie beberapa kali mengajak ngobrol penonton. Dia berujar, ”Ini perhentian terakhir kami di tur Asia. Dan saya senang mengakhirinya di Jakarta. Kita sudah bertemu beberapa kali, bukan?” kata LaBrie yang disahut riuh. Karena Dream Theater sudah sering berkunjung ke Indonesia, dia mengharapkan penonton membalas kunjungan itu.
”Sehabis dari sini (Jakarta), kami akan pulang dan bikin festival. Kuharap kalian mau terbang dan mendatangi festival kami di beberapa kota di Amerika Utara,” kata LaBrie. Sebagian penonton tertawa. ”Emange tiket pesawate ditanggung?” celetuk seorang penonton dalam bahasa Jawa.
Benar, mulai semester kedua tahun ini, Dream Theater membuat festival rock progresif yang penampilnya mereka kurasi sendiri. Namanya Dreamsonic, yang dimulai 16 Juni mendatang. Penampil utamanya adalah Devin Townsend dan Animals as Leaders. Ini intermeso. Konser penutup rangkaian Top of the World Tour belum selesai. Masih ada beberapa lagu lagi.
Baca juga: Di Mana Batas Dream Theater
Mereka memainkan beberapa lagu yang jarang dipanggungkan, seperti ”Caught in a Web” dari album Awake dan ”Solitary Shell” dari album Six Degrees of Inner Turbulance (2002). Sementara dari album baru, mereka memasukkan ”Sleeping Giant” dan ”Answering the Call” yang absen dari tur tahun 2022, termasuk di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah.
Setelah lagu ”Answering the Call” itu, LaBrie merasa perlu mengambil napas. ”Panas sekali di sini. Ada yang punya es? Tolong lempar ke panggung,” katanya. Padahal, di area penonton yang berdiri di lapangan berumput itu angin berembus sepoi-sepoi sedap. Langitnya cerah. Udara tak kelewat pengap.
Dia melanjutkan gurauannya, ”Jadi, di lagu berikut kami akan undang penari telanjang, tiga perempuan dan tiga lelaki, supaya seimbang, tidak dianggap seksis. Mau? Aku cuma becanda.” Sayang sekali.
Bonus besar dari pertunjukan ini bukanlah aksi penari telanjang seperti gurauan LaBrie, melainkan lagu paling populer mereka, ”Pull Me Under” dari album Images and Words keluaran tahun 1992, album yang meroketkan popularitas mereka. Dari nada pertama intronya, penggemar berat mereka sudah kegirangan. Maka, sebagian besar dari 5.000 penonton bernyanyi bersama di lagu sepanjang delapan menit itu.
Dua lagu terakhir adalah nomor epik ”A View from the Top of the World” dengan durasi 20 menit dan ”The Count of Tuscany” yang berdetak sepanjang 19 menit. Pertunjukan itu berisi 12 lagu saja, tetapi total durasinya 120 menit alias dua jam. Intensitas musik dan durasi panjang tak sedikit pun mengendurkan permainan mereka.
Seorang penonton terheran-heran bagaimana mungkin Petrucci tak sekali pun salah memencet senar gitarnya. ”Kok iso senare ora mejen blas, ya?” celetuknya, yang artinya kira-kira, ”Kok bisa bunyi gitarnya sama sekali tidak keliru.”
Kehebatan itulah yang membuat Dream Theater selalu ditunggu penggemarnya. Musiknya memang rumit. Namun, mereka membuktikan benar-benar bisa memainkannya langsung di panggung. Saat berpamitan, LaBrie berujar akan kembali ke Indonesia. Lagi? Silakan saja. Ribuan penggemar masih mendamba dan menghamba.