Metafora Mangu Putra
Perupa Mangu Putra (60) asal Bali menyuguhkan keindahan hutan. Di balik keindahan lukisan, ada metafora yang hidup dan menggetarkan.

Pameran lukisan tunggal karya Mangu Putra mengangkat tema Serenity di Cans Gallery, Jakarta, Kamis (27/4/2023). Pameran yang menghadirkan seri lukisan lanskap ini berlangsung hingga 15 Mei 2023.
Lukisan besar tentang pepohonan besar atau ranting-ranting pohon yang saling telikung, menjalar, dan merambat hingga lanskap bentang alam gunung dan lembah yang menghijau itu serupa foto nyata yang diperbesar. Perupa Mangu Putra (60) asal Bali menyuguhkan karya itu. Di balik keindahan lukisan, ada metafora yang hidup dan menggetarkan.
Mangu menyuarakan soal pelestarian hutan. Jika memang manusia menginginkan hutan lestari, biarkan hutan tumbuh dengan sendirinya. ”Ditengok pun jangan. Semakin banyak manusia bercampur tangan, maka hutan makin rusak,” demikian ujar Mangu Putra, Selasa (18/4/2023), di Bali.
Jika ada lirik lagu yang menyuarakan, melestarikan hutan hanyalah celoteh belaka, mungkin itu benar saja karena hutan selalu dicampuri tangan manusia. Hutan menyimpan banyak manfaat hingga banyak orang terus mengeksploitasinya.
Hutan yang sudah dijarah dan gundul pun masih saja digunakan untuk mencari proyekpenanaman kembali. Padahal, kalau ingin menghutankan kembali, seperti dikatakan Mangu, ”Biarkan saja. Hutan akan mencari keseimbangannya sendiri tanpa campur tangan manusia!”
Melalui belasan lukisan, Mangu menyodorkan gagasannya itu ke dalam sebuah pameran tunggal di Can’s Gallery, Jakarta, 16 April-15 Mei 2023. Pameran dengan catatan kuratorial oleh Arif Bagus Prasetyo itu diberi tajuk Serenity atau Ketenangan.
Di situ ada ketenangan Mangu dalam menuangkan cat-cat minyak ke atas kanvas-kanvas besar. Akan tetapi, di dalam hatinya ada gelora keinginan agar hutan diperlakukan sebagaimana mestinya. Agar hutan kembali menemukan jati dirinya.
Mangu adalah pria kelahiran Desa Selat, Sangeh, wilayah Kabupaten Badung, Bali. Ia pernah menempuh Program Studi Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 1984-1990.

Pameran lukisan tunggal karya Mangu Putra yang mengangkat tema Serenity ini berfokus pada lukisan yang lahir dari pengalaman sang perupa bersentuhan dengan keindahan alam.
Mangu tergolong jarang menampilkan karya-karyanya ke dalam pameran tunggal. Sebelum di Can’s, Mangu sebelumnya menggelar pameran tunggal di Singapura pada 2016. Di sana ia menampilkan lukisan bertema sejarah Indonesia di masa kolonial Hindia Belanda.
Mangu ketika itu menuangkan inspirasi dari kisah ayahnya yang juga salah seorang pejuang Indonesia melawan penjajahan Hindia Belanda. Selain itu, Mangu prihatin terhadap banyaknya peristiwa bersejarah yang belum begitu lama berlangsung, tetapi sudahdilupakan atau tidak mau dimengerti oleh generasi muda sekarang, termasuk oleh Mangu sendiri.
Mangu melukis tentang sejarah kolonial Hindia Belanda bukan karena dirinya tahu tentang sejarah itu. Ia merasa tidak tahu persis tentang sejarah-sejarah penting yang terjadi di Tanah Air di masa kolonialisme itu. Termasuk sejarah di masa-masa genting peralihan kekuasaan dari Hindia Belanda dan proses pencapaian kemerdekaan Indonesia 1945, sekitar 78 tahun silam.
Mangu memiliki kepiawaian melukis realistik. Tidak berhenti di situ, Mangu selalu berusaha menyingkap narasi-narasi penting di balik indahnya lukisan yang dibikinnya. Meskipun mirip dengan hasil jepretan kamera, lukisan Mangu tidak pernah hanya sekadar memindah obyek gambar dari foto-foto ke kanvas.
Mengecoh
Ketika memasuki ruang pamer di Can’s Gallery, lukisan-lukisan Mangu dengan kanvas-kanvas besar itu terlihat mengecoh. Dari kejauhan terlihat lukisan-lukisannya seperti foto. Setelah didekati dan disimak dengan saksama, tampak tekstur atau lelehan cat minyak pada lukisan-lukisan itu.
Asiong, seorang pengunjung yang kebetulan juga seorang checker atau peneliti keaslian lukisan old master Indonesia, hadir mengunjungi pameran Mangu ini, Selasa siang. Ia mengutarakan persoalan teknik realistik Mangu yang tergolong mumpuni.
”Lukisan Mangu dengan teknik menghitamkan dulu kanvas serta miskin warna ini menjadi karakter yang menarik,” ujar Asiong.
Asiong menunjukkan karakter seperti itu melekat pada lukisan yang berjudul Black Lava, cat minyak di atas kain linen berukuran 300 x 150 cm (2023). Ada kontras warna pada bagian atas yang didominasi putih untuk menggambarkan kabut putih. Di bagian bawah didominasi warna hitam atau gelap untuk menggambarkan bebatuan dari lava yang sudah membeku.
”Warna miskin juga terdapat di lukisan Mangu yang didominasi tetumbuhan hijau,” kata Asiong.

Detail lukisan berjudul pohon Ara #2 karya Mangu Putra dalam pameran tunggal bertema Serenity di Cans Gallery, Jakarta, Kamis (27/4/2023).
Bagi kurator Arif Bagus Prasetyo, perupa Mangu Putra berjuang menjadi seniman kontemporer dengan menghadirkan karya yang bisa melampaui sekadar karya-karya lukisan lanskap. Arif mencuplik pandangan Barry Schwabsky dalam buku Landscape Painting Now (2019).
”Lukisan lanskap tidak mesti representasi sebuah lanskap. Lukisan lanskap bisa dikonstruksi dari potongan-potongan representasi dan menimbulkan pengalaman tersendiri yang mirip dengan pengalaman tentang alam,” kata Arif.
Mangu memiliki kesadaran desain sehingga berhasil menyusun komposisi lanskap yang imajiner dan harmonis. Mangu menghadirkan tetumbuhan yang fiktif dari fragmen-fragmen citra lanskap yang nyata atau dari suatu tumbuhan yang nyata.
Harmoni di dalam lukisan Mangu bisa jadi bukan diperolehnya dari alam, melainkan sebagai efek dari kecanggihan desain. Mangu bukan mereproduksi keindahan alam. Mangu mengonstruksinya. Lukisannya merupakan hasil olah konstruksi yang diilhami pertemuan intim Mangu dengan alam.
”Berbagai pengalaman batin dan renungan Mangu saat bersentuhan dengan alam adalah material yang diproses di studio menjadi lukisan,” kata Arif.
Arif mengingat pernyataan Mangu bahwa dengan hamparan rumput kosong pun kita bisa berdialog. Alam yang terkesan sepi sesungguhnya bercerita.
Komposisi alam yang begitu tertata membuat Mangu selalu tercenung. Misalnya, ketika Mangu mencermati bunga liar. Di situ ada batu, lumut, pasir, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu seperti membentuk komposisi alam yang tertata.
Arif menyebut Mangu bukanlah pelukis naturalistik yang lugu. Mangu bukan penjiplak keelokan alam dan memindahkannya ke kanvas menjadi sebuah lukisan nan elok.
Kanvas Mangu adalah kanvas keharuan. Di situ ada rasa kekaguman, kebebasan, kepasrahan, kengerian, dan seterusnya.

Pameran lukisan tunggal karya Mangu Putra mengangkat tema Serenity di Cans Gallery, Jakarta, Kamis (27/4/2023). Sebanyak sembilan lukisan lanskap terbaru ditampilkan dalam pameran tersebut.
Refleksi diri
Meski lukisan lanskap ditekuni sejak awal,Mangu berhasil menyuguhkan kebaruan-kebaruan di dalam pameran tunggalnya ini. Mangu melukis untuk menceritakan apa saja yang dirasakan. Termasuk kisah personal dengan metafora tetumbuhan yang menjadi refleksi diri bagi Mangu selama ini.
Ia bercerita tentang rumput. Tetumbuhan rumput yang rendah selalu diinjak-injak orang yang lewat. Begitu pula, tetumbuhan semak yang meninggi akan selalu dibabat orang.
”Saya pernah merasakan seperti itu, seperti rumput yang diinjak-injak orang atau seperti semak yang tidak bisa tumbuh tinggi karena setiap kali tumbuh tinggi akan selalu dibabat,” ujar Mangu.
Baca Juga: Menerawang Napas Terakhir
Tidak ada pilihan lain bagi Mangu untuk tumbuh seperti pohon dengan kayu yang kuat. Pohon itu akan tumbuh menjulang dan didambakan banyak orang. Apalagi ketika berbuah, maka akan banyak diperebutkan orang.
Metafora lanskap Manguyang bertolak dari refleksi diri ini kemudian digeser ke arah persoalan bersama tentang lingkungan hidup. Ia menceritakan tentang lukisan-lukisannya yang mengambil obyek pohon kecil dan merambat. Salah satunya yang diberi judul Rimba, dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 200 x 200 cm (2017).
Lewat lukisan Rimba itu Mangu mengingatkan, jangan pernah menganggap remeh tumbuhan kecil dan merambat. Pohon besar yang jika dirambati pohon ini bisa terbunuh karenanya.

Pengantar mengenai perupa Mangu Putra dan karyanya dalam pameran lukisan tunggal bertema Serenity di Cans Gallery, Jakarta, Kamis (27/4/2023).