Film ”Air” menceritakan asal mula sepatu basket paling populer Air Jordan. Sepatu yang semula khusus dibuat untuk Michael Jordan ini makin populer sampai sekarang. Filmnya menghibur, tetapi kurang berbobot.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Sepatu Air Jordan menjadikan pebasket Michael Jordan sebagai pensiunan atlet multimiliuner di jagat ini. Perusahaan pembuatnya, Nike, juga berkembang jadi raksasa pakaian olahraga ternama. Film Air menceritakan awal mulanya, namun tanpa isi yang bernas. Inilah bukti bawa konsumerisme itu menghibur.
Film Air, meski berbicara tentang sepatu, mengambil pola film olahraga pada umumnya. Ada yang tersepelekan, ada tokoh yang gigih berjuang, dan dipungkasi dengan kegemilangan. Rasanya janggal bahwa pihak tersepelekan di film ini adalah Nike, perusahaan yang kelak punya pabrik di negara-negara bagian selatan seperti Vietnam dan Indonesia. Namun demikianlah semesta film yang skenarionya ditulis Alex Convery ini.
Alkisah pada 1984, Nike adalah “anak bawang” di antara jenama perlengkapan olahraga lain. Di film disebutkan, Converse dan Adidas sedang naik daun. Dua merek itu tak hanya jadi perbincangan di arena olahraga belaka. Grup hip-hop RUN DMC membuat lagu berjudul “Adidas” secara sukarela. Sementara Converse sudah menjejak di liga basket profesional NBA. Merek berlogo bintang ini sudah menggaet Julius Irving dan Magic Johnson, superbintang basket saat itu.
Di sisi lain, penjualan sepatu lari Nike sedang anjlok. Apalagi, mereka berkantor di pelosok Oregon, Portland, negara bagian di AS yang lebih terkenal sebagai penghasil semen. Nike ingin melebarkan pangsa pasar mereka ke ranah bola basket, olah raga populer yang juga kerap dimainkan di jalanan.
Untuk mencapai tujuan itu, Nike harus mengontrak pemain basket hebat demi membentuk citra mereka. Sonny Vacaro (Matt Damon) adalah salah seorang eksekutif di bidang pemasaran lini produk basket Nike. Dia pusing mencari siapa pemain yang cocok dengan kriteria dan nilai-nilai Nike—ada sepuluh butir nilai yang terpajang di ruang kerjanya. Direktur sekaligus pendiri Nike, Phil Knight (Ben Affleck), memberi anggaran 250.000 dollar AS.
Hal yang memusingkan Vacaro adalah, anggaran segitu harus cukup untuk mengontrak empat pemain sekaligus. Beberapa rekan kerjanya mengusulkan beberapa nama, yang menurut Vacaro nggak jago-jago amat. Vacaro bisa tahu karena dia rajin mendatangi laga basket semi-profesional antarsekolah dan antarkampus. Michael Jordan yang main untuk tim kampus North Carolina adalah salah satu idaman Vacaro.
Namun, mengontrak Jordan bukan perkara sepele. Jagoan muda ini sudah punya agen David Falk (Chris Messina) yang bermulut sampah dan enggan bernegosiasi dengan merek “antah-berantah” Nike. Falk sedang menjajaki Adidas. Di setiap pertandingan, Jordan selalu pakai Adidas. Keinginan Vacaro itu juga tak direstui Knight yang tampil nyentrik dengan mobil Porsche 911 warna ungu.
Apakah Vacaro menyerah? Tentu tidak. Di titik inilah ketegangan film bermula. Vacaro adalah protagonis yang gigih berjuang. Modalnya adalah statistik permainan Jordan yang tekun ia catat, rekaman video pertandingan North Carolina, dan keyakinan pada Michael Jordan. Saking yakinnya, Vacaro berani mempertaruhkan kariernya; dia rela dipecat dari Nike jika perhitungannya meleset.
Dialog memikat
Perdebatan demi perdebatan lantas mengisi layar film. Ibarat film aksi, “medan perangnya” adalah ruang rapat di kantor Nike, juga sambungan telepon. Ya, “pertempuran” di film ini isinya omong belaka.
Namun, dialog-dialog itu tidak membosankan, pun tidak berbuih-buih bicara tentang impian. Lontaran-lontaran para karakter justru sering mengundang tawa, atau senyum saja. Dialog antarakarakter bersahut-sahutan dengan cepat layaknya operan di sebuah pertandingan NBA. Kadang kalimatnya menusuk. Umpatan sering tersembur. Gaya dialog ini mengingatkan pada film-film Quentin Tarantino. Sayang jika terlewatkan.
Salah satu kalimatnya berbunyi seperti ini, “Dalam kultur keluarga kulit hitam, Mama adalah kuncinya.” Kata “mama” itu mengacu pada Deloris, ibunya Michael Jordan. Kepada Deloris (Viola Davis), Vacaro mengerahkan segala kemampuan diplomasinya agar anaknya mau memakai Nike.
Dialog antara Vacaro dan Deloris berlangsung intens tapi dramatis. Viola Davis berakting sangat bagus, mencuri perhatian di antara aktor-aktor lain yang kebetulan kulit putih. Akting Davis meneguhkan bahwa dia adalah “mama sebenar-benarnya”. Deloris jadi ibu yang mewakili suara anaknya. Dalam film, sosok Michael Jordan disamarkan; wajahnya tak terlihat, suaranya bergumam.
Entah apa alasan Affleck memperlakukan Michael Jordan dalam film sedemikian rupa. Seolah-olah, bintang klub Chicago Bulls ini tak punya ruang bersuara. Lebih jauh lagi, absennya sosok Jordan seperti memberi garis tegas bahwa film ini bercerita tentang produk sepatu, tentang perjuangan Nike meningkatkan labanya.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud membocorkan film, Michael Jordan menjalin kontrak dengan Nike. Dia mendapat persenan dari setiap pasang sepatu yang terjual. Kesepakatan itu masih berlaku sampai Jordan pensiun. Popularitas Air Jordan, nama sepatu yang didesain Peter Moore itu makin moncer hingga hari ini. Beberapa penonton film di bioskop memakainya. Harga sepasang sepatu Air Jordan tak ada yang di bawah Rp 1 juta.
Sejumlah pertanyaan mengambang menjelang ujung film berdurasi 1 jam 52 menit ini. Misalnya, berapa sebenarnya profit yang didapat Nike dan Michael Jordan dari lini Air Jordan ini? Atau, apakah popularitas Air Jordan turut memakmurkan ribuan keluarga pekerja pabrik Nike di luar AS seperti Indonesia?
Alih-alih menjawab pertanyaan, film ditutup dengan pernyataan bahwa Air Jordan mendonasikan keuntungannya bagi pendidikan dan masa depan anak-anak tak mampu di AS. Wow, hampir dua jam menonton baru disadarkan bahwa film ini seperti video profil perusahaan lengkap dengan program kepedulian masyarakatnya dalam kemasan yang lebih glamor dan menghibur. Keluar dari bioskop seperti tak membawa apa-apa, alias hampa.