Prospek Konten Lokal yang Kian Cerah
Kandungan lokal menjadi tren ke depan. Tantangan terbesar, sineas harus luwes menangani kisah lokal agar bisa diterima audiens mondial.
Dunia perfilman semakin riuh dengan sineas-sineas yang menggeliat seiring meredanya pandemi mulai Indonesia hingga Asia. Optimisme tumbuh tak sekadar dipicu berseminya aneka tontonan secara kuantitas, tetapi juga muatan lokal yang kian universal untuk bisa dinikmati di berbagai belahan dunia.
Pejalan kaki yang hilir mudik melewati patung Raja Sejong di Seoul, Korea Selatan, Senin (20/3/2023), sekonyong-konyong heboh. Lebih kurang 300 warga spontan membentuk setengah lingkaran seraya menjerit histeris. Di ambang musim semi, mereka tak menghiraukan hawa dingin yang masih menggigit.
Beberapa petugas menghalau penggemar untuk mundur agar memberi ruang. Mereka yang melintas dibuat bertanya-tanya, apa gerangan yang dicari kerumunan itu. Usut punya usut, ternyata Park Ji-hyun yang memeriahkan program televisi Mr Trot 2, dikabarkan bakal hadir.
Tak sedikit pengagum Ji-hyun yang mengeluarkan ponsel dari saku dan mengarahkannya untuk bersiap memotret. Beberapa laki-laki sampai meloncat untuk mengamati lebih jelas. Sementara yang perempuan tak ketinggalan mengenakan bando yang dipasangi panel kecil beraksarakan Korea untuk menyambut idolanya.
Saat sang bintang tiba, histeria massa tak terelakkan. Ji-hyun yang mengenakan setelan merah bak pemain drumben dan bot hitam mengobati kerinduan pemujanya. Seusai bertemu sepasang kru, ia melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum semringah.
Demikianlah gelombang budaya pop Korea tengah menghunjam benak publik tak hanya di negaranya sendiri, tetapi juga global. Betapa pedestrian yang tengah melenggang saja tahu-tahu bisa bersirobok dengan pesohor secara acak lantaran begitu intensnya agenda dunia hiburan belakangan ini.
Di Grand Intercontinental Seoul Parnas, Korsel, keesokan harinya, bintang-bintang Kill Boksoon juga menyapa undangan dengan ramah. Sutradara sekaligus penulis naskah film aksi itu, Byun Sung-hyun, hadir bersama bintang-bintangnya, antara lain Jeon Do-yeon, Sol Kyung-gu, dan Kim Si-a.
Seusai pertemuan tersebut, beberapa tamu berpose dengan berlatar set panggung yang berhiaskan belati, kampak, pistol, vas bunga dan tanamannya, foto-foto keluarga, dan belanjaan. Maklum saja, Kill Boksoon mengisahkan ibu yang harus mengasuh anaknya sekaligus melakoni profesi sebagai pembunuh tangguh.
Kehebohan itu hanya sekelumit dari gegap gempita perfilman Korsel dengan sederet tontonan yang siap diluncurkan. Tak kurang dari Ballerina, Believer 2, The Great Flood, Yellow Door (WT), dan My Name is Loh Kiwan yang siap memuaskan dahaga penggila film Korsel hingga akhir tahun 2023.
Lewat kuliner
Tak hanya mengangkat haru birunya masyarakat modern. Sineas-sineas ”Negeri Ginseng” diketahui kerap mengangkat kultur lokal dengan mementaskan kisah-kisah pangeran, putri, hingga dayang kerajaan. Sebut saja Moon Embracing the Sun, Love in the Moonlight, dan Mr Sunshine yang meledak pula.
Serupa tapi tak sama, sinema-sinema Korsel sebenarnya tengah bergandengan dengan karya dari sejumlah negara Asia. Thailand, misalnya mengandalkan Hunger garapan Sitisiri Mongkolsiri yang dibintangi Chutimon Chuengcharoensukying, Nopachai Jayanama, dan Gunn Svasti Na Ayudhya.
Film tersebut mengangkat kelokalan lewat kuliner yang tentunya sudah dimafhumi jika Thailand kondang dengan sajian-sajian semisal tom yam, ketan mangga, dan pad thai. Dome, demikian sapaan sutradara itu, memang tak mengetengahkan hidangan lezat belaka, tetapi filosofi kerakusan manusia.
Tontonan tersebut akan ditayangkan Netflix pada awal April ini. Ia menyatakan keoptimisan soal prospek konten lokal yang kian cerah, selain lebih beragamnya pilihan genre film Thailand untuk bisa dinikmati pemirsa dunia dengan dijembatani penyedia layanan hiburan dunia itu.
”Sudah 10 tahun terakhir, film Thailand dikenal dengan horor dan komedinya melulu,” ujarnya saat ditemui di sela APAC Film Showcase di Seoul, Rabu (22/3/2023). Tahun ini saja, setidaknya lima film Thailand akan dirilis Netflix dan satu judul telah diluncurkan pada tahun 2022.
Dome pun bisa bernapas lega dengan berkurangnya beban setelah pengajuan anggaran diluluskan Netflix meski ia sungkan menyebut angkanya. ”Pokoknya, cukup uang dan waktu. Susah sebenarnya bikin Hunger karena saya mau film yang berkualitas. Kalau sama pihak lain, bujetnya mungkin rendah,” katanya.
Ia meyakini kandungan lokal menjadi tren ke depan. Tantangan terbesar, sineas harus luwes menangani kisah lokal agar bisa diterima audiens mondial. ”Korsel dan Jepang sudah piawai melakukannya. Kalau film dapat disaksikan di seluruh dunia, pekerja film seperti saya sangat terbantu,” katanya.
Kejutan Indonesia
Indonesia pun tak ketinggalan dengan Timo Tjahjanto yang menyuguhkan The Big 4. Kejutan lantas menyeruak dengan film aksi komedi yang meraih banyak tanggapan positif tersebut hingga menempati peringkat Top 10 Netflix internasional di 53 negara.
Tak hanya di Tanah Air, The Big 4 juga digandrungi di Malaysia, Vietnam, Hong Kong, Spanyol, Portugal, hingga Brasil. Seperti Dome, Timo didukung untuk mengeksplorasi kreativitasnya dengan dana, tetapi segendang sepenarian pula, ia enggan menyampaikan jumlahnya.
”Lebih dari cukuplah. Kebanyakan produksi film enggak sebesar itu. Lain kali aku minta lokasi di Honolulu (Amerika Serikat), deh,” guraunya seraya tergelak. Meski filmnya bukan yang termahal, ia sungguh senang karena permintaannya dipenuhi, seperti adegan-adegan yang dirampungkan di Bali.
Ia pun sangat leluasa berkreasi dengan shooting hingga 60 hari. Film Timo yang lain, The Night Comes for Us, bahkan memakan waktu hingga 72 hari. ”Kalau konten lokal, sejumlah film bisa berhasil. Favoritku, Joyland, film Pakistan. Bagus banget. Ceritanya diwarnai kultur yang spesifik,” katanya.
Ia mengibaratkan platform tontonan berbayar atau OTT, apalagi yang mewadahi film dari berbagai belahan dunia, bagaikan kolam besar. ”Aku tetap optimistis dengan konten lokal. Tantangan paling besar, kualitas kontrol. Enggak kayak Korsel, Jepang, dan Thailand yang sudah punya pegangan,” katanya.
Ia mencontohkan sejumlah film dalam negeri dengan pascaproduksi yang harus dilanjutkan di Thailand. Ekosistem perfilman Indonesia juga belum kuat. ”Belum dibangun benteng yang kuat supaya jadi negara yang produksi dan kualitasnya konsisten,” ujarnya.
Jika tak juga dibenahi, pencinta sinema dari Sabang sampai Merauke hanya dijejali dengan film yang mutunya begitu-begitu saja. ”Praktisi perfilman masih bekerja sendiri-sendiri. Kadang, serabutan sampai kuantitasnya tinggi banget, tapi standardisasi diabaikan,” ujarnya.
Produser asal India, Ronnie Screwvala, menilai produksi film kian adaptif. Sebelumnya, proses itu dipandu sutradara yang bekerja sama dengan penulis skrip. ”Sekarang, siapa pun yang punya kisah menarik, bisa menceritakannya,” kata pengusaha yang menelurkan Lust Stories 2 dan Mismatched itu.