Tentang John Wick yang Tak Mati-mati
Berjuang hingga titik darah penghabisan demi mengembalikan harga diri menjadi perjuangan pamungkas John Wick di seri keempatnya.

Salah satu adegan dalam film John Wick : Chapter 4.
Seri keempat John Wick (Keanu Reeves), pembunuh bayaran legendaris paling ditakuti, telah tayang di layar bioskop Tanah Air. Kerinduan para pencinta film laga pada aksi-aksi perkelahian brutal, baku tembak, dan kebut-kebutan yang terkoreografi apik ala Wick sepertinya bakal terpuaskan.
Dalam plot cerita di seri keempat ini, Wick kembali berhadapan langsung dengan 12 anggota The High Table, otoritas tertinggi sekaligus terkuat di jagat pembunuh bayaran dunia.
Perjuangan Wick menjadi rumit apalagi ketika ratusan pembunuh bayaran lain ikut nimbrung mengejar dan ingin membunuhnya. Menyandang status seorang excommunicado alias mereka yang melanggar sumpah setia pembunuh bayaran, kepala Wick dihargai hingga 40 juta dollar.
Jajaran The High Table di seri keempat diwakili karakter Marquis de Gramont (Bill Skarsgård) yang licik, bengis, dan sangat bernafsu menghabisi Wick. Ia juga harus menghadapi beberapa kawan lamanya sesama pembunuh bayaran hebat.
Marquis dengan culas menugasi sahabat Wick, Caine (Donnie Yen), seorang pembunuh profesional tunanetra. Caine sebetulnya enggan dan merasa terpaksa mengikuti perintah tersebut. Bagi Caine, Wick adalah seorang sahabat yang dia hormati.
Seperti tiga seri sebelumnya, film Wick episode keempat masih digarap sutradara Chad Stahelski. Beberapa pemain lama dari seri sebelumnya juga ikut tampil, antara lain aktor gaek Ian McShane dan Lance Reddick. Keduanya berperan sebagai Winston dan Charon, manajer dan petugas front desk The Continental, hotel tempat berlindung para pembunuh bayaran.

Lance Reddick sebagai Charon dan Ian McShane sebagai Winston dalam film John Wick: Chapter 4.
Di hotel itu para pembunuh profesional dilarang saling membunuh jika tak ingin mendapat sanksi berat, yakni diberi berstatus excommunicado dan bakal dihabisi.
Selain itu, ada Bowery King (Laurence Fishburne), Shimazu (Hiroyuki Sanada), Akira putri Shimazu (Rina Sawayama), dan pembunuh bayaran muda Tracker (Shamier Anderson). Sawayama, yang juga seorang penyanyi Inggris keturunan Jepang, membawakan salah satu lagu latar film ini, ”Eye For An Eye”.
Sebuah kabar duka datang sekitar sepekan jelang peluncuran film ini. Lance Reddick menginggal pada usia 60 tahum. Dalam adegan film, Charon yang diperankan Reddick diceritakan tewas tertembak. Kematian Reddick itu tentu saja membuat sedih para rekannya yang terlibat di film ini. Ucapan duka bahkan disisipkan dalam kredit film John Wick: Chapter 4 di bagian akhir.
Adapun peran Yen di film ini juga mengingatkan pada karakternya terdahulu di film Disney, Rogue One: A Star Wars Story (2016), menjadi seorang pejuang buta ahli bela diri. Dalam John Wick: Chapter 4, Yen sukses melobi sang sutradara untuk mengubah penampilan dan nama karakter yang dimainkannya.
Awalnya karakter Caine akan dinamai Chang atau Shang yang menurut Yen sangat stereotipe. Yen juga berhasil mengubah tampilan busana Caine jadi lebih stylish ketimbang rencana semula mengenakan pakaian bergaya tradisional China.
”Mengapa soal nama Anda harus begitu generik? Belum lagi pakaian yang dikenakan, tadinya mau pakai baju berkerah Mandarin. Lagi pula, ini kan film John Wick. Setiap orang seharusnya tampil keren dan modis. Mengapa dia (Caine) tidak bisa terlihat seperti itu juga, keren dan modis?” keluh Yen.
Sejak lama
Kerja sama antara Reeves dan Stahelski berlangsung lama, bahkan sejak sang sutradara masih berstatus aktor pemeran pengganti adegan berbahaya (stuntman). Stahelski pertama kali menjadi stuntman untuk Reeves di The Matrix (1999), film fenomenal di masanya. Kerja sama berlanjut hingga beberapa sekuel film sains fiksi tadi.
Karier Stahelski terus meningkat dan menjadikannya koordinator stuntman di banyak film, macam The Hunger Games: Catching Fire (2013) dan The Hunger Games (2012), The Wolverine (2013), The Expandables 2 (2012) dan The Expandables (2010), serta Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011).
Dengan latar belakang ini Stahelski dipastikan sangat menguasai bidangnya. Dia juga memulai kariernya dari bawah dan mempelajari banyak ilmu bela diri, seperti kick boxing dan jeet kun do. Bela diri terakhir diciptakan aktor laga legendaris sekaligus master bela diri Bruce Lee.
Tidak mengherankan di seri keempatnya ini film John Wick kembali dipenuhi berbagai koreografi pertarungan nan brutal tetapi rapi serta mengalir cantik bak sebuah pertunjukan tarian balet. Beragam jenis pertarungan, mulai dari tangan kosong, senjata tajam dan tumpul, serta dengan senjata api, terlihat sambung-menyambung.
Sang sutradara sepertinya tahu bagaimana merancang semua adegan laga demi memuaskan dahaga para pencinta pertarungan senjata jarak dekat. Teknik-teknik pukulan, tendangan, sikutan, bantingan, dan pitingan yang efektif, lalu diakhiri hantaman atau tembakan final mematikan.
Dahsyatnya, semua itu dapat dengan enak ditonton lewat berbagai sudut pengambilan gambar, bahkan dari sudut pandang burung (birdeyes view). Pergerakan Wick dan para musuhnya tampak jelas dari satu ruangan ke ruangan lain seperti melihat sebuah permainan (gim) animasi video komputer bertema tembak-tembakan.
Selain beragam senjata api di seri ini, pertempuran tembak-tembakan juga diperseru dengan aksi senapan sembur (shotgun) berpeluru khusus, dragon’s breath, yang membuat korbannya terbakar.

Donnie Yen sebagai Caine dalam film John Wick: Chapter 4.
Namun, begitu kehebatan Wick dalam film ini lagi-lagi terkesan terlalu hebat dan terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Dalam setiap perkelahian, satu melawan banyak musuh, Wick selalu digambarkan menang walau dengan luka-luka parah. Padahal, Wick berkali-kali digambarkan tersayat atau tertusuk senjata tajam, terpukul, tertembak, tertabrak, terbanting, dan bahkan terjatuh dari ketinggian dalam posisi fatal.
Namun, Wick selalu bisa bangkit dan balik menghajar para musuhnya seolah punya banyak nyawa dan memiliki kemampuan menyembuhkan diri dalam waktu singkat. Wick Tak mati-mati. Walau dikoreografikan dengan baik, rangkaian adegan pertempuran jarak dekat yang terasa terlalu panjang dan beberapa adegan perkelahian bahkan ada yang terkesan diulang-ulang.
Lokasi Paris
Penggambaran perjuangan Wick untuk berusaha tetap bertahan dengan terus bangkit melawan satu per satu musuhnya memberi kepuasan kepada penonton. Tambah lagi lokasi-lokasi pertempuran di kota Paris, yang seharusnya menjadi tempat identik dengan hal-hal serba penuh cinta dan romantis. Beberapa lokasi dan bangunan ikonik dipilih menjadi lokasi pengambilan gambar.
Tempat-tempat itu seperti wilayah perbukitan Montmartre, Taman the Trocadero dengan pemandangan Menara Eiffel di seberangnya, serta Arc de Triomphe alias Monumen Kematian, makam simbol gugurnya 1,4 juta prajurit Perancis di Perang Dunia I.
”Berakting di Paris selalu menjadi impian saya. Dan untuk bisa kembali bekerja di sana tentunya sangat luar biasa. Proses shooting pada malam hari di beberapa tempat untuk film John Wick: Chapter 4 kali ini, seperti di depan Sacre-Coeur, tangga di Montmartre, dan di kanal bawah kota, sangat spesial,” ujar Reeves, seperti dikutip kantor berita AFP.
Terakhir kali Reeves berada di lokasi-lokasi tersebut 35 tahun lalu untuk pengambilan gambar film berbeda, Dangerous Liaisons (1988). Kini, di usianya yang menjelang enam dekade, Reeves masih tampil prima lewat beragam adegan laga yang menantang sepanjang filmnya ini. Seluruh adegan perkelahian tampak sangat nyata dan menyakitkan.
”Apa yang kami lakukan tidaklah mudah. Saya perlu berlatih selama berbulan-bulan sebelum melakukannya. Latihan dan bekerja sama dengan tim para stuntman,” kisahnya.
Meski begitu, di luar aksi laga yang rumit, Reeves menyebut justru ketegangan-ketegangan internal yang diperlihatkan sang tokoh utama itu sendirilah yang membuat para penonton terpikat.
”Sosok John Wick sebagai seorang pria dan juga pembunuh saling berinteraksi dan terhubung walau hampir saling memerangi satu sama lain. Interaksi dan ketegangan itulah yang membuatnya menarik,” ujar Reeves coba menjabarkan karakternya.