Hampir sebagian lagu di album ”Songs of Surrender” terasa hambar dan kurang pas meski didengarkan berulang-ulang. Sejumlah lagu juga dengan mudah ditinggalkan sebelum lagu itu mencapai ”chorus”.
Oleh
YUNIADHI AGUNG
·4 menit baca
UNIVERSAL VIA AP PHOTO
Cover album Songs of Surrender dari band Irlandia, U2.
Mahagrup U2 mencoba membuat kejutan dengan merilis album baru. Penggemar musik pun antusias menyimaknya meski pada akhirnya mereka akan terkejut dengan keputusan pembuatan album Ini.
Kuartet asal Republik Irlandia yang beranggotakan Paul David Hewson alias Bono, The Edge, Adam Clayton, dan Larry Mullen Jr ini telah menapaki singgasana emas legenda musik dunia. Lagu-lagu U2 tidak hanya menjadi lini waktu sejarah perkembangan musik, tetapi juga menjadi simbol dan digunakan untuk berbagai aktivitas sosial, politik, dan lingkungan hidup. Pokoknya, jika mau bergerak, mainkan lagu U2.
Personel U2 konsisten dengan prinsip hidupnya. Bono, sang vokalis flamboyan, menjadi juru kampanye kesetaraan umat manusia dan memperjuangkan hak warga di negara-negara miskin di Afrika. Kedewasaan pemikiran turut mengubah gaya bermain musik mereka. U2 di awal kariernya adalah sekumpulan musisi yang berteriak kencang terhadap kondisi kehidupan, sementara U2 sekarang adalah para pria yang telah memaknai kehidupannya.
U2 mengawali kiprahnya lewat album Boy di tahun 1980 dan empat puluh tiga tahun kemudian telah membuat 15 album dan menggelar ribuan konser dengan ratusan juta penikmat musik yang terpuaskan oleh penampilan mereka. Tahun ini, U2 merilis album baru berjudul Songs of Surrender pada 17 Maret 2023. Songs of Surrender adalah album ketiga U2 yang diawali dengan judul Songs of… setelah Songs of Innocence (2014) dan Songs of Experience (2017). Album ini cukup menjanjikan karena ditambahi embel-embel re-recorded dan reimagined 40 lagu yang pernah dibuat oleh U2 sepanjang karier musik mereka. Ini berarti para penggemar U2 bisa menikmati dekonstruksi lagu-lagu U2 kesayangan mereka.
Daftar lagu di album Songs of Surrender cukup mentereng, mulai dari ”With or Without You”, ”Sunday Bloody Sunday”, ”Pride (In The Name of Love)”, hingga ”City of Blinding Lights”. Penggemar U2 menjadi penasaran bagaimana para personel U2 menyajikan ulang lagu-lagu tersebut secara akustik. Mereka berharap bisa mendapatkan kepuasan kedua dari lagu-lagu yang irama dan liriknya sudah tersimpan kuat di memori mereka.
AP PHOTO
Para anggota band asal Irlandia, U2, dari kiri: vokalis Bono dalam penampilan di Washington, 17 Juni 2018; The Edge dalam penampilan di Chicago, 22 Mei 2018; Larry Mullen Jr dan Adam Clayton saat tampil di Bonnaroo Music and Arts Festival di Manchester, Tennessee, 9 Juni 2017. Band ini baru saja merilis album baru berjudul Songs Of Surrender yang berisi koleksi 40 lagunya yang direinterpretasi.
Meski demikian, sebagian penggemar U2 mungkin akan mendapatkan pengalaman yang tidak mengenakkan seusai menyimak satu demi satu lagu yang ada di Songs of Surrender. Konsep album ini dibuat sederhana dan membebaskan tokoh protagonis U2, Bono, untuk bernyanyi sesuai dengan rasa hatinya. Sejumlah pengamat musik menilai Bono sedang mengekspresikan dan berkontemplasi dengan perjalanan hidupnya dan kemudian menerjemahkan ulang lewat kemampuan vokal yang sesuai dengan usianya saat ini, 62 tahun.
Bono menjadi tua dan bijaksana serta bernyanyi dengan gaya yang dia rasa cocok dengan musik minimalis. Hasilnya, suara Bono yang berat dan pelan terasa harus diseret-seret dengan irama lagu yang dilambatkan dari versi aslinya. Personel lain juga terasa tertatih-tatih untuk mengiringi pola menyanyi Bono. Jika maksud U2 untuk memberi pengalaman baru bagi lagu lama, niat tersebut telah berhasil. Hanya saja, itu bukan pengalaman yang indah. Hampir sebagian lagu di album Songs of Surrender terasa hambar dan kurang pas meski didengarkan berulang-ulang. Sejumlah lagu juga dengan mudah ditinggalkan sebelum lagu tersebut mencapai chorus.
Menafsir ulang lagu dan menyajikan dalam versi yang sederhana, seperti versi akustik adalah pekerjaan yang sama beratnya dengan membuat lagu baru. Salah satu contoh yang berhasil melakukannya adalah Eric Clapton yang di masa pandemi ini merilis album live The Lady in The Balcony: Lockdown Series. Album yang dikerjakan Clapton untuk mengisi kegiatan pada masa pembatasan kegiatan karena Covid-19 itu menjadi bentuk nyata bahwa daur ulang lagu dengan versi akustik yang digarap dengan serius akan menjadi versi yang kalau tidak mau disebut terbaik, ada versi yang lebih baik. Band The Cure juga melakuan hal yang sangat simpel, menghilangkan bunyi-bunyi elektrik dan memainkan lagu dengan nada serta aransemen yang sama dan hanya menggunakan peralatan musik akustik lewat album Acoustic Hits yang menjadi alter ego album Greatest Hits mereka.
Sebaliknya, Songs of Surrender adalah sebuah keputusan yang tidak tepat yang dilakukan oleh U2. Album ini kisahnya mungkin akan sama seperti ketika Bon Jovi merilis album This Left Feels Right. Album itu terguling dan terjerembab jauh ke dalam lembah dan menjadi salah satu proyek terburuk yang dilakukan oleh sebuah band. Semoga saja U2 tidak menyerah untuk memproduksi lagu-lagu bagus seusai merilis album Songs of Surrender....
AP PHOTO/GREG ALLEN
Para personel U2, dari kiri: Adam Clayton, Bono, The Edge, dan Larry Mullen Jr tiba di Kennedy Center Honors di Washington pada 4 Desember 2022.
Editor:
BUDI SUWARNA, DAHONO FITRIANTO, MOHAMMAD HILMI FAIQ