Altar bagi Topeng, Obor, dan Batik Metal
Hammersonic memanggungkan 53 band dengan tabiat masing-masing. Watain membawa obor. Batushka menggelar misa Minggu. Slipknot menggila dengan topengnya. Vokalis Trivium pakai batik. Black Flag unjuk wibawa. Menyenangkan!

Ribuan penonton merekam dengan gawainya menjelang penampilan band Slipknot dalam Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023).
Terberkatilah penggemar musik metal di Indonesia. Belum lama didatangi band Deep Purple, yang bersama Led Zeppelin dan Black Sabbath disebut-sebut sebagai trisula peletak dasar heavy metal, pekan lalu giliran ”anak didik” mereka yang beraksi di ajang Hammersonic Festival di Ancol, Jakarta Utara. Para “murid” Deep Purple ini lebih ugal-ugalan.
Sebanyak 53 penampil selama dua hari penyelenggaraan Hammersonic, tak satu pun yang memainkan musik heavy metal gaya Deep Purple atau Led Zeppelin. Mereka telah berevolusi sedemikian rupa dari akarnya. Ada yang bercorak death metal, metalcore, hardcore, emocore, pop punk, rap metal, thrash metal, punk rock, sampai yang paling ekstrem; black metal.
Penampil utama festival yang yang tertunda selama tiga tahun, di antaranya karena pandemi Covid-19 ini, adalah band Slipknot asal Iowa, Amerika Serikat. Mereka main di panggung utama bernama Empire Stage pada pengujung Minggu (18/3/2023). Band ultra kencang ini sejak awal berdirinya tahun 1995 sudah memakai topeng dan baju terusan pekerja bengkel. Identitas itu melekat sampai hari ini meski personel dan corak topeng berganti.
Ide memakai topeng itu berasal dari penabuh perkusi Shaun Crahan alias Clown “Si Badut”, sang penggagas Slipknot. Asal-muasal memakai topeng bermula dari sebelum pentas pertama mereka di malam Halloween tahun 1995. ”’Kalian mau pakai apa?’ Aku mengeluarkan topeng badut, lalu kubilang, ’Aku pakai ini’,” kenang Crahan kepada Metal Hammer.
Personel lainnya tidak serta-merta setuju. Namun, mereka ogah juga kalau cuma Crahan seorang yang tampil menonjol. “Aku enggak peduli apa kata mereka, tetapi inilah aku, dan ini yang mau kupakai. Begitulah (topeng) itu jadi bagian dari kami bertahun-tahun ini,” lanjut Crahan. Sembilan personel band pakai topeng semua.

Penampilan pemain perkusi Slipknot, Shawn Crahan, dalam Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023). Festval tahunan Hammersonic yang menjadi festival musik cadas terbesar se-Asia Tenggara ini sempat terhenti akibat pandemi.
Corey Taylor, yang menurut Crahan semula ogah pakai topeng, merasa topeng mewakili identitas sejati musiknya, beringas dan menyeramkan. ”Di masa awal kami, muka-muka ganteng dan manis mendominasi industri musik. Wajah adalah jualan utamanya. Kami menutup muka dengan topeng. Jadi musik adalah prioritas kami,” kata Taylor.
Topeng itu bawa tuah. Slipknot menonjol dibandingkan rekan seangkatan di kancah nu-metal, bahkan diikuti band lain seperti Mushroom Head dan Mudvayne.
Sejak album pertama, Slipknot (1999), sampai yang teranyar, The End So Far (2023), topeng mereka telah berganti. Dandanan seperti itu pula yang terlihat pada penampilan perdana mereka di Indonesia pada akhir pekan lalu. Taylor memakai topeng putih pucat dengan lingkaran hitam di mata seperti menyimpan kebengisan.
Baca juga: Satu Panggung Tiga Raja
Mick Thompson juga ganas dengan topeng metaliknya, seganas permainan rif gitar dia. Di balik topengnya pula, perkusionis anyar Michael Pfaff seperti tanpa malu berkelojotan di atas set instrumennya bila tidak sedang ditabuh.
Imaji Slipknot sejurus dengan racikan musik metal kontemporer mereka yang menderu, berisik, dan kasar. Tata suara dan panggung mendukung “kegilaan” mereka malam itu, sampai penonton sejenak lupa Senin sudah mengintai.
Sebelum Slipknot, di panggung yang sama, band Trivium asal Florida, yang lebih melodius seperti berusaha merebut perhatian penonton Indonesia. Vokalis dan gitarisnya, Matt Heafy pakai kemeja batik ngepas badan, lalu berganti dengan jersei tim sepak bola Indonesia. Berkali-kali dia menanyakan, “Apa kabar?” Wibawa band metalcore ini jadi tak sekuat Slipknot, apalagi Amon Amarth.

Vokalis band Trivium, Matt Heavy, mengenakan kemeja batik saat tampil di Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023).
Amon Amarth adalah band dari Swedia yang tampil sebelum Trivium. Mereka sudah tergolong veteran di kancah metal. Banyak yang menyebut musik mereka adalah viking metal, karena bercerita tentang kejayaan pelaut Skandinavia berabad silam.
Postur personelnya tegap-tegap. Aksi panggungnya megah. Jocke Wallgren menabuh drum di atas “haluan kapal” bikinan. Vokalisnya Johan Hegg mengajak penonton bersulang dengan mengangkat gelas berbentuk tanduk. Viking sekali.
Atmosfer bengis
Sosiolog Keith Kahn-Harris dalam bukunya, Extreme Metal: Music and Culture on the Edge (2007), menggolongkan Amon Amarth sebagai bagian dari kancah metal ekstrem. “Ada bentuk metal yang liyan; paling hidup secara artistik, paling dinamis, sekaligus paling problematik di kancah metal. Secara umum, mereka disebut metal ekstrem (extreme metal),” tulis Kahn-Harris.
Definisi dari Kahn-Harris itu rasanya pantas disandang oleh 53 penampil Hammersonic tahun ini. Mau band dalam negeri atau luar negeri, tak satu pun yang mainnya “lurus-lurus” saja. Di hari pertama, Sabtu, misalnya ada Pure Wrath dari Bekasi yang memainkan black metal bertopik tragedi 1965—yang sayangnya tampil di siang yang terik. Malamnya ditutup dengan aksi thrash metal veteran Vio-Lence dari Bay Area, San Francisco, AS, yang bermain bernas.
Di hari kedua, yang kebanyakan artis internasional, setidaknya ada dua nama yang kebangetan ekstremnya. Keduanya bercorak black metal. Nama pertama adalah rekan senegara Amon Amarth, Watain. Band bentukan 1998 ini main di panggung medium Hammer Stage. Ada dua salib terpancang di bibir panggung. Set drum diapit ornamen layaknya kuil.

Penampilan band asal Swedia, Watain, dalam Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023).
Vokalis Watain, Erik Danielsson, naik panggung sambil membawa obor. Ketika rekan-rekannya membunyikan instrumen, Erik menyalakan tungku di depan kick drum, juga di atas salib-salib itu.
Aroma spiritus dan minyak tanah menguar. Api-api menyala. Musik black metal segera menderu. “Night Vision” dari album The Wild Hunt jadi lagu pembuka, disusul dengan lagu baru “Ecstasies in Night Infinite”.
Bunyi gitar dan bas sama nyaringnya. Ritme dari drum ditingkahi blast beat tanpa ampun. Nuansa punk rock berdistorsi metal mengiringi vokal Erik yang cenderung menyayat; bengis dan jahat. “Malam ini, kita akan merayakan periode sebelum ada agama apa pun,” kata Erik sebelum memulai nomor kencang “Sworn to the Dark”.
Pertunjukan Watain selama 50 menitan itu beratmosfer liar dan jahat. Lirik-liriknya, seperti di lagu “Legions of the Black Light” menyiratkan pemujaan pada kuasa gelap, seperti diterjemahkan “cahayamu menyinari kuil kami, ketika kami berbaris menuju sisi lain….” Api sudah menyala di beberapa titik. Pakaian Erik compang-camping di balik rompi lusuh dengan muka berias putih seperti mayat. Begitu juga personel lain.
Sosiolog University of Alberta, Matthew P Unger dalam bukunya Sound, Symbol, Sociality: The Aesthetic Experience of Extreme Metal Music (2016), menyebutkan, band black metal berfokus pada atmosfer. “Atmosfer itu diciptakan dari bunyi, nuansa, konsep panggung yang menyiratkan kegelapan atau kebengisan,” katanya.
Pindah ibadah
Itu makanya, panggung Watain terlihat seram bahkan sebelum mereka memulai pertunjukan. Nuansa serupa juga terjadi ketika band Batushka asal Polandia main sebelum rehat Maghrib. Racikan musik mereka sama kelamnya dengan Watain. Namun, nuansanya lebih magis.

Penonton yang merias wajahnya saat acara Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023).

Kerumunan ribuan penonton ketika penampilan Slipknot dalam Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (19/3/2023). Festival ini menghadirkan sejumlah kelompok musik dunia, seperti Black Flag (Amerika Serikat), Slipknot (Amerika Serikat), Vio-lence (Amerika Serikat), Batushka (Rusia), Trivium (Amerika Serikat), Burgerkill (Indonesia), dan sejumlah kelompok musik cadas lainnya. Penonton yang hadir dalam festival ini bukan hanya dari penjuru Indonesia, melainkan juga dihadiri para penggemar musik ekstrem dari beberapa negara lain.
Batushka terang-terangan “memindahkan” altar gereja Ortodoks Rusia ke panggung. Delapan personelnya semua pakai jubah bertudung kepala seperti biarawan Ortodoks dengan ornamen analovos di bagian dada.
Wajah mereka berselubung kain hitam. Gitar bersenar delapan dimainkan liar dengan ketukan yang kadang cepat. Paduan suara di bagian belakang kadang bernyanyi seperti litani. Gemerincing lonceng dibunyikan. Air “suci” dicipratkan. Susunan lagunya terasa seperti urutan liturgi.
Dalam sebuah wawancara, pendiri Batushka, Krzysztof Drabikowski berujar, dia memang sengaja memadukan rif black metal dengan nyanyian gerejawi. “Ada yang berkomentar bahwa himne gereja lebih metal daripada lagu metal mana pun,” katanya.
Drabikowski tak datang ke Jakarta, tetapi rekannya, Bartlomiej Krysiuk, karena Batushka pecah kongsi. Album pertama mereka bertajuk Liturgiya (2017) dengan formulasi demikian.
Atmosfer yang ditunjukkan Batushka di panggung sama kuatnya dengan Watain. Bedanya, menyimak Batushka lebih khusyuk—apalagi itu adalah hari minggu. Sementara Watain lebih berapi-api penuh agresi.
Bisa menonton Batushka dan Watain di Indonesia, apalagi dalam satu festival adalah kemewahan tersendiri. Setiap band, meminjam istilah Kahn-Harris, punya problematika serupa. Pada 2019, Watain dilarang tampil di Singapura karena liriknya dianggap memicu kekerasan dan penghinaan. Sementara Batushka ditolak tur di Belarus dan Rusia oleh komunitas Ortodoks di sana.

Aksi panggung kelompok Burgerkill dalam acara Hammersonic Festival 2023 di Jakarta International E-Prix Circuit, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (18/3/2023).
Di antara penampil yang heboh urusan kostum, riasan, dan tata panggung, ada Black Flag, veteran punk rock yang terkesan apa adanya. Empat personelnya sepakat pakai kaus polos. Menyandang nama besar tak perlu gimik ini-itu. Mereka juga ikut memasang instrumen sebelum main, dan membereskannya sesuai tampil. Etos do-it-yourself melekat di dada meski tinggal menyisakan gitaris Greg Ginn sebagai anggota asli.
Baca juga: Selagi Bisa Sambangilah Konser Idola
Black Flag adalah tiang pancang punk rock dari era 1980-an yang agresivitasnya diadopsi banyak subgenre musik rock, heavy metal, termasuk extreme metal. Daftar lagu mereka menyenangkan banyak penggemarnya, seperti “Gimme, Gimme, Gimme”, “My War”, “Six Pack”, “Slip It In”, dan “Jealous Again”. Terpantau di arena penonton ada personel lengkap band Seringai, dan Bowie dari Gugun Blues Shelter. Iwan Fals sempat menonton Watain.
Parade musik ekstrem Hammersonic kali ini terbilang menyenangkan penonton yang konon mencapai 70.000 orang. Penggunaan Jakarta International E-Prix Circuit sebagai arena sangat luas untuk festival dengan lima panggung. Namun, siang sampai sore sangat panas, minim ruang berteduh. Tak ada mitigasi berteduh jika tiba-tiba hujan deras. Jumlah toilet terlalu sedikit. Harga jajanan di dalam arena relatif mahal; nasi goreng Rp 85.000 sepiring, air mineral Rp 10.000 sebotol. Benar-benar ekstrem buat kebanyakan orang.