Meski hanya sebagian, inilah ”matrajiva” yang menunjukkan spektrum dimensi jiwa manusia Indonesia yang mustahil untuk diseragamkan.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung menikmati karya seni yang disuguhkan dalam pameran seni kontemporer Artina #2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023). Karya-karya seni dalam pameran Artina dapat dinikmati hingga 31 Mei 2023.
Ada yang menarik dari pameran seni rupa Artina kedua di gedung pertokoan Sarinah, Jakarta Pusat. Manifestasi spiritualitas Nusantara yang begitu beragam disuguhkan kepada publik. Meski hanya sebagian, inilah ”matrajiva” yang menunjukkan spektrum dimensi jiwa manusia Indonesia yang mustahil untuk diseragamkan.
Manifestasinya tidak begitu rumit. Salah satunya ada instalasi jembatan bambu yang mengacu kearifan masyarakat Badui yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten. Jembatan dibangun secara kolektif yang dimotori arsitek Yori Antar bersama komunitas Urang Badui sebanyak delapan orang, Tim Muda Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sembilan orang dan UMA Nusantara 12 orang.
”Apakah jembatan ini boleh dinaiki?” kata seorang pengunjung kepada yang bertugas jaga di ruang pamer Artina #2, lantai 6 gedung Sarinah, Selasa (7/3/2023) siang itu.
Pameran Artina #2: Matrajiva berlangsung pada 4 Maret hingga 31 Mei 2023. Sebanyak 22 seniman individu ataupun kolektif menampilkan karya yang terinspirasi spiritualitas Nusantara sebagai spiritualitas yang mewujud menjadi matra. Inilah makna tema ”Matrajiva”.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Arsitek Yori Antar menampilkan karya berjudul "Diajar Ti Urang Badui" dalam pameran seni kontemporer Artina #2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2023).
Di antaranya spiritualitas orang Badui, yang sebetulnya lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes. Mereka memiliki spiritualitas sederhana dan menyatu dengan alam, yang kerap dikaitkan sebagai penghayat Sunda Wiwitan.
Di ruang pamer Artina, jembatan bambu dengan bentangan tidak kurang dari 10 meter terpajang. Itu memang bukan sekadar jembatan pajangan. Pengunjung berapa pun jumlahnya diperbolehkan naik dan melintasinya. Beberapa pengunjung menguji kekokohan jembatan bambu itu dan memang benar terbukti.
Di dinding di dekatnya ada monitor video yang menunjukkan proses pembuatan jembatan bambu di alam terbuka oleh orang-orang Badui. Mereka mengenakan baju adat hitam-hitam dan ikat kepala berwarna biru tua sedang bergotong royong menyusun bambu demi bambu dan mengikatnya satu sama lain dengan tali ijuk. Tidak seberapa lama jembatan di atas sungai itu selesai.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Agus Suwage menampilkan karya berjudul "Siklus" dalam pameran seni kontemporer Artina #2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2023).
Mereka tak menggunakan paku, baut, mesin bor, kawat besi, atau perlengkapan modern lainnya. Bambu-bambu itu dipersatukan hanya dengan ikatan tali ijuk berwarna hitam. Pengunjung bisa menyaksikan bahan ijuk di ruang pamer itu. Di samping monitor video dipajang serabut pohon aren yang menjadi bahan mentah tali ijuk, tali alami yang memiliki keistimewaan tidak membusuk, bahkan makin menguat di habitat yang dekat dengan air.
Heri Pemad, Direktur Artistik Artina, bercerita, orang-orang Badui datang ke Sarinah dan diajak membangun jembatan bambu itu. Mereka menyelesaikannya selama seharian penuh di ruang pamer. Jika di tempat asalnya di alam terbuka, mereka hanya membutuhkan waktu paling lama empat jam.
Heri Pemad menyebutkan, pemerintah saat ini mencatat sedikitnya ada 140 kepercayaan dengan jumlah penghayat yang tentu tidak sedikit tersebar di Nusantara. Lelaku spiritual dari beragam penghayat ini melahirkan peradaban tersendiri.
”Peradaban yang lahir dari lelaku spiritualitas kenusantaraan ini yang jarang mendapatkan tempat untuk dihadirkan di ruang publik. Saya membayangkan, suatu saat ada sebuah festival penghayat spiritualitas Nusantara. Artina menuju ke arah itu,” kata Heri Pemad.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Karya Rubi Roesli berjudul "Biroe X Viro" dalam pameran seni kontemporer Artina#2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2023).
Artina menghadapi keterbatasan ruang dan anggaran sehingga hanya mampu mencuplik sebagian kecil lelaku peradaban para penghayat spiritualitas Nusantara. Heri Pemad berharap pameran Matrajiva bisa terus berkelanjutan demi memetakan peradaban spiritualitas asli Nusantara.
Heri Pemad melihat peserta lain pameran ini juga menyajikan gerakan sosial yang panjang dalam menelusuri spiritualitas Nusantara. Hal itu antara lain Edward Hutabarat, perancang terkemuka yang menggali tradisi masyarakat lokal Nusantara yang mewujud dalam peradaban mencipta kain atau wastra bernilai tinggi.
”Keikutsertaan saya untuk pameran Artina ini hanya ingin menyampaikan bahwa keberagaman Nusantara itu pemersatu bangsa. Harmoni atas suatu keberagaman itu kuncinya,” ujar Edo, sapaan akrab Edward Hutabarat.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Karya desainer Edward Hutabarat yang mengusung tema BIma dan Sumbawa dipamerkan dalam pameran seni kontemporer Artina#2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2023) Edward menampilkan sejumlah karya berupa instalasi media campuran.
Edo menampilkan berbagai koleksi foto, video, kain tenun tradisional, rancangan pakaian dengan kain tenun tradisional, dan pernak-pernik tradisional seperti kandang burung. Ia memilih koleksinya dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan Sumbawa dari Nusa Tenggara Barat.
”Koleksi untuk Artina ini hanya sebagian kecil dari yang saya kumpulkan selama 20 tahun berkeliling Nusantara. Koleksi itu mungkin hanya satu persen dari semua yang berhasil saya kumpulkan dari sejumlah daerah di Indonesia,” ujar Edo, yang berkeinginan menyumbangkan koleksi artefak peradaban Nusantara itu untuk museum di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara jika sudah terbentuk nantinya.
Beberapa foto ditampilkan Edo. Salah satunya foto anak-anak di Sumba dan Sumbawa dalam kompetisi pacuan kuda. Edo memotretnya sendiri. ”Saya ingin berbagi ke Unicef kalau masih ada anak-anak di Indonesia yang ikut da lomba pacuan kuda tanpa pelindung yang memadai,” kata Edo.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Perajin memperagakan pembuatan kain tenun Sumbawa dalam pameran seni kontemporer Artina #2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023). Karya-karya seni dalam pameran Artina dapat dinikmati hingga 31 Mei 2023.
Dari kain tenun Sumba, Edo menceritakan bahwa kain tenun yang diciptakan bukan semata untuk memenuhi kebutuhan pakaian di sana. Tenunan tradisional digunakan sebagai ritual atau bagian dari lelaku spiritualitas Merapu, doa yang ditujukan kepada para leluhur mereka.
Edo menolak penyebutan para penenun ini sebagai perajin kain tenun tradisional. Ia memilih istilah mereka sebagai artisan yang berhasil merawat dan menjaga seni tradisi tenun dari leluhur mereka.
Edo begitu peduli dengan kelangsungan hidup para penenun tradisional. Mereka itulah yang menyuguhkan keberagaman sejati Nusantara. Mereka membutuhkan kolaborasi dengan banyak perancang.
”Kesejahteraan menjadi kunci harmoni sebuah keberagaman. Ketika masyarakat itu tidak sejahtera atau berpendidikan yang tidak cukup, mereka mudah dipengaruhi untuk menenggelamkan harmoni dan keberagaman,” kata Edo.
KOMPAS/EDDY HASBY
Wa' anak Witu Watu (Beranak dalam Batu), film berdurasi 24 menit karya Natsha Tontey ditayangkan dalam pergelaran seni kontemporer Artina#2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (12/3/2023).
Peserta lain, Natasha Tontey, berusaha menyuguhkan pengalaman kembali ke tanah leluhur di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia datang ke Watu Pinawetengan dan melihat praktik Mapalus berlandaskan kerelawanan, kekerabatan dengan sesama dan alam.
”Dalam karya saya, dinamika kosmologi Minahasa digali bersama potensinya untuk membayangkan dunia alternatif yang praktis tidak ada fenomena antroposentrisme,” ujar Natasha.
Pameran Matrajiva sesungguhnya memiliki tujuan sederhana. Seperti diungkapkan kurator pameran ini, Agung Hujatnika, pameran ini sekaligus ekspresi mencari makna dan tujuan hidup.
Matrajiva berangkat dari premis bahwa spiritualitas adalah kapasitas intrinsik yang ada dalam diri setiap manusia. Kesenian yang terlahir adalah manifestasi dari spiritualitas Nusantara yang unik dari pertukaran dan percampuran nilai kehidupan yang majemuk.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung menikmati karya seni yang disuguhkan dalam pameran seni kontemporer Artina #2 di galeri Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023). Karya-karya seni dalam pameran Artina dapat dinikmati hingga 31 Mei 2023.