Mantra Ketidakterdugaan Goenawan Mohamad
Ketidakterdugaan seperti mantra bagi Goenawan Mohamad di saat menciptakan gambar atau lukisan, dan kini bertemu teknik seni cetak grafis.
Goenawan Mohamad (82), yang lebih dikenal sebagai penulis dan penyair, makin rajin memamerkan karya-karya seni rupa. Ketidakterdugaan seperti mantra baginya di saat menciptakan gambar atau lukisan, dan kini bertemu teknik seni cetak grafis.
Pada Oktober 2022, Goenawan menghadiri dan membuka pameran seni rupa karya Syakieb Sungkar di Ubud, Bali. Ketika itu, ia menyempatkan mampir ke sebuah studio seni cetak grafis di Ubud, Devto Printmaking, yang dikelola seorang master printer Devy Ferdianto. Mulai tertariklah Goenawan untuk menyelami teknik seni cetak grafis di situ.
”Sejak itu hingga awal 2023 Goenawan Mohamad sering bolak-balik dari Jakarta ke Bali untuk berkarya di studio ini. Goenawan termasuk bisa cepat beradaptasi dengan tahapan-tahapan teknik cetak grafis,” kata Devy Ferdianto, Kamis (23/2/2023), ketika dihubungi di Bali.
Goenawan menempuh teknik seni cetak grafis intaglio dan litografi. Karya-karyanya saat ini dipamerkan di Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan. Pameran itu bertajuk Kitab Hewan: A Book of Beasts, berlangsung 16 Februari hingga 16 Maret 2023.
Dalam waktu hampir bersamaan, sebelumnya karya seni cetak grafis Goenawan juga dipamerkan di Sikka Gallery, Gianyar, Bali. Goenawan memamerkan sekitar 35 karya dengan teknik intaglio dan litografi di dua tempat itu.
”Dalam berkarya, saya tidak digerakkan oleh ide. Saya menggambar itu tidak bertujuan. Ide barangkali bisa saja ada, tapi hanya di awal, selebihnya kebebasan tangan atas dorongan dari dalam yang menggerakkan,” ujarnya.
Goenawan meneguhkan spontanitas dan dorongan bermain dalam menciptakan karya-karyanya. Ini menjadi kekuatan yang menghidupkan kemampuan menggambar Goenawan ke dalam karya-karya seni cetak grafisnya.
”Hampir semua karya seni cetak grafisnya cenderung tidak tetiba atau malah cenderung rusuh,” ujar kurator pameran Srie Malela Mahargasari.
Pameran Kitab Hewan: A Book of Beasts menampilkan cerapan atau citra yang sejenis dari dunia hewan. Citra hewan itu bukanlah realis. Gerak kebebasan Goenawan melampauinya.
Ada yang mirip burung, kuda, dan tikus. Anatomi tubuh pun banyak yang dibentuk tidak utuh dan rinci.
”Goenawan memang tidak hendak menyalinnya dari realitas hewan sesungguhnya. Oleh sebab itu, acapkali karya-karya Goenawan tidak kita kenali persis jenis hewannya,” kata Srie Malela.
Mengenai tajuk pameran Kitab Hewan, menurut Srie Malela, Goenawan memiliki semacam peristiwa berkaitan tentang hewan di masa anak-anak yang selalu mengendap. Ia lupa tentang persis peristiwa yang pernah diungkap Goenawan tersebut. Seingat dia, itu tentang peristiwa Goenawan ketika masih kanak-kanak yang pernah membunuh seekor hewan tertentu.
Dalam berproses membuat karya seni cetak grafis ini, Goenawan tidak bertujuan menggambar hewan. Ide dan perasaannya menyatu, kemudian menggerakkan tangannya untuk menggambar. Keseluruhan antara ide, perasaan, dan gerak tangan akhirnya menyublim menjadi satu.
Goenawan sejak lama sudah memiliki kegemaran membikin gambar. Akan tetapi, baru tahun 2016 ia mulai memamerkan secara intensif di ruang publik sampai sekarang. Sastrawan ini awalnya memamerkan banyak karya sketsanya di Pelataran Djoko Pekik, Bantul, Yogyakarta. Kemudian terus bergulir ke pameran-pameran karya seni rupa berikutnya sampai sekarang.
Srie Malela memiliki pertalian sebagai rekan sejawat cukup lama dengan Goenawan. Beralihnya Goenawan ke karya-karya seni cetak grafis kali ini diibaratkan Goenawan seperti anak-anak yang bermain di taman khayali tanpa beban, tanpa pretensi apa pun. Goenawan juga seperti anak-anak yang menemukan jalan pulang yang mengasyikkan.
Reproduktif
Karya seni cetak grafis bisa dibilang memiliki teknik reproduktif atau bisa diproduksi secara berulang dengan cara manual. Akan tetapi, perbedaan kekuatan tekanan dari mesin pres dan perbedaan pelaburan tebal tipisnya tinta atau cat mengakibatkan setiap hasilnya memiliki ragamnya tersendiri. Tidak pernah ada atau kecil sekali kemungkinan karya seni cetak grafis itu bisa dicetak dengan hasil yang sama persis.
”Dari setiap hasil karya yang berbeda itu, saya tidak pernah mengistilahkan gagal. Setiap hasil memiliki ketidakterdugaan, memiliki nilai estetikanya tersendiri,” ujar Devy.
Suatu ketika Devy bertanya kepada Goenawan terhadap hasil-hasil karya seni cetak grafisnya. Devy menukik pada pertanyaan apa itu keindahan.
”Keindahan itu perayaan dan kebahagiaan atas sesuatu yang tidak terduga,” kata Goenawan.
Ketidakterdugaan seiring dengan karya seni cetak grafis. Ketidakterdugaan akan selalu muncul. Hasil yang diperoleh setelah proses pres atau penekanan sering meleset dengan harapan atau yang dibayangkan.
Keterpelesetan inilah sensasinya. Ini keterpelesetan yang bisa dinikmati karena selalu ditemukan estetikanya tersendiri yang tidak diduga sebelumnya.
Ada yang mengejutkan ketika Goenawan diajak mulai berproses membuat karya seni cetak grafis intaglio atau cetak dalam. Ia tidak lagi membuat sketsa di kertas, tetapi langsung menggambar di pelat logam yang disediakan. Pelat logam itu terbuat dari aluminium atau tembaga.
Begitu pula ketika dengan teknik seni cetak grafis litografi, Goenawan langsung membuat sketsa di pelat logamnya. Kemudian dengan pengasaman dan perlakuan lainnya, gambar di pelat logam akan menjadi cetakan seni grafis yang cukup memukau.
”Goenawan menjadi orang yang sudah melebur dengan teknik-teknik menggambar di media apa pun. Teknik intaglio menjadi favorit Goenawan,” ujar Devy.
Srie Malela melihat kecintaan Goenawan terhadap seni gambar kini mendapat salurannya. Hal pertama, Goenawan meraih kesesuaian tentang pilihan jalan ketidakterdugaan dalam menghasilkan karya-karya.
Kedua, Goenawan kembali meneguhkan ranah seni cetak grafis ke tengah pusaran seni rupa saat ini yang makin didominasi dengan teknik lukisan ataupun beragam media lainnya pada karya seni rupa kontemporer.
”Goenawan ingin memberikan kontribusi keberpihakan bahwa seni cetak grafis itu menarik. Teknik cetak intaglio dan litografi juga pernah dipakai seniman Raden Saleh terutama ketika menggambarkan pepohonan sehingga teknik ini sebaiknya tidak ditinggalkan begitu saja,” kata Srie Malela.
Baca juga: Kisah Si A Piao yang Tak Selalu Lucu
Meski bersifat reproduktif, setiap hasil seni cetak grafis adalah orisinal. Masalah orisinalitas karya seni cetak grafis ini juga perlu dikumandangkan mengingat ada stigma terhadap karya seni cetak grafis yang minor karena dicetak ulang.
Buku puisi berjudul Di Ujung Bahasa: Antologi Puisi 1961–2022, karya Goenawan Mohamad turut diluncurkan pada pembukaan pameran Kitab Hewan: A Book of Beasts.
”Buku itu tentang 61 tahun perjalanan puisi Goenawan Mohamad dan ilustrasi karya seni rupa rentang enam tahun dari 2017 sampai 2023,” ujar desainer buku ini, Hermawan Tanzil, yang juga pemilik dan pengelola galeri Dia.Lo.gue.
Di dalam buku itu, puisi Goenawan memiliki cerita tersendiri, ilustrasinya pun demikian. Hermawan sempat kelabakan ketika menemukan cerita puisi Goenawan tentang erotisme. Sementara itu, tidak ada ilustrasi dari karya seni rupa Goenawan yang berbicara tentang itu.
Puisi dan sketsa Goenawan memang tidak saling mengilustrasi satu sama lain, tetapi menyatu dan saling melengkapi. Goenawan dalam hidup dan karyanya memberi ketidakterdugaan yang menjadi keindahan tersendiri.