Selalu Ada Harapan Baru
Selalu ada harapan baru, bagi Mita, bukan berarti menoleransi pembakaran hutan. Ia bahkan menyayangkan pembakaran hutan itu terjadi.
Isi dua tabung kaca di atas dan bawah jam pasir itu saling bertolak belakang. Tabung atas berisi hutan lebat menghijau, di tabung bawah terdapat kobaran api menyala-nyala membakar hutan. Ini menggambarkan kehancuran demi kehancuran hutan yang berlangsung terus-menerus. Pencipta lukisan ini ingin menyampaikan, selalu ada harapan baru di balik petaka.
Ini pesan lukisan surealis perupa muda Camelia Mitasari Hasibuan (30) yang lahir di Gunungkidul, Yogyakarta, dipamerkan bersama 29 perupa lainnya di Galeri Nasional Indonesia. Pameran itu bertajuk ”New Hope” (Harapan Baru), berlangsung 3-23 Februari 2023.
Mita, nama panggilannya, lulus dari Jurusan Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2018. Ia memiliki ayah bernama Husin Hasibuan yang juga seorang pelukis yang berasal dari Rantau Prapat, Sumatera Utara, dan kini menetap di Yogyakarta. Suatu kali, pada 2017, Mita diajak ayahnya mengunjungi kampung halaman di Rantau Prapat.
Mita diajak pula mengunjungi saudara-saudaranya di daerah Rantau Prapat yang lebih terpencil, seperti Pulau Padang. Di situlah Mita menyaksikan bekas hutan-hutan yang dibakar dan dialihkan fungsinya untuk perkebunan sawit dan karet.”Ketika kita sering mendengar ada kebakaran hutan, sebetulnya itu hutan yang dibakar. Pembakaran itu cara termurah dan termudah untuk membuka lahan hutan,” ujar Mita, Rabu (15/2/2023), di Yogyakarta.
Vegetasi hutan yang semula heterogen berubah menjadi homogen sawit atau karet. Area hutan untuk mencari makan aneka satwa makin menipis. Tidak jarang satwa-satwa itu merusak tanaman sawit atau karet sehingga diberantas karena dianggap sebagai hama.
”Suatu kali, di Pulau Padang, saya melihat rumah warga sering didatangi kera-kera dari dalam hutan. Kera-kera itu mencuri makanan yang ada, bahkan sampai mencuri telur ayam,” ujar Mita.
Selalu ada harapan baru, bagi Mita, bukan berarti menoleransi pembakaran hutan. Ia bahkan menyayangkan pembakaran hutan itu terjadi.
Harapan baru yang dimaksudkan Mita bertolak dari kenyataan yang ada sekarang. Hutan telanjur dibuka dan dialihkanfungsikan untuk sawit dan karet. Ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan dioptimalkan.
Berdasarkan data pemerintah, produktivitas sawit per hektar milik warga masih cukup rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sawit oleh perusahaan swasta. Ada harapan baru di situ. Warga petani sawit masih memiliki peluang untuk mendapat hasil yang lebih optimal dari sawit mereka.
”Bagi siapa saja, hentikan pembakaran hutan. Kalau tidak bisa memperbaiki, setidaknya jangan memperparah kerusakan hutan. Berbuatlah baik dan dimulai dari diri sendiri,” kata Mita.
Ekosistem
”Ada kematian, ada kelahiran,” demikian ucap Mita, tatkala memahamkan harapan baru di tengah kegelisahannya terhadap kerusakan ekosistem hutan.
Harapan baru bagi Mita adalah usaha menemukan harapan-harapan untuk menjadikan keadaan lebih baik. Memperbaiki kerusakan adalah kemuliaan. Akan tetapi, ketika tidak mampu melakukan perbaikan, tidak memperparah keadaan sudahlah cukup.
Ini mirip dengan New Hope atau Harapan Baru sebagai tajuk pameran yang dipelopori Art Xchange Gallery (AXG) dari Bali ini. Direktur AXG Benny Oentoro memaparkan, harapan baru sebagai harapan yang diperbarui, atau harapan yang hilang dan ditemukan kembali.
Bukan dari persoalan hutan dan lingkungannya, Benny merujuk pada pasar seni rupa kita sekarang. Ada ekosistem yang kacau tatkala rusaknya ikatan perupa dengan galeri yang mempromosikannya. Kemudian kurator ada yang mencoba pula menjadi art dealer (penyalur seni). Apalagi ketika ada pula balai lelang yang berusaha memasuki pasar primer dengan menghubungi langsung perupa.
”Semua pergolakan ini merugikan pasar seni rupa kita. Jika ingin pasar seni kita sehat, semua pemain harus tetap teguh pada posisinya masing-masing,” ujar Benny.
Ia mencuplik kisah film Star Wars 4 yang dirilis pada 1981. Harapan baru berada di dalam diri tokoh Luke Skywalker.
Luke ibarat cahaya kebaikan yang tidak akan pernah benar-benar redup atau kalah oleh kegelapan. Luke sebagai generasi yang bisa memperbaiki kesalahan dan mengembalikan sinar atau cahaya kebaikan seperti semula.
”Mari, kita meniupkan benih dandelion sebagai simbol harapan, pertumbuhan, dan penyembuhan,” ujar Benny.
Benih-benih dandelion menampakkan wujudnya. Setidaknya, dari karya para perupa peserta pameran yang menunjukkan hasil inovasi. Ada harapan baru dari pertumbuhan daya kreativitas perupa.
Kurator pameran Arif Bagus Prasetyo menyebutkan, seperti karya perupa muda asal Bali, Jemana Bayubrata Murti (25), yang menampilkan karya relief yang diciptakan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence). Jemana mengambil citra ukiran tradisional Bali dan diolah dengan komputer untuk dicetak ulang dengan alat cetak tiga dimensi.
”Jemana menyuruh komputer untuk membuat kembali ukir-ukiran tradisional Bali yang sudah lama ditinggalkan,” kata Arif.
Seni tradisional Bali, termasuk seni ukiran, mungkin saja tidak akan lestari. Jemana mengilustrasikan, justru oleh mesin-mesin itulah yang bisa melestarikan segala peradaban manusia yang sudah punah atau mulai ditinggalkan.
”Di era seni rupa kontemporer, karya Jemana seperti ini bisa dikatakan relatif baru. Karya ini bisa untuk membaca harapan baru dari generasi yang akan datang,” ucap Arif.
Bidikan kamera
Teknologi telepon genggam saat ini juga beriringan dengan perkembangan kamera hingga keduanya berpadu dan saling melengkapi. Situasi seperti ini dimanfaatkan salah satu peserta pameran, Cadio Tarompo Riyaldi (52), asal Bone, Sulawesi Selatan, yang kini menetap di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Cadio melukis dengan pilihan warna berbeda dengan warna yang diharapkan sesungguhnya. Ia mengadopsi warna di dalam teknik fotografi lama ketika menggunakan klise. Warna yang ada di dalam klise itu dikenal sebagai warna negatif. Ketika dicetak, warna-warna itu akan berubah mengikuti pola yang ada.
Contohnya, jika warna negatif hitam, saat dilihat dengan kamera mode positif, akan berubah menjadi putih. Ketika warna negatif kebiru-biruan, saat dilihat dengan kamera mode positif, akan berubah menjadi warna kulit kecoklatan. Lukisan dengan warna yang sesungguhnya, seperti diharapkan penciptanya, hanya bisa dilihat dengan bidikan kamera mode positif. Cadio mengenali teknik ini sejak 2004 dan terinspirasi oleh karya perupa Agus Suwage dari Yogyakarta.
”Ada warna negatif dan positif yang saya gabungkan ke dalam lukisan,” ujar Cadio.
Ia menunjukkan sebuah lukisan dengan wajah seorang anak mengenakan masker dan dikelilingi virus Covid-19. Ketika dibidik dengan kamera mode positif, wajah anak itu sudah tidak terlihat lagi mengenakan masker. Gambar virus Covid-19 di sekitarnya juga tidak tampak.
Lukisan perpaduan warna negatif dan positif Cadio menyiratkan sebuah harapan. Cadio memperlihatkan sebuah harapan bahwa pandemi Covid-19 segera berakhir. Teknologi menciptakan cara ungkap seni rupa yang baru meski tidak selamanya aspek kerja manusianya akan tanggal begitu saja. Bahkan, ada karya perupa peserta pameran ini yang betul-betul mengandalkan kerja manusia selama bertahun-tahun.
Baca juga: Reklame Moral di Luar Ruang
Perupa Budi Asih dari Yogyakarta menampilkan sebuah gambar atau drawing yang dibuat selama lima tahun, dari 2017 hingga 2022. Ia mengandalkan teknik menggores garis kecil-kecil dan sapuan pensil warna di selembar kertas gambar khusus dari Perancis berukuran 115 sentimeter kali 175 sentimeter.
Di sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga, lulusan Jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta pada 2009 ini memanfaatkan waktu dini hari, antara pukul 03.00 dan 06.00, untuk menggambar.
Budi Asih menemukan kembali sesuatu yang hilang. Menggambar sebagai ritual menyambut kedatangan hari yang selalu baru, mungkin juga selalu dipenuhi harapan-harapan baru.