Kisah Cinta Masa Lalu untuk Generasi Masa Kini
Kisah percintaan terhalang restu orangtua adalah persoalan lintas zaman. Generasi Z bisa mempelajarinya dari film lawas versi remake ”Gita Cinta dari SMA”.
Kisah klasik cinta sepasang remaja yang tak direstui kedua orangtua, Galih dan Ratna, dihidupkan lagi. Cerita fiksi yang pernah fenomenal pada akhir 1970-an itu kembali hadir di layar-layar lebar bioskop dalam format remake.
Rumah produksi Starvision bekerja sama dengan sutradara peraih Piala Citra tahun 2006, Monty Tiwa, memproduksi ulang film Gita Cinta dari SMA. Film versi tahun 1979, hasil adaptasi novel remaja populer berjudul sama karya Eddy D Iskandar.
Monty bercerita, dirinya sangat antusias saat pertama kali diminta menyutradarai film versi remake film ini. Tanpa perlu banyak berpikir, ia segara menyambar kesempatan itu.
”Sudah gila kali, ya, kalau sampai menolak tawaran kayak begini. Kisah ini adalah salah satu cerita legendaris dalam sejarah pop kultur Indonesia,” ujar Monty antusias.
Pada versi lawasnya, para tokoh utama film diperankan oleh idola remaja ketika itu, yakni Rano Karno dan Yessy Gusman. Rano memerankan Galih Rakasiwi dan Yessy sebagai Ratna Suminar. Keduanya dikisahkan sebagai siswa SMA berprestasi yang saling jatuh cinta, tetapi ditentang orangtua.
Dalam versi remake kekinian, posisi Rano dan Yessy digantikan dua aktor muda, Yesaya Abraham dan Prilly Latuconsina.
Saat pemutaran gala premier di CGV Grand Indonesia, Senin (6/2/2023), Monty meyakini film versi remake ini bakal kembali disambut positif. Pasalnya, cerita serta persoalan yang diangkat dalam Gita Cinta dari SMA tetap relevan dengan penonton saat ini, termasuk yang berasal dari generasi Z. Persoalan itu, antara lain, menyangkut gap antargenerasi, kesenjangan status sosial dan ekonomi.
Dalam film ini, sosok ayah Ratna, yakni Toto Sastroatmodjo (Dwi Sasono), menentang hubungan anaknya dengan Galih lantaran menganggap keluarganya berasal dari kalangan ningrat dan secara ekonomi mampu.
Sementara itu, Galih berasal dari keluarga dari ”kelas” yang lebih rendah. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya sebagai orangtua tunggal hanya seorang pemilik warung kecil.
Penanda zaman
Film Gita Cinta dari SMA merupakan film laris pada pengujung 1979. Situs www.filmindonesia.or.id mencatat, film ini menyedot 162.050 penonton. Sebuah perolehan yang fantastis ketika itu.
Di luar itu, film ini menjadi ikon industri budaya pop era ’70-an. Kisah percintaan remaja pada film ini kemudian juga menjadi semacam patokan bagi cerita-cerita film romansa remaja setelahnya. Kisah yang muncul rata-rata terkait percintaan yang kandas di tengah jalan karena ditentang orangtua akibat perbedaan kelas sosial dan ekonomi. Nah, bagaimana film versi remake menempatkan persoalan seperti itu di era kekinian yang sudah berubah?
Secara garis besar, plot cerita pada versi remake tidak banyak berubah dibandingkan versi lamanya. Pola konflik dan penyelesaiannya pun dibiarkan sama. Sang sutradara tampaknya memang ingin mempertahankan elemen-elemen lama untuk disajikan kepada penonton masa kini, konteks ruang dan waktunya.
Nuansa era ’70-an dan ’80-an tetap dihadirkan, antara lain, lewat barang-barang yang menjadi representasi kemewahan di era itu. Di rumah keluarga Sastroatmodjo yang berkecukupan, misalnya, terdapat telepon rumah dengan kabel dan nomor panggil yang diputar, bukan dipencet. Mungkin generasi muda sekarang yang akrab dengan telepon pintar belum pernah melihatnya. Di rumah itu juga ada kursi tamu rotan besar di beranda rumah dan mobil sedan.
Sutradara juga menggambarkan bagaimana anak remaja dari satu keluarga berada menggelar pesta ulang tahun di rumah dengan mengundang teman-temannya. Ruangan dihias dengan balon dan pernak-pernik beraneka warna serta lampu-lampu seperti yang ada di diskotek. Tidak lupa, ada hiburan musik disko. Tetamu yang datang membawa kado untuk si pengundang.
Pesta ulang tahun seperti itu boleh jadi sudah jarang ditemukan saat ini. Kebanyakan remaja era sekarang menggelar perayaan ulang tahu secara lebih praktis, seperti mentraktir teman-teman dekatnya makan di restoran atau mal.
Di sekolah, remaja-remaja ini berinteraksi di sekolah dengan akrab. Berbeda dengan remaja era sekarang yang lebih sibuk dengan gawainya meski sedang berkumpul dengan teman-teman.
Seragam yang dikenakan pun relatif sederhana, baik bahan maupun potongannya. Seragam olahraga untuk putri berupa kaus dan celana pendek. Kalau seragam seperti itu dikenakan sekarang, mungkin akan viral dan menuai protes karena dianggap mengumbar aurat. Zaman memang telah berubah.
Sutradara juga mempertahankan dialog-dialog sepanjang film yang tetap menggunakan kalimat dalam bahasa Indonesia baku seperti yang sering dipakai pada film-film Tanah Air era ’70-an dan ’80-an.
Ketika ayah Ratna menentang hubungan Ratna dengan Galih, Ratna berkata dengan kalimat yang tertata amat rapi, ”Tapi Ratna cinta dengan Galih, Pak. Dan, perasaan tidak bisa dengan mudah diredam begitu saja.”
Di lain adegan, Erlin, sahabat Ratna, memberi nasihat dengan kalimat yang juga terdengar rapi dan formal. ”Hidupmu tidak akan mudah di kala jatuh hati sama Galih. Susah melumerkan hatinya yang sedingin es.”
Gaya dialog seperti itu mungkin terdengar aneh buat generasi remaja masa kini. Tetapi, boleh jadi hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Monty mengatakan sengaja mempertahankan gaya dialog jadul demi mempertahankan konsistensi antara versi filmnya dan versi novel yang merupakan karya sastra dengan bahasa Indonesia baku.
Sentuhan sutradara
Meski begitu, Monty tidak mau tenggelam sepenuhnya pada masa lalu. Ia tetap memberikan sentuhan kekinian agar film hasil remake-nya terasa segar. Dalam beberapa adegan, misalnya, ia memasukkan unsur tarian dan nyanyian.
Lagu-lagu lawas yang ada pada versi film lama, seperti ”Galih dan Ratna”, ”Gita Cinta”, ”Apatis”, ”Kidung”, dan ”Sirna”, ia pakai lagi, tapi dengan aransemen baru dan dibawakan dengan nuansa masa kini. Pada beberapa adegan lain, ia menghadirkan lagu-lagu versi aslinya seperti yang dibawakan oleh mendiang Chrisye.
Produser Chand Parwez Servia berharap, Gita Cinta dari SMA versi remake bisa menyatukan penonton dari generasi-generasi yang berbeda dalam satu keluarga. ”Buat orangtuanya yang seperti generasi saya, mungkin bisa ikut menonton sambil bernostalgia,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Chand Parwez, penonton remaja generasi sekarang bisa mendapat pelajaran baru yang baik-baik dari film ini untuk kehidupan mereka sekarang.
”Saya berharap generasi Z bisa membayangkan kalau mengalami masalah seperti digambarkan di film ini sekarang, mereka bisa dengan mudah curhat di mana-mana, lewat media sosial.”